Polemik seputar Undang Undang Bus Omni atau lebih familiar dengan sebutan Omnibus Law sejak awal dirancang sebagai draft RUU hingga saat ini pasca ditetapkannya oleh DPR RI menjadi Undang Undang beberapa waktu yang lalu, belum menunjukan tanda-tanda ada penyelesaianya.
Terkait Undang Undang yang syarat dengan kontroversi tersebut, seorang praktisi dan pengamat bidang Hukum di Batam, DR Ampuan Situmeang, SH MH, memberikan sedikit pandanganya dari sisi yang lain lewat tulisan yang dikirim ke redaksi GoWest Indonesia pada Jum’at (29/10) dan kami sajikan dalam rubrik Catatan Netizen untuk anda. Selamat membaca.
———————————–
BANYAK pihak yang meragukan jika Omnibus Law dapat mempermudah sesuatu hal yang sulit menjadi mudah. Boleh jadi ada benarnya, karena letak persoalan yang rumit itu bukan semata-mata pada aturan (regulasinya), akan tetapi juga bisa dipengaruhi oleh mental pribadi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai penyelengara Birokrasi yang berwenang menerbitkan perijinan, itulah yang menggunakan segala cara untuk tidak mempermudah.
Kalau memang masih bisa di persulit kenapa musti di permudah, kecuali ada “hal yang dapat mempermudahnya”. Artinya adalah, bahwa mudah atau sulitnya suatu urusan yang menyangkut perijinan, bukan pada masalah regulasinya namun lebih kepada mental blok yang berkelompok, saling tau sama tau diantara ASN.
Jika belum ada arahan dari pimpinan maka sesuatu itu belum dapat mudah di loloskan, tunggu dulu arahan pimpinan, itulah realitasnya.
ASN itu lebih taat pimpinan daripada taat regulasi. Oleh karena itu Omnibuslaw apapun yang dibuat, kalau sistem birokrasi juga tidak ikut direformasi dengan sistem merit (Merit System), suatu proses perekrutan atau penempatan tenaga kerja sesuai dengan kemampuan dan kaspasitasnya, percuma atau samasaja akan berputar disitu-situ saja. Itu semua persoalan perijinan dan lain sebagainya yang menciptakan mafia birokrasi itu, adalah kultur yang sudah melekat dengan birokrasi itu sendiri.
Maka jika pertanyaannya, betulkah Omnibus Law (UU Cipta Kerja) itu mempermudah yang selama ini dianggap sulit bagi tuduhan-tuduhan yang di simpulkan untuk merekomendasikan di paksakan penerbitannya? jawabannya, masih harus menunggu beberapa tahapan selanjutnya, antaralain ;
Pertama, apakah UU Cipta Kerja itu akan di anulir oleh proses persidangan uji materi di Mahkamah Konstitusi?
Kalautidak di anulir, atau mungkin saja dirubah sebahagian dari klaster atau pasal-pasal tertentu, maka kemudian akan ada tindaklanjutnya dalam membuat Peraturan Pemerintah(PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen) serta keputusan-keputusan yang diperlukan. Sebagai pelaksanaan dari pasal-pasal yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut.
Kedua, adalah yang diuraikan diatas yaitu bagaimana ASN dapat menindaklanjutinya dalam pelaksanaan, bila kultur birokrasi belum berubah, ini penting.
Ketiga, Omnibus Law, adalah yang pertama sekali dan terbanyak sektor digabungkan dalam satu UU yang di sebut sebagai “Cipta Kerja”.
Di dunia, baru di Indonesia dilakukan hal sebesar ini, seperti proklamasi di buat cepat dan memindahkan semua kepada situasi yang baru, ya itu kemerdekaan, hal-hal yang lainnya akan dapat di selenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dan nyatanya sampai sekarang juga belum selesai itu semua berganti undang-undang-nya, ini pun sama, entah kapan itu semua yang di sebut dalam UU Cipta Kerja itu dapat diwujudkan, namun harus optimis, itulah hukumnya.
Kesimpulannya harus optimis Omnisbus Law (UU Cipta Kerja) betul-betul akan mempermudah semua yang sulit, termasuk mempermudah pemulihan pengembangan perekonomian yang sudah terpuruk akibat pandemi Covid-19. Juga semua negara tetangga dan negara-negara lainnya di dunia ini.
Sehingga di harapkan ASN dapat mempercepat penyesuaian Merit System secara bergotongroyong dalam mereformasi birokrasi yang dapat merubah semua keadaan yang selama ini dianggap sulit oleh dunia investasi. Semoga. (*)
Penulis : Ampuan Situmeang / Peneliti/ Praktisi/ Akademisi Hukum