MULAI 1 Juni 2019 kemarin, untuk bisa mendapatkan visa berkunjung ke Amerika Serikat bakal semakin sulit. Walaupun itu hanya untuk berwisata.
Departemen Luar Negeri AS memberlakukan aturan baru, yakni mayoritas pemohon harus mencantumkan nama pengguna (username) mereka di media sosial yang digunakan dalam lima tahun terakhir.
Selain itu, mereka juga harus menuliskan seluruh alamat surel (e-mail) yang pernah digunakan, juga nomor telepon.
Tetapi kata kunci (password) akun tersebut takkan diminta. Aturan ini berlaku untuk para pemohon visa imigran maupun non-imigran. Demikian dikabarkan kantor berita Associated Press (AP), Sabtu (1/6/2019).
Di laman BBC juga ditambahkan, para pendaftar juga akan diminta memaparkan sejarah perjalanan dan harus menyatakan apakah pernah dideportasi dari sebuah negara, atau apakah memiliki saudara yang pernah terlibat aktivitas terorisme.
Perubahan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintahan AS era Presiden Donald Trump untuk memperketat pemeriksaan terhadap warga negara asing yang masuk ke negara tersebut.
Alasan utamanya adalah guna mengurangi jumlah imigran gelap, yang menjadi salah satu janji utama Trump saat kampanye pemilihan presiden.
“Keamanan nasional adalah prioritas utama kami ketika memproses aplikasi visa, dan setiap pejalan dan imigran prospektif ke Amerika Serikat harus melewati saringan keamanan yang ketat,” kata Deplu AS, yang kini dipimpin Menteri Mike Pompeo.
Mereka juga menyatakan akan terus mencari mekanisme yang bisa meningkatkan penyaringan warga asing yang ingin masuk, untuk melindungi warga AS. Namun Deplu AS menegaskan tetap mendukung masuknya warga asing yang telah melewati proses legitimasi.
Aturan pencantuman username media sosial, seluruh e-mail, dan nomor telepon yang dimiliki pemohon dalam lima tahun terakhir itu sebenarnya telah ada sejak lama.
Namun syarat itu sebelumnya hanya diterapkan kepada pemohon visa yang berasal atau pernah berkunjung ke negara yang dikuasai “organisasi teroris”.
Kemudian, mengutip The New York Times, pada September 2017, pemerintahan Trump memperluas penerapan aturan itu kepada mereka yang mencari visa untuk imigran. Kebijakan itu memengaruhi sekitar 710.000 pemohon visa AS. Ditambah 14 juta pemohon visa AS non-imigran setiap tahunnya, kebijakan baru ini berarti akan berpengaruh kepada 14,7 juta pencari visa AS.
Pengecualian dari aturan tersebut diberikan kepada warga dari 38 negara yang merupakan sekutu utama AS dan biasa mendapat bebas visa, seperti Inggris Raya, Australia, Jepang, Korea Selatan, Prancis, dan Kanada.
Begitu pula pemohon visa diplomatik dan perjalanan dinas tertentu.
Ada 20 platform media sosial yang disebutkan dalam aturan tersebut, termasuk Facebook, Flickr, Google+, Instagram, LinkedIn, Myspace, Pinterest, Reddit, Tumblr, Twitter, Vine and YouTube. Beberapa lainnya adalah media sosial berbasis di luar AS, yaitu Douban, QQ, Sina Weibo, Tencent Weibo and Youku dari Tiongkok; VK dari Rusia; Twoo dari Belgia; dan Ask.fm, dari Latvia.
Namun, menurut seorang pejabat Deplu AS kepada The Hill, daftar media sosial tersebut bisa bertambah dan bertambah sesuai dengan perkembangan.
“Kami melihat keliling dunia belakangan ini, media sosial bisa menjadi forum utama bagi sentimen dan aktivitas teroris,” kata sang pejabat.
Tentu saja, para pemohon visa tersebut bisa menyatakan mereka tak menggunakan media sosial apapun dalam lima tahun terakhit. Namun, sang pejabat menegaskan, jika ketahuan berbohong, mereka akan menghadapi “konsekuensi imigrasi yang serius”.
Kebijakan baru ini dipicu insiden penembakan yang dilakukan oleh tiga orang bersenjata di San Bernardino, California, AS, pada 2 Desember 2015. Sebanyak 14 orang tewas dan 22 luka-luka dalam peristiwa yang terjadi di sebuah bangunan milik dinas sosial AS.
Dua pelaku kejahatan, Syed Rizwan Farook dan istrinya, Tashfeen Malik, tewas dalam baku tembak dengan aparat keamanan AS setelah sempat kabur. Farook lahir di AS, sementara Malik baru menjadi warga negara setelah bertunangan dengan Farook pada 2014.
Para penyelidik kemudian menemukan bahwa Malik telah menunjukkan pandangan radikal dan menyatakan bersimpati kepada para teroris dalam media sosialnya, jauh sebelum mendapatkan visa AS.
Saat diajukan pada tahun lalu, proposal peraturan baru ini dipertanyakan oleh The American Civil Liberties Union (ACLU). Lembaga nirlaba pelindung hak individu tersebut khawatir pemeriksaan media sosial akan memberi dampak mengerikan bagi kebebasan berbicara dan berkumpul.
“Orang-orang kini akan bertanya-tanya apakah hal-hal yang mereka katakan secara daring (online) akan disalahartikan atau disalahpahami oleh pejabat pemerintah,” kata Hina Shamsi, direktur ACLU, dalam pernyataan resminya.
“Kami juga khawatir bagaimana pemerintahan Trump mendefinisikan ‘aktivitas teroris’ yang kabur dan terlalu luas karena pada dasarnya istilah itu amat politis dan bisa digunakan untuk mendiskriminasi calon imigran yang tak bersalah.”
ACLU melihat risiko digunakannya pemeriksaan media sosial ini untuk menolak pemberian visa kepada imigran dan pendatang dari negara mayoritas muslim.
Sumber : Associated Press / BBC / NY Times / The Hill / Beritagar