TEUKU Umar sudah menjadi pahlawan nasional sejak ditetapkan pemerintah melalui SK Presiden No. 087/TK/1973 pada 6 November 1973. Sebagai sosok yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda, barang-barangnya turut dirampas. Salah satunya adalah kitab suci Al-Qur’an, yang kemudian menjadi koleksi di museum Belanda. Kini, Al-Qur’an itu sedang diupayakan untuk dipulangkan ke tanah air.
Al-Qur’an Teuku Umar jadi satu dari delapan benda bersejarah yang akan direpatriasi pemerintah Indonesia dari Belanda.
Repatriasinya didasari surat Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek bulan Juli 2022 dan ditanggapi positif lewat surat balasan Staatsecretaries voor Culture n Media (Menteri Muda Kebudayaan dan Media) Belanda Gunay Uslu pada medio September 2022.
Sejarawan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Dr. Adli Abdullah menyambut hangat rencana repatriasi tersebut. Harapannya, kelak jika pemulangan Al-Qur’an Teuku Umar itu terealisasi, bisa dirawat dengan baik sebagai satu dari sekian saksi bisu perjuangan Teuku Umar untuk bisa dihayati generasi muda.
“Masalah Al-Qur’an Teuku Umar dipulangkan, kalau sampai di sini tidak ada yang menjaga yang baik kan sayang juga. Apalagi Teuku Umar ini pahlawan nasional. Agar aset-aset yang dikembalikan dijadikan aset museum. Museum nasional, misalnya. Jadi ada yang menjaga dan merawat,” ujar Adli saat dihubungi Historia.
Namun, dibutuhkan provenance research lebih mendalam terhadapnya sebelum benar-benar dipulangkan. Terlebih Al-Qur’an yang diklaim milik Teuku Umar di Belanda faktanya tidak hanya tiga seperti yang dikabarkan sebelumnya, melainkan ada empat.
Sebagaimana dilansir Trouw, 31 Oktober 2022, ketiga Al-Qur’an tersebut tersebar di dua museum. Satu di Wereldmuseum Rotterdam berupa Al-Qur’an cetak. Dua Al-Qur’an lain di Tropenmuseum Amsterdam, masing-masing berupa Al-Qur’an cetak dan Al-Qur’an tulis tangan. Belakangan, sejarawan Belanda Mirjam Shatanawi mengklarifikasi bahwa Al-Qur’an yang diduga milik Teuku Umar itu di Belanda tidak hanya ada tiga.
“Sebenarnya ada empat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang keempat ada di Universitas Leiden. Saya sudah bilang demikian kepada Trouw tapi mereka menuliskan tiga (Al-Qur’an). Sepengetahuan saya, semua Al-Qur’annya dalam kondisi baik. Al-Qur’an yang (versi) tulis tangan terdapat kerusakan namun itu wajar mengingat usianya,” kata Shatanawi kepada Historia dalam kesempatan berbeda.
Teuku Umar dan Al-Qur’annya
Teuku Umar yang lahir di Meulaboh, Aceh Barat pada 1854 sudah angkat senjata melawan pasukan kolonial Hindia Belanda sejak usia 19 tahun. Perjuangannya kondang karena ia mampu memberi perlawanan alot lewat perang gerilya bersama istri ketiganya, Cut Nyak Dhien. Ia juga merepotkan pasukan Belanda dengan taktik pura-pura jadi antek Belanda.
“Teuku Umar ini dengan Cut Nyak Dhien itu sepupu. Anak-adik dengan anak abang.
Kemudian Teuku umar itu kan keluarga bangsawan dan keluarga dia keluarga dengan agama yang kuat. Teuku Umar ini kan berasal dari Padang. Jadi Aceh dulu kerajaannya kan sampai ke Padang. Jadi orang-orang Padang yang tak mau tunduk pada Belanda setelah Perjanjian Painan (1663), kelompok-kelompok yang kuat agamanya mengungsi ke wilayah aceh. Kemudian mereka pindah ke daerah yang belum dikuasai Belanda, yaitu Meulaboh, Aceh Barat,” sambung Adli.
Dalam Mengenal Pahlawan-Pahlawan Nasional: Teuku Umar, Sagimum Mulus Dumadi mencatat, darah bangsawan Minang Umar diturunkan dari ayahnya, Achmad Machmud. Silsilahnya bermula dari Datuk Machudum Sati yang pernah menentang penguasa Kesultanan Aceh, Sultan Djamalul Alam, meski kemudian dirangkul sultan Aceh.
Dari Datuk Machudum Sati, lahir Teuku Nan Rentjeh yang –kemudian menjadi Uleebalang VI Mukim– merupakan ayah dari Machmud dan Nanta Seutia. Machmud merupakan ayah Umar, sementara Teuku Nanta Seutia ayah Cut Nyak Dhien. Sementara ibu Teuku Umar merupakan adik perempuan dari seorang uleebalang Meulaboh.
“Jadi beliau ini keluarga bangsawan yang agamis. Tapi yang mempengaruhi beliau soal semangat juang, yang kuat dari Cut Nyak Dhien sebagai istri ketiga, bukan dari istri pertama dan kedua. Maka dalam catatan Belanda yang tercatat anaknya ya dari istri ketiga, Cut Gambang. Walau Teuku Umar juga punya anak dari istri kedua sampai enam orang, sementara dari istri pertama tidak ada anak. Nah, karena beliau bangsawan yang agamis, tak heran beliau dan keluarganya pro terhadap sultan. Kalau bangsawan yang oportunis memihak Belanda,” terang Adli.
Setidaknya dua kali Teuku Umar mengerjai Belanda dengan berpura-pura menyerahkan diri demi mengecoh, merampas harta, dan persenjataan Belanda, yakni pada 1883 dan 1893. Taktik gerilya dan menipu Belanda itu mulanya berhasil sampai membuat Belanda frustrasi.
“Dan tipikal orang Aceh dahulu kalau berjuang kan ada dua yang dibaca sebagai spirit perjuangan. Pertama dia baca Al-Qur’an, kedua dia baca hikayat Perang Sabil. Karena dulu di Aceh di surau-surau itu juga jadi tempat-tempat perjuangan. Jadi Al-Qur’an dan hikayat itu semacam jadi motivasi juga untuk perjuangan,” tambahnya.
Namun, Teuku Umar akhirnya dijebak dan terbunuh pada 11 Februari 1899 malam di pinggiran kota Meulaboh. Jasadnya memang bisa dilarikan anak buahnya ke Woyla, untuk kemudian dibawa lagi guna dimakamkan di dekat Masjid Kampung Mugo di hulu Sungai Meulaboh.
“Waktu itu Teuku Umar tertembak karena beliau tampak sedang merokok. Kan tampak cahaya kan. Beliau kena langsung, yang lain enggak kena. Kemudian waktu kena komandannya ini, pasukannya fokus menyelamatkan beliau. Jadi dibawa lari dan beliau meninggal di perjalanan. Sedangkan barang-barang yang jadi beban ditinggalkan. Mereka lari kan estafet itu sampai ke Woyla. Sampai dibuat kuburan palsu untuk mengelabui Belanda, sampai akhirnya kuburan terakhir Teuku Umar itu di hulu Sungai Meulaboh,” tambah Adli.
Sepak-terjang Teuku Umar itu bertautan dengan kisah di balik empat Al-Qur’an yang ada di Belanda. Al-Qur’an itu dirampas dari rumah dan parit pertahanan Teuku Umar lalu dibawa ke Negeri Kincir Angin dan bertahan hingga sekarang.
Al-Qur’an cetak yang saat ini tersimpan di Wereldmuseum Rotterdam, salah satunya. Sejarawan Caroline Drieënhuizen dalam catatannya di blog-nya memaparkan, Al-Qur’an yang dicetak dan diterbitkan di Mumbai, India, itu dirampas Letnan Ferdinand Kenninck saat pasukan Belanda menyerbu rumah Teuku Umar di Lampisang pada 25 Mei 1896. Meski Teuku Umar bisa meloloskan diri, rumahnya dibakar dan Al-Qur’annya diambil Letnan Kenninck lalu dibawa ke kampung halamannya di Den Helder.
Sempat dipamerkan sebagai “trofi perang”, Al-Qur’an itu lalu oleh kakak sang prajurit, Pastur Franciscus Kenninck, diserahkan ke Koloniaal Instituut (kini Tropenmuseum). Al-Qur’an itu akhirnya “tinggal” di galeri pamer Wereldmuseum.
Al-Qur’an kedua yang tersimpan di gudang koleksi Tropenmuseum juga dirampas di tahun yang sama, yakni 1896. Al-Qur’an versi tulis tangan dengan tinta hitam dan merah ini dicomot serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) saat ekspedisi memburu Teuku Umar ke Lepong dan Lohong antara 9-14 Agustus 1896. Al-Qur’an itu kemudian diserahkan ke Karel Willem Gisolf, komandan pasukan. Oleh Gisolf, Al-Qur’an itu diserahkan ke Koloniaal Instituut pada 1941.
Satu Al-Qur’an lain yang dipamerkan di salah satu galeri Tropenmuseum juga Al-Qur’an cetak. Al-Qur’annya dipamerkan bersama satu tongkat berjalan dan satu gelas minum yang merupakan hadiah dari Belanda saat Teuku Umar “menyerahkan diri”. Al-Qur’an ini ditemukan bukan di rumah Teuku Umar melainkan di dekat sebuah parit pertahanan pasukan Teuku Umar.
Tidak diketahui siapa yang merampas Al-Qur’an itu dan bagaimana ia dirampas. Hanya disebutkan Drieënhuizen bahwa Al-Qur’an ini diserahkan ke kurator Koloniaal Instituut Frits Herman van Naerssen pada 1948.
“Yang keempat di Leiden University, hanya terdapat tahun cetaknya, 1879. Dan informasi yang ada juga ditemukannya di rumah (Teuku Umar). Selain itu belum ada riset yang lebih mendalam untuk memverifikasinya,” kata Shatanawi.
Menurut Adli, dari keempat Al-Qur’an itu masih terbuka kemungkinan bahwa semua milik Teuku Umar, tapi bisa juga milik pasukannya. Soal versi tulis tangan maupun versi cetak, keduanya sudah biasa dipegang tokoh-tokoh Aceh masa itu.
“Al-Qur’an lebih dari pada tiga, enggak masalah karena bisa jadi itu punya Teuku Umar bersama pasukannya. Bisa jadi juga satu punya Teuku Umar dan yang lain punya pasukan beliau. Atau bisa juga tiga-tiga punya beliau tapi yang bawa pasukannya karena beliau kan komandan. Jadi semua barangnya dibawa anak buah beliau. Apalagi di masa itu Al-Qur’an di Aceh berkembang dua, ada cetak dan tulis tangan. Saya yakin itu cetakan Kairo (Mesir) kalau memang berbentuk cetakan meski tentu perlu diteliti lebih mendalam,” imbuh Adli.
Senada dengannya, Shatanawi juga berpendapat bahwa tak menutup kemungkinan Teuku Umar punya lebih dari satu Al-Qur’an. Soal cetakan, Shatanawi lebih meyakini yang versi cetak berasal dari Mumbai, India terbitan antara tahun 1850 dan 1890.
“Al-Qur’an cetak dari Mumbai sudah umum di Aceh pada masa itu. Tapi kita juga mesti mengingat bahwa Teuku Umar seorang yang kaya dan ada kemungkinan punya lebih dari satu Al-Qur’an. Ia juga dikelilingi keluarga dan para pengikut setianya. Jadi saya meyakini empat Al-Qur’an yang ditemukan di sekitarnya memang bisa saja miliknya tapi keempatnya juga bisa jadi milik istrinya, kerabatnya yang lain, atau para pengikutnya. Tetapi saya masih akan melakukan riset lebih lanjut,” terangnya.
(*)
Sumber: historia.id