TIAP satu jam, setidaknya satu orang Indonesia bunuh diri. Demikian menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merujuk data mutakhir yang diperbaharui 1 Mei 2018. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi 103 dari 183 negara dan sembilan di ASEAN.
Pada 2016, catatan terakhir data yang dipunya WHO, angka bunuh diri di Indonesia diestimasi 3,4 kasus per 100.000 penduduk. Angka ini menurun dibandingkan 16 tahun sebelumnya, yang berada pada 3,6 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk saban tahunnya.
Lelaki lebih rentan bunuh diri, yakni 4,8 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk di Indonesia setiap tahun, sementara di kalangan perempuan ditemukan 2 kasus per 100.000 penduduk.
Dipicu depresi
Laporan WHO menjelaskan pemicu bunuh diri salah satunya yakni gangguan mental seperti depresi dan konsumsi alkohol berlebihan. Pemicu lainnya yakni masalah ekonomi, masalah pribadi seperti percintaan, trauma, dan penyakit yang diderita.
“Tingkat bunuh diri juga tinggi di antara kelompok rentan yang mengalami diskriminasi seperti pengungsi, imigran, kelompok LGBT, dan kalangan napi,” merujuk laporan tersebut.
Seseorang yang mengalami depresi dan pernah mencoba bunuh diri berisiko tinggi untuk bunuh diri dibandingkan orang yang belum pernah mencoba sebelumnya. Artinya, orang yang memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri dan berpikiran untuk bunuh diri perlu mendapat perhatian khusus.
Secara global, 20 persen metode bunuh diri yang dilakukan yakni dengan menenggak racun, baik racun serangga, obat pembersih lantai, atau cairan lainnya yang mengandung bahan kimia berbahaya bagi tubuh.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan sebanyak 6,1 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun mengalami depresi. Prevalensi tertinggi terjadi di Sulawesi Tengah (12,3 persen), Gorontalo (10,3 persen), dan Nusa Tenggara Timur (9,7 persen).
Latar belakang pendidikan penderita depresi beragam, paling banyak mereka yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan (8,2 persen) dan mereka yang tidak tamat SD atau MI (8,1 persen).
Dilihat dari latar belakang ekonomi, mayoritas dari mereka tidak bekerja (8,1 persen) dan nelayan (6,9 persen).
Upaya pencegahan
Bunuh diri dapat dicegah meski stigma yang melekat untuk para penderita depresi masih ditemukan di tengah masyarakat.
“Bunuh diri dapat dicegah. Kita bisa bersama-sama menyusun strategi untuk mencegah peningkatan upaya bunuh diri melalui program pendidikan,” ujar Director-General WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilaporkan Reuters.
Laporan WHO menjelaskan, tujuh upaya pencegahan bunuh diri dapat dilakukan. Pertama, mengamankan barang berbahaya yang biasa digunakan untuk bunuh diri. Bisa jadi cairan kimiawi, pisau, tali, gunting, dan lain sebagainya.
Penderita depresi yang memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri akan mencari barang-barang berbahaya tersebut ketika panic attack menyergap. Menjauhkan barang tersebut bisa menjadi upaya preventif.
Upaya kedua, yakni pemberitaan media yang peka dan tidak menghakimi penderita depresi dan pelaku bunuh diri. Penderita depresi yang membaca berita bunuh diri akan cenderung mudah terpantik dan merasa tersudut dengan diksi pemberitaan yang menghakimi.
Ketiga, melibatkan sekolah atau institusi pendidikan untuk memasukkan materi terkait gangguan mental, depresi, dan bunuh diri.
Keempat, mengenalkan konsumsi alkohol yang tidak berlebihan. Efek samping konsumsi alkohol yang berlebihan menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran dan memicu tindakan tidak wajar serta berbahaya.
Selanjutnya adalah identifikasi dini untuk penderita depresi, gangguan mental, gangguan kepribadian, penyakit akut, dan stres. Para penderita kesehatan mental perlu mendapatkan penanganan, baik dari psikolog atau psikiater.
Mereka juga perlu mendapatkan pelatihan bagaimana mengelola emosi dan bagaimana mencegah perilaku yang mengarah ke bunuh diri.
Terakhir, penting bagi orang-orang sekitar untuk terus mengajak berkomunikasi para penderita gangguan mental yang pernah mencoba bunuh diri. Sesekali bertanya kabar menjadi langkah sederhana yang penting dilakukan.
Sumber : WHO / Reuters / Beritagar