KGPAA Paku Alam VIII ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional pada 3 November 2022. Penetapan itu dilakukan pemerintah lewat Keputusan Presiden Nomor 96 TK Tahun 2022 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan tersebut diumumkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Istana Negara hari ini, 7 November 2022.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Paku Alam VIII tentu menimbulkan suka-cita bagi warga Yogyakarta. Pasalnya, usulan untuk penganugerahan gelar tersebut kepada Paku Alam VIII sudah lama dilakukan.
“Semua elemen masyarakat dan pemerintah daerah DIY menyatakan kebulatan tekad untuk mengusulkan gelar Pahlawan Nasional bagi KGPAA Paku Alam VIII sejak tahun 1997,” demikian dikatakan Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta dalam lamannya, dinsos.jogjaprov.go.id.
Gelar pahlawan tersebut diberikan karena kontribusi Paku Alam VIII terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Usai proklamasi kemerdekaan, Paku Alam VIII mengirim telegram ke Jakarta tertanggal 28 Puasa Ehe 1976 atau 5 September 1945. Telegram itu berisi tiga poin pernyataan kesediaan Paku Alam VIII berdiri bersama Soekarno-Hatta.
“Bahwa Negeri Pakualaman yang bersifat Keradjaan adalah Daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa perhubungan antara Negeri Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia,” kata Paku Alam VIII dalam poin pertama dan ketiga telegramnya.
Apa yang tersurat dalam pernyataan telegram Paku Alam VIII itu menjadi bukti sikapnya sejak lama. Sebelum Republik Indonesia berdiri, Paku Alam VIII sudah tegas menolak bangsa asing manapun yang terlihat ingin menjajah.
“Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), Paku Alam VIII tidak tunduk terhadap penjajah yang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia itu,” kata Untung Sukaryadi, anggota tim penggagas gelar pahlawan Paku Alam VIII, dalam Sang Adipati, Testimoni dan Aspirasi Kepahlawanan KGPAA Paku Alam VIII.
Sikapnya tersebut tentu menuai risiko yang tidak kecil bagi Paku Alam VIII dan keratonnya. Namun, Paku Alam VIII teguh dalam prinsip yang dipilihnya kendati pihak Jepang berkali-kali merayu Pakualaman.
“Dalam sharing-nya dengan saya, Paku Alam VIII mengaku merasa dirinya diadu domba oleh pihak Jepang, penguasa Jepang sering berkata menyindir, yang dirasakan oleh PA VIII sebagai upaya untuk mengadu dirinya dengan Sultan HB IX,” kata R. Soedomo Soenarjo, penulis pidato Paku Alam VIII, dalam Sang Adipati, Testimoni dan Aspirasi Kepahlawanan KGPAA Paku Alam VIII.
Adanya upaya adu domba justru membuat Paku Alam VIII menemui Sultan Hamengkubuwono IX. Paku Alam VIII menyatakan keinginannya menyatukan kembali Kadipaten Pakualaman dengan Kesultanan Yogyakarta. Upaya tersebut mendapat sambutan positif dari Hamengkubuwono IX. Melalui perjanjian tidak tertulis, sejak itu Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII berkantor bersama di Kepatihan, Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono IX juga berkenan memberikan kepercayaan pada Paku Alam VIII untuk mengurusi Dinas Agraria. Kolaborasi kepemimpinan keduanya pun mulai terjalin.
Ketika Jepang menerapkan romusha, Paku Alam VIII bekerjasama dengan Sultan Hamengkubuwono IX mencari cara untuk melindungi rakyat. Mereka kemudian memerintahkan rakyat untuk menuntaskan pembangunan saluran air Van Der Wijck yang sekarang dikenal dengan nama Selokan Mataram. Upaya tersebut berhasil menghindarkan rakyat dari romusha.
Di masa Perang Kemerdekaan, Paku Alam VIII aktif mendukung pembangunan. Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mengadakan konferensi untuk memilih panglima tertinggi, Paku Alam VIII menyediakan dukungan akomodasi dan logistik para peserta. Panglima tertinggi TKR kemudian diberikan rumah dinas yang berasal dari rumah dinas pejabat keuangan Puro Pakualaman. Bukan hanya panglima tertinggi saja yang mendapatkan rumah, para pejabat TKR juga diberi rumah dinas oleh Paku Alam VIII.
Pada awal 1946, presiden beserta segenap jajaran kabinetnya pindah Yogyakarta dan memindahkan ibukota ke sana karena Jakarta dianggap sudah tidak aman. Paku Alam VIII yang mengetahui hal itu menjamin keamanan Sukarno dan keluarganya dengan memberi tempat tinggal sementara di Puro Paku Alam sebelum Gedung Agung diperbaiki. Penjagaan yang diberikannya sangat ketat ketika Sukarno berada di sana.
Sebaliknya, Paku Alam VIII menunjukkan sikap antipatinya terhadap pihak Belanda yang berupaya mengambil hatinya untuk mendukung dan bekerjasama dengan Belanda guna memuluskan upaya pendudukan kembali atas wilayah bekas Hindia Belanda yang telah berubah jadi Republik Indonesia. Ketika didekati pihak Belanda, dengan halus Paku Alam VIII menolak.
“Bagi saya, apa kata Sri Sultan, itulah pendirian saya pula. Seandainya Sri Sultan setuju dengan gagasan tuan-tuan, maka saya akan mengikuitnya. Jadi tergantung kepada Sri Sultan. Silakan tuan-tuan berbicara dengan Sri Sultan dahulu,” kata Paku Alam VIII, dikutip Purnawan Tjondronegoro dalam Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku, yang jelas mengetahui bahwa Sultan Hamengkubuwono mendukung penuh RI.
Usai Agresi Militer Belanda I (1947), PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mengawasi gencatan senjata, pada 15 Agustus 1947. Ketika KTN mengadakan perundingan di tempat peristirahatan Ngeksigondo milik Sultan Hamengku Buwono IX dan Wisma Kaliurang, Paku Alam VIII menyediakan mobil-mobil milik Puro Pakualaman untuk sarana transportasinya.
Sumbangsih Paku Alam VIII berlanjut ketika pasukan Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta dari Jawa Barat. Selain memberikan pondokan untuk tempat tinggal para prajurit Siliwangi, Puro Pakualaman juga menyediakan makanan dan berbagai akomodasi selama mereka di ibukota.
Demikian sedikit dari rentetan kiprah Paku Alam VIII yang hobi pencak silat dalam mendukung perjuangan kemerdekaan. Meskipun perannya selalu berada di bawah bayang-bayang Sultan Hamengkubuwono IX, dalam masa-masa sulit perannya justru sangat menentukan. Kiprah sebagai buah dari sikapnya itu terus dimainkannya hingga jauh setelah republik berdiri.
“Aktivitas yang tidak kalah pentingnya, yakni manakala Sri Sultan Hamengkubuwono IX mangkat tahun 1988, Paku Alam VIII lantas ditunjuk sebagai pelaksana Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta hingga tahun 1998. Sedangkan saat terjadinya Reformasi 20 Mei 1998, Paku Alam VIII bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X langsung mengeluarkan Maklumat mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia Raya,” tulis Joko Darmawan dalam Mengenal Budaya Nasional “Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa”.
(*)
Sumber: historia.id