NEGARA termuda Asia Tenggara, Timor Leste, baru saja menggelar Pemilihan Umum 2017. Ada dDelapan calon bersaing memperebutkan suara pada 20 Maret demi menduduki kursi kepresidenan.
Sekitar 740 ribu dari 1,2 juta penduduk eks kawasan Indonesia itu memenuhi syarat untuk menyumbangkan suara.
Dalam penghitungan suara sementara, Francisco Guterres, masyhur dengan panggilan Lu-Olo, terlihat mengungguli para kandidat lain.
Sosok yang pernah menjadi gerilyawan pada periode perjuangan merebut kemerdekaan dari Indonesia itu, dilansir CNNIndonesia.com, menangguk 57 persen dukungan. Itu dipandang cukup untuk menghindari putaran kedua Pemilu yang batas terendahnya 50 persen suara.
Pesaing terdekatnya, Menteri Pendidikan, Antonio de Conceicao, cuma meraih 33 persen suara.
“Saya yakin tak perlu melewati putaran kedua,” ujar pria berusia 62 tahun yang didukung oleh Partai Fretilin dikutip The Australian, Rabu (22/3). “Ini keputusan dari para pemilih, dari rakyat.”
Dalam hematnya, banyak perubahan di berbagai bidang yang akan terjadi jika ia terpilih sebagai presiden. “Saya ingin mengubah kondisi layanan kesehatan dan pendidikan,” katanya.
Ia pun berharap bahwa “perekonomian (Timor Leste) sinambung demi mempercepat pembangunan nasional”.
Jika berhasil menang dalam satu putaran, maka Guterres akan tercatat dalam sejarah sebagai calon pertama yang menggapainya sejak Pemilu 2002.
Menengok ke belakang, Lu Olo hanya menerima 30 persen suara pada Pemilu 2007 dan 2012.
Pada 2007, figur yang terjun ke dunia poltik pasca referendum 1999 itu tumbang di putaran kedua.
Di Pemilu berikutnya pada 2012, ia kalah suara dari Jose Maria de Vasconcelos alias Taur Matan Ruak, presiden saat ini.
Kini, berkat sokongan dari tokoh kemerdekaan Timor Leste sekaligus ketua Partai CNRT, Xanana Gusmao, Guterres berhasil menggandakan suara hingga nyaris dua kali lipat.
“Dukungan kuat untuk satu kandidat adalah hal yang positif,” kata Damien Kingsbury, pakar Timor Leste dari Universitas Deakin, Australi, dikutip AFP (h/t CNNIndonesia.com).
Lu Olo bukan orang baru bagi Fretilin. Ia bergabung dengan kelompok itu pada 1975 ketika masih berusia 17 tahun sebagai upaya melawan invasi Indonesia.
Perjuangan bersenjatanya berlangsung selama 24 tahun di kawasan pegunungan. Sepanjang masa itu, lelaki yang kemudian beristrikan Cidalia Lopes Nobre Mouzinho itu–dan dikaruniai tiga anak–tak pernah menginjakkan kaki di desa maupun kota.
Pada Konferensi Luar Biasa Fretilin di Sydney, Australia, 1998, Lu Olo ditunjuk menjadi Koordinator Umum Dewan Perlawanan Bersenjata.
Dalam Pemilu 2007, Guterres menjadi calon presiden dari Fretilin dengan mengajukan isu-isu populis. Namun, sejumlah anggota Fretilin menyalahkannya atas krisis di Timor Leste pada 2006. Mereka justru mendukung Perdana Menteri Jose Ramos Horta, yang bersaing dari jalur independen.
Lu Olo menyelesaikan pendidikan dasar di Colegio de Santa Teresinha, Ossu, daerah kelahirannya, pada 1963 hingga 1969. Kemudian, pada 1969-1973, ia meneruskan sekolah ke Dilli.
Ia kembali ke Ossu pada 1973 dan mengajar di Colegio de Santa Teresinha hingga 1974.