PULUHAN ribu orang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta (5/7/2014). Saat itu sedang berlangsung acara “Konser Salam 2 Jari” untuk mendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketika video ucapan para personel Slank ditayangkan melalui layar raksasa setinggi 10 meter yang menjadi latar panggung, seorang pria berambut gondrong, pakaian serba hitam, dan berkalungkan kamera Digital Single Lens Reflector (DSLR) duduk di atas di tiang baja yang menjadi penyangga layar.
Tangannya mulai melilitkan beberapa tali sling di pinggang. Setelah itu tampak ia celingukan kiri dan kanan sambil mengarahkan kamera yang ada di genggamannya.
Melalui pengeras suara, Indra Bekti sebagai pemandu acara mengatakan bahwa pria nekat itu adalah Jay Subyakto.
Bagi Jay –demikian sapaan akrabnya– yang juga bertindak sebagai penata artistik panggung acara tersebut, ulahnya memotret dari ketinggian bukan untuk mencari sensasi. Ia ingin mendapatkan hasil maksimal saat memotret Jokowi yang dikelilingi puluhan ribu massa pendukung.
Aksi penuh risiko tadi terbayar lunas sebab Jay mengaku puas dengan hasil jepretannya. Foto ikonis tersebut lantas menjadi salah satu yang ikut terpajang dalam acara pameran foto “Musik Untuk Demokrasi” di Main Atrium East Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat (14/10/2014).
Saat gladi resik jelang malam puncak Festival Film Indonesia di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat (6/11/2016), trio Shanty Paredes, Tara Basro, Tatyana Akman yang sedang latihan menari dan menyanyi di atas panggung tampak asyik bercanda sambil cekikan setiap kali melakukan kesalahan.
Padahal jadwal tampil tiga pemain dari film drama musikal Ini Kisah Tiga Dara itu tinggal hitungan jam. Jay yang mendapat kepercayaan sebagai penata artistik panggung melihat kejadian itu dan seketika menegur lewat mikrofon.
“Shanty, latihan yang serius dong. Kalian ini nanti disaksikan penonton seluruh Indonesia lho,” kata Jay mengingatkan.
Selain tegas dan disiplin, Jay juga tak mau kompromi. Ratusan penari yang terlibat dalam pementasan sendratari “Matah Ati” telah merasakannya.
Pasalnya jebolan Fakultas Teknik di Universitas Indonesia itu menggunakan panggung dengan sudut kemiringan 15 derajat. Para penari mengeluh karena sering terpeleset.
Bagaimana ia menanggapi keluhan tersebut? “Jalani saja. Jangan banyak protes. Tidak ada karya bagus yang dilakukan dengan mudah. Mari kita taklukkan kemiringan panggung,” tegasnya.
Jay bukannya tanpa alasan menggunakan panggung tidak konvensional. Baginya, sebuah tarian yang melibatkan banyak orang harus mendapat perhatian seluruh penonton.
Dengan bentuk panggung miring, formasi penari akan terlihat jelas dari berbagai sudut, bahkan bagi penonton yang duduk di deretan paling depan.
Ketika pertama kali “Matah Ati” melakukan pementasan di Gedung Esplanade, Singapura (22-23/10/2010), tiket pertunjukan selalu berstatus terjual habis alias sold out. Para penonton tidak lupa memberikan standing ovation karena takjub dengan tontonan yang baru pertama kali mereka lihat.
Tanggapan serupa terjadi saat tarian kolosal yang terinspirasi langendriyan karya Raja Mangkunegaro IV dari Surakarta ini berpentas di kota-kota lain, seperti Jakarta (2011), Solo (2012), dan Kuala Lumpur, Malaysia (2015).
Putra sulung pasangan Laksamana TNI (Purn) R. Soebijakto dan Raharty Soebijakto itu juga dikenal sering mengemukakan ide-ide yang tidak biasa.
“Orang akan menghargai kalau kita hadir dengan ide orisinal,” ujarnya kepada Andi Baso Djaya saat mengunjungi kantor Beritagar.id di kawasan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat (20/7/2017).
Pemilik nama lengkap Agara Wijaya Subyakto itu datang bersama Sheila Timothy (produser) dan Irfan Ramli (penulis skenario) untuk mempromosikan dokumenter Banda: the Dark Forgotten Trail (Lifelike Pictures).
Jika menghitung momentum saat namanya hadir sebagai salah satu dari 13 orang anggota Kelompok I Sinema yang berprakarsa pada 1998, butuh sekitar 19 tahun menantikan karya perdana Jay sebagai sutradara film panjang.
Anggota Kelompok I Sinema lainnya, seperti Dimas Djayadinigrat, Enison Sinaro, Nan T. Achnas, Richard Buntario, Riri Riza, Rizal Mantovani, Sentot Sahid, Sri Katon, Teddy Soeriaatmadja, dan Nayato Fio Nuala telah menyutradarai banyak film.
“Sekarang tinggal Mira Lesmana dan Ipang Wahid yang belum pernah menyutradarai film. Makanya waktu bikin film Banda ini saya telepon Mira dan Ipang. Saya bilang ke mereka, ‘Gue udah bikin film nih.’ Ha-ha-ha,” kelakarnya.
Alasan mengapa selama ini Jay enggan menyutradarai film panjang bukan karena tidak ada yang menawari.
“Kebanyakan mengajak bikin film fiksi yang harus laku. Padahal enggak ada resep bisa bikin film laku. Akhirnya selalu saya tolak. Saya bilang nanti kalian rugi. Ketika Lala (sapaan Sheila, red.) datang dengan ide tentang film Banda dan tidak membebani saya target penonton, baru saya bersedia. Itu pun saya jawab sebulan kemudian,” ungkapnya.
Film Banda: the Dark Forgotten Trail (tayang di bioskop mulai 3/8) mengisahkan tentang Kepulauan Banda di Maluku yang menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa ratusan tahun silam karena kaya dengan pala dan cengkih.
Sepanjang 94 menit durasi film, Jay tidak lupa mengisahkan bagaimana Banda menjadi titik nol dari kawasan yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia. Sebab praktik kolonialisme, perbudakan, bahkan genosida mula-mula terjadi di kepulauan tersebut.
Jay muncul berpakaian serba hitam. Kali ini ia mengenakan paduan jaket model bolero dan celana training panjang yang bertumpuk dengan celana olahraga pendek di atasnya. Seolah ia mau joging.
Sembari sesekali mengibaskan rambut hitamnya yang beberapa helai tampak telah menguban, Jay menjawab pertanyaan dengan volume suara yang lirih. Ketika menceritakan kisah masa lalu, tak jarang ia cekikikan.
Misalnya kejadian saat ia meraih gelar akademik usai menamatkan kuliahnya pada 1987. Saran untuk melanjutkan ke tingkat magister seketika ditampiknya.
“Saya capek sekolah. Otak saya juga rasanya sudah enggak nyampe,” kata Jay menirukan jawabannya kepada sang ayah yang mangkat pada 12 Agustus 1999.
Usai menyatakan tidak bersedia melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, ayah Jay merasa sangat kecewa. Namun keputusan menekuni bidang audio visual seperti yang selama ini diimpikannya sudah kadung bulat.
Keinginan menggeluti bidang tersebut sudah muncul sejak remaja. Medio 1977 saat berumur 17 tahun, Jay mengikuti festival film mini yang diselenggarakan LPKJ (sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta).
“Waktu itu saya bikin film band animasi yang terdiri dari foto-foto. Saya dapat piala tapi tidak naik kelas. Ayah saya marah banget. Ha-ha-ha,” kenang Jay.
Kontan sang ayah memaksanya untuk menepikan segala aktivitas tadi.
“Beliau bilang saya harus masuk Ilmu Pengetahuan Alam dan masuk Fakultas Teknik. Harus jadi insinyur, enggak boleh masuk jurusan lain. Kebetulan jurusan arsitektur yang saya suka berada di bawah naungan Fakultas Teknik. Akhirnya saya jadi anak Teknik,” lanjutnya.
Ibarat kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”, masa-masa awal kuliah Jay mengaku tidak senang karena yang diajarkan selalu harus tipologi dan referensi.
Lambat laun perasaan itu berubah setelah mengetahui bahwa arsitektur merupakan ibu dari semua ilmu. Sebab dari sana ia belajar tentang seni, matematika, fisika, dan cabang ilmu lain.
Kuliah di jurusan arsitektur bukan hanya berhasil mengasah daya khayal, tapi juga membuat Jay tahu bagaimana cara mewujudkannya.
“Soalnya kan banyak juga seniman yang kerjaannya mengkhayal terus, tapi kesulitan mengeksekusi khayalannya tadi karena tidak tahu teknisnya,” terang Jay.
Awal berkecimpung di dunia seni datang saat rekan angkatan kuliah yang menjadi sahabatnya, Erwin Gutawa, menjadi pemain bas dalam kelompok musik Karimata yang mengusung musik fusion jazz.
Walaupun tidak bisa memainkan alat musik, Jay selalu mengintil setiap kali Erwin, Candra Darusman (keyboard), Denny TR (gitar), Aminoto Kosin (keyboard), dan Uce Haryono (drum) tampil. Termasuk saat Karimata mengikuti North Sea Jazz Festival 1986 di Rotterdam, Belanda.
Berbekal ilmu desain, Jay yang menyarankan agar Karimata turut memerhatikan tampilan visual menyodorkan diri sebagai penata artistik. Tugasnya mendesain sampul album dan panggung.
Ilustrasi kulit muka album Pasti (1987) dan Biting (1988) adalah garapannya. Demikian juga logo Karimata.
Selain membantu Karimata, pria yang pernah terpilih sebagai Tokoh Seni 2011 versi Majalah Tempo ini mulai menyutradarai videoklip musik.
Karya pertamanya adalah video musik lagu “Lihat Saja Nanti” dari album bertajuk sama yang rilis 1989 milik Sophia Latjuba.
Dikisahkan Jay, awal mula ia berani menggarap proyek tersebut karena mendapat tantangan dari mendiang Alex Kumara yang kala itu menjabat sebagai direktur teknis RCTI.
“Ketika saya kerja di RCTI, mereka lebih sering menayangkan videoklip musik barat. Pak Alex menantang saya untuk bikin karya serupa yang tidak kalah kerennya, tapi untuk penyanyi Indonesia,” kenang Jay.
Kehadiran videoklip tadi sukses mencuri perhatian banyak pihak. Chrisye yang terpincut bahkan meminta kepada label rekaman Musica Studio’s agar videoklip musik lagunya disutradarai Jay. Alhasil hadir “Pergilah Kasih” yang menjadi videoklip musik Indonesia pertama yang ditayangkan MTV Asia.
Nama Jay sontak populer di kalangan musisi. Tawaran sebagai sutradara videoklip musik mulai banyak berdatangan. Ia juga mulai merambah dunia iklan.
Bekerja dalam bidang yang saling beririsan mempertemukan kembali Jay dengan Erwin. Keduanya lantas berkolaborasi menggarap konser tunggal Chrisye bertajuk “Sendiri” tahun 1994 di Plenary Hall Jakarta Covention Center (JCC) Senayan. Jay sebagai penata artistik, sementara Erwin menjadi penata musik.
Kala itu belum ada solis Indonesia yang menggelar konser tunggal di JCC. Kebanyakan promotor lebih memilih menggelar konser penyanyi atau band asing, seperti Sting dan Duran Duran.
Inisiatif Jay dan Erwin merupakan salah satu terobosan penting sekaligus pemantik munculnya konser-konser tunggal lain dari penyanyi dalam negeri.
Alasan lain mengapa Jay terlibat menggarap konser tunggal Chrisye tadi karena selama ini ia melihat orang di belakang panggung tidak pernah dikedepankan.
Makanya tajuk konser itu tertuliskan: “Erwin Gutawa dan Jay Subyakto present konser Sendiri Chrisye”.
Dari awalnya sempat mendapat cibiran, Jay berhasil membuktikan bahwa konser penyanyi dalam negeri tidak kalah dengan asing. Perlahan tawaran menjadi penata artistik panggung pertunjukan musik deras mengalir.
Terobosan lain juga diciptakannya tahun 2008. Lewat klip lagu “Berganti Hati” milik Anggun, Jay mencatatkan diri sebagai sutradara pertama Indonesia yang menggunakan kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) sebagai alat merekam gambar.
Salah satu ciri menonjol dalam setiap karya-karya Jay, sebagai sutradara, penata artistik, maupun fotografer, adalah orisinalitas ide berpadu dengan muatan budaya nusantara yang kental.
Terlahir sebagai putra seorang pejuang kemerdekaan, Jay kecil sudah ditanamkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia.
“Ayah dan ibu takut sekali kalau saya tidak mengenal bangsa saya sendiri. Soalnya kan tinggal di luar negeri melulu,” katanya.
Jay lahir di Ankara saat ayahnya ditugaskan menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Turki.
“Tiga tahun pertama kelahiran saya, kami sekeluarga tinggal di Ankara. Berselang tiga tahun kemudian kami boyongan ke Yugoslavia yang sekarang menjadi Kroasia karena ayah kembali ditugaskan menjadi duta besar di sana,” kenangnya.
Sembari menerawang, Jay mengenang ketika diajak jalan-jalan oleh ayahnya ke Amerika Serikat saat berumur enam atau tujuh tahun.
Dalam kunjungan pertamanya di negara adikuasa itu, sang ayah memperlihatkan kepada Jay bagaimana masyarakat di sana sangat individualistis, tidak peduli dengan tetangga, tanpa gotong royong, dan saling membantu. Rasisme juga kencang berlaku.
“Ayah saya bilang kalau di Indonesia tidak ada yang seperti itu. Dari kecil saya juga diasuh pembantu dari Indonesia. Diajarkan Bahasa Indonesia. Pakai Bahasa Inggris hanya di sekolah,” tambahnya.
Alih-alih mendapat penghiburan berupa komik terbitan Disney, DC, atau Marvel seperti laiknya bocah lain, komik-komik Indonesia buatan R.A. Kosasih seperti Mahabharata dan Ramayana menjadi santapan sehari-hari.
Kecintaannya terhadap Indonesia semakin bertambah saat bercakap-cakap dengan Mohammad Hatta. Pahlawan Nasional yang mendapat julukan Bapak Koperasi Indonesia itu adalah pamannya dari pihak ibu.
Bung Hatta di mata Jay merupakan figur politisi santun yang selalu mendahulukan kepentingan bangsanya.
“Kamu harus menjadi orang yang jujur, jangan pernah korupsi, dan ikut arus. Harus punya prinsip hidup dan bangun negara kamu,”ujar Jay mengenang wasiat Bung Hatta.
Nasihat tadi menancap kuat dalam sanubari Jay. Beragam karya berkualitas dihadirkannya. Semua inspirasi dari setiap proyek ciptaannya berasal dari kekayaan budaya Indonesia yang melimpah dari Sabang hingga Merauke.
“Bagi saya sangat gampang untuk mencari ide-ide baru. Tinggal jalan ke Indonesia bagian timur, saya bisa mendapatkan banyak sumber inspirasi menarik di sana,” lanjut Jay.
Dari sekian banyak karya yang telah ia garap, acara sendratari bertajuk “Millenium Day Broadcast” menyambut pergantian tahun 1999-2000 diakui Jay paling sukses. Acara yang digagas stasiun televisi WGBH-TV (AS) dan BBC (Inggris) itu juga disiarkan langsung oleh 48 negara.
Sebagai orang yang terpilih menangani tata artistik, Jay melakukan proses persiapan selama setahun. Candi Gunung Kawi di Bali dan Candi Borobudur di Jawa Tengah dipilihnya sebagai tempat pelaksanaan acara.
“Di Borobudur saya bikin dekat relief karmawibhangga. Alasannya untuk menyatakan kepada warga dunia bahwa bangsa saya ini sudah punya sejarah yang begitu panjang. Peradabannya yang begitu kuat tergambar dalam situs-situs di candi,” papar Jay.
Pemilihan Candi Gunung Kawi karena situs bersejarah itu dibangun tahun 1000 Masehi. Jadi ibarat menjelang pergantian milenium juga.
“Itu event internasional pertama yang saya tangani. Pihak WGBH dan BBC senang banget melihat hasilnya. Kalau dari segi skala, hingga sekarang memang belum ada yang menandingi kesuksesan acara tersebut. Karena seluruh dunia ikut menyaksikan,” kenang Jay.
Walaupun demikian, kesuksesan di mata Jay tidak melulu soal kuantitas. Semisal film dikatakan sukses jika berhasil membukukan banyak penonton atau keuntungan.
Menurutnya kesuksesan justru ketika orang-orang menghargai dan melanjutkan apa yang sudah pernah ia kerjakan dengan hasil lebih baik.
Pesan Jay untuk yang ingin mengikuti jejaknya kelak, “Terus berkreasi karena kuncinya adalah imajinasi. Jangan bikin sesuatu yang sudah ada,” pungkasnya. (*)