BEBERAPA waktu yang lalu, saya mendapat pop-up notifikasi dari YouTube bahwa akun Marques Brownlee mengunggah video baru. Notifikasi itu bertuliskan “The Truth About AI Getting Creative”. Tak lama kemudian saya menontonnya. Di situ, dia membahas mengenai Artificial Intelligence (AI) chatbot. Marques menunjukkan bahwa ChatGPT, AI chatbot di video tersebut, dapat menjawab berbagai pertanyaan yang penggunanya ajukan. ChatGPT dapat membuat esai, menjelaskan mengenai suatu hal secara rinci, membuat naskah video, puisi, cerita pendek bahkan pemrograman. Mendengar hal tersebut, saya takjub. Ternyata AI yang beberapa tahun belakangan kurang bisa dijangkau masyarakat umum sekarang hanya dengan modal internet, kita bisa menikmatinya secara gratis.
Bagi yang belum tahu, ChatGPT adalah satu dari berbagai AI chatbot yang tengah ramai belakangan ini. Tak seperti Google yang hanya merupakan mesin pencarian, ChatGPT tidak memberikan jawaban dari data base Google atau internet. Ia memberikan jawaban berdasarkan olahan data yang dimasukkan oleh pengembang. Kemunculan ChatGPT membuat masyarakat awam kaget dan ramai-ramai menggunakannya. Kemampuannya yang dapat melakukan banyak hal berdampak pada berkurangnya usaha yang dilakukan manusia untuk membuat sesuatu. Sekadar mahasiswa yang ingin membuat esai, ChatGPT dapat membuatkan dengan tema yang diminta. Hanya dengan mengetik “buat esai tentang (persoalan yang ingin dibuat)” ChatGPT akan memberikan esai sederhana 5-7 paragraf.
Kemampuan ChatGPT
Dampak ini juga saya rasakan. Minggu lalu saya sedang mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Setelah mengerjakan soal UAS, saya mencoba memasukkan soal yang ada pada lembar soal UAS ke dalam ChatGPT. Hasilnya, ChatGPT dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan teori analisa berbentuk soal cerita. Akan tetapi, ia tidak bisa memberikan jawaban yang spesifik dan praktik. Dalam kesempatan lain saya juga mencoba memakai ChatGPT untuk membantu membuatkan makalah. Dengan sangat baik ia dapat membuat tulisan esai yang argumentatif dan memiliki gagasan yang baik. Akan tetapi, lagi-lagi ChatGPT tidak bisa memberikan penjelasan spesifik dan aktual. Hal itu menunjukkan sisi kelemahan ChatGPT yang sangat dirasakan penggunanya.
Tak semua hal bisa dilakukan Chat GPT. Chat GPT dan AI chatbot lain baru muncul dan dapat dipakai secara terbuka oleh publik tak lebih dari 3 bulan yang lalu. Kemunculannya yang masih awal membuat banyak keterbatasan yang dapat dilakukan. Misalnya, jawaban yang diberikan tidak lengkap, data yang diberikan salah ataupun ketidakmampuan dalam memberikan informasi yang aktual. Semua itu membuat jawaban yang diberikan ChatGPT tidak sesuai dengan harapan penggunaannya.
Hal ini tidak membuat pelajar berhenti untuk menggunakan ChatGPT. Meskipun belum sempurna, ia tetap sangat membantu. Pelajar yang menggunakannya dapat mempersingkat waktu dalam membuat proyek mereka. Pelajar dapat menggunakan ChatGPT untuk melakukan penelitian ataupun brainstorming ide menulis. Selanjutnya, pengguna dapat memilih topik dan gagasan yang diberikan ChatGPT kemudian melakukan penelitian mendalam terkait hal tersebut. Kegiatan ini bisa menyingkat waktu mahasiswa dalam membuat paper atau sekadar menulis esai. ChatGPT ke depannya juga akan menjadi lebih canggih. Beberapa kekurangan ChatGPT seperti kurang adanya data maupun tidak bisa memberikan informasi yang aktual, 2-3 tahun ke depan mungkin saja berbagai kelemahan tersebut hilang.
Dampaknya dalam Dunia Pendidikan
ChatGPT dan AI Chatbot lain pada dasarnya adalah alat. Sama halnya saat Google pertama kali muncul, orientasi pelajar dalam mengakses informasi berubah. Sebelumnya, pelajar harus pergi ke perpustakaan dan membaca banyak buku untuk mengerjakan soal maupun tugas yang diberikan pengajar. Dengan adanya Google, mereka bisa mengakses informasi dengan lebih mudah dan sangat menyingkat waktu. Kemudahan itu juga hampir sama dengan apa yang ChatGPT tawarkan.
Dengan kemampuannya, pelajar dapat menggunakan ChatGPT untuk berbagai hal. Sekarang pelajar dengan mudah dapat menjawab semua pertanyaan yang diberikan. Menariknya, ketika menggunakan ChatGPT, Turnitin, sebuah plagiarisme detektor tidak bisa mendeteksi jawaban yang dibuat ChatGPT. Kedua hal tersebut dapat dilihat sebagai dampak utama yang dirasakan oleh pelaku di dunia pendidikan.
ChatGPT harus dilihat sebagai sebuah kesempatan bagi para pelaku dunia pendidikan. Memang benar bahwa pelajar dapat menjawab pertanyaan dengan sangat mudah dan itupun yang seringkali membuat khawatir pengajar. Bagaimana dengan kemampuan pemecahan masalah dan analisis yang perlu dikembangkan pelajar? Kiranya itu yang dipertanyakan ketika membicarakan ChatGPT.
Jika pelaku dunia pendidikan berpikir terbuka, ChatGPT dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar. Pengajar juga bisa dengan mudah memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan kualitas mengajar. Mereka bisa menggunakan ChatGPT untuk membuat pertanyaan yang sangat kompleks dan memacu para pelajar untuk berpikir dan menganalisis lebih keras. Pertanyaan kompleks bisa membantu dalam pemecahan masalah, bekerja sama, skill komunikasi dan kemampuan menggali informasi untuk menjawab permasalah tersebut.
Selain itu, pengajar juga dapat memakainya untuk membantu menerapkan personalization feedback dengan lebih efektif. Kini pengajar tidak perlu menganalisa satu per satu jawaban pelajar. Pengajar bisa langsung memasukkan jawaban ke dalam ChatGPT dan ChatGPT akan otomatis memberikan umpan balik yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar masing-masing individu. Dengan kemampuannya, ChatGPT dapat menganalisa data dari jawaban tersebut dan menghasilkan laporan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pelajar dan menyesuaikan pengajaran.
Masih banyak lagi fitur Chat GPT lain yang dapat meningkatkan kualitas aktivitas belajar mengajar. Dengan adanya fitur-fitur tersebut, tidak hanya membawa perubahan dalam cara pelajar menerima ilmu, tapi secara fundamental pelajar dapat lebih efektif dan efisien menggunakan AI untuk memudahkan mereka belajar.Penggunaan Chat GPT seperti ini merupakan sarana kunci dalam perubahan dunia pendidikan.
Akan tetapi, perubahan tersebut tidak akan pernah terjadi jika pelajar dan pengajar tidak tahu cara memanfaatkan teknologi ini secara optimal. Penyuluhan yang komprehensif dan optimal harus menjadi sebuah keharusan. Pengajar dan pelajar harus sama-sama mengetahui cara memaksimalkan kekuatan AI. Kasus seperti kecurangan-kecurangan yang dilakukan pelajar menggunakan AI Chatbot terjadi karena pengajar tidak mengetahui cara mengoptimalkan teknologi ini. Jika hanya pelajar yang mengetahui teknologi ini maka dampak negatif akan semakin terlihat. Siswa semakin mudah melakukan tugas mereka tanpa pengajar memberikan inovasi kegiatan mengajar yang lebih efektif dengan bantuan AI .
(*)
Seperti ditulis Khatibul Azizy Alfairuz di laman Kumparan