PENERAPAN Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ) di Batam dinilai tertinggal jauh dari negara lain yang menerapkan kebijakan serupa.
Hal itu bisa dilihat infrastruktur seperti jalan raya dan pelabuhan transshipment belum optimal.
Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menilai Batam perlu meningkatkan competitive edge agar bisa bersaing dengan negara lain.
“Dengan status Batam sebagai FTZ, maka kondisi infrastruktur tersebut masih sangat kurang untuk menunjang kegiatan ekonomi di Batam,” ujar Ahmad pada seminar nasional yang diprakarsai Kamar Dagang Industri (Kadin) Kota Batam beserta mahasiswa se-Kota Batam di Radisson Hotel, Batam, Sabtu (10/11/2018).
Ahmad merujuk pada data tahun 2014 yang dimiliki oleh Dinas Pekerjaan Umum Batam mengenai infrastruktur jalan di Batam.
Dalam data tersebut tercatat sebanyak 80,49 persen sudah berupa jalan aspal, 14,04 persen masih berupa kerikil dan 5,47 persen jalan tanah atau belum tembus.
Dilihat dari kondisi jalan, sebanyak 66,66 persen dalam keadaan baik. Sementara 9,32 persen jalan kota ini dalam keadaan sedang. Kemudian 9,72 persen rusak ringan serta 14,03 persen rusak berat.
“Ini perlu segera dibenahi,” ujar dia.
Dasar hukum dari implementasi FTZ di Batam juga jadi sorotannya. Menurutnya, peraturan turunan yang merupakan amanat dari Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tidak didesain secara harmonis.
Katanya, ada ketidaksinkronan pada peraturan turunan tersebut, contohnya Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2012 tentang tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
“Dalam pasal 4 PP tersebut dijelaskan bahwa seolah-olah kawasan bebas adalah ke luar negeri sehingga jika akan memasukan barang harus sesuai dengan UU FTZ. Kemudian dalam pasal 6-7 PP tersebut yang menghendaki adanya pemeriksaan fisik terhadap keluar masuk barang dari dan atau ke kawasan bebas,” ujar dia.
Kemudian pada pasal 14-22 yang berkaitan dengan keluar masuk barang yang saling bertolak belakang dengan ketentuan FTZ. Beberapa poin tersebut, jelas tidak harmonis dengan Undang-undang No 44 Tahun 2007.
Peneliti Indef ini juga menyampaikan implementasi FTZ di Batam juga memerlukan harmonisasi kelembagaan.
“Harmonisasi kelembagaan di Batam, sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang mendukung efektivitas dan efisiensi kawasan Batam, utamanya pembangunan pelabuhan transshipment,” sebut Ahmad.
Seminar nasional bertema Masa Depan Batam ini digelar sebagai upaya untuk menjawab keresahan sejumlah pihak yang merasakan menurunnya ekonomi kota industri ini.
(*)