SETIAP hari Minggu, saya memotret orang main bola. Di kompetisi amatir liga Singapura. Jadwal mainnya, seringkali “brengsek” sekali. Kalau tak main jam 11 pagi, biasanya main jam 1 siang. Ketika cuaca lagi terik-teriknya. Apalagi sebulan terakhir ini, Singapura dilanda “gelombang panas” yang bisa membuat suhu siang hari mencapai 35 derajat. 13 Mei 2023 lalu, bahkan, rekor udara terpanas Singapura yang bertahan selama 40 tahun, pecah. Ketika badan cuaca sini mencatat suhu udara sebesar 37 derajat celcius.
Bayangkan, Anda main bola jam 1 siang, di udara seterik itu! Di rumput sintetis pula. Rumput yang bisa menaikkan suhu berapa derajat lebih menyengat.
Sepakbola di Singapura, seperti halnya di Indonesia; adalah kegilaan yang susah untuk dijelaskan. Di mana-mana di sudut Singapura, permaianan bola dimainkan oleh siapa saja. Oleh anak-anak, pria-pria dewasa, lanjut usia, bahkan juga remaja-remaja putri yang tidak peduli kulit mereka menghitam, terpanggang matahari. Meski liga pro Singapura jauh dari kata BAGUS secara bisnis dan profesional, namun secara sistem(atis) liga di sini berjalan dengan sangat rapih. Tidak ada praktik-praktik kotor di dalamnya. Jadwal tersusun dengan tepat. Lapangan-lapangan bagus, meski penontonnya tidak banyak.
Liga-liga amatir juga dijalankan dengan baik. Di liga amatir yang saya foto tiap pekan, saya melihat talenta-talenta bagus, yang tidak hanya kuat di stamina, tapi juga cerdas dalam permainan bola. Main bola selama 90 menit pada jam 1 siang, tentu butuh stamina yang bukan “kardus-kardus”.
Tapi, “kenapa sepakbola timnas Singapura begitu buruknya? Padahal, jika melihat orang-orang ini main, seharusnya timnas bisa lebih baik?” pertanyaan ini saya ajukan pada wasit yang memimpin pertandingan Sabtu (28/5) di lapangan SMP Compassville.
“Coba kamu lihat sekeliling lapangan ini!” si wasit menjawab pertanyaan saya dengan melemparkan teka-teki.
“Kenapa?”
“Adakah orang-orang dari asosiasi yang memperhatikan pertandingan-pertandingan ini?”
“Seingat saya tidak pernah.”
“Itulah jawaban kenapa sepakbola timnas (Singapura) buruk banget!”
Ya, bagaimana menemukan para pemain bagus, jika tak ada pencari bakat yang tiap pekan duduk, melototi permainan liga-liga amatir. Padahal, sumber-sumber talenta, ya dari sana! Pemain-pemain hebat seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Jamal Musiala, Dimitar Berbatov, N’golo Kante, dls; itu terlebih dahulu harus DITEMUKAN, sebelum kemudian “digosok” dengan hati-hati dan penuh kesabaran, untuk bisa mengeluarkan kilau mereka di kelak kemudian. Bagaimana sebongkah batu mulia bisa ditemukan, jika Anda enggan turun ke tambang, sambil membawa cangkul, mengais setiap jengkal lahan yang potensial menyimpan batu mulia?
Uang dan kegilaan bermain bola saja TIDAK CUKUP untuk membuat sepakbola suatu negara maju. Singapura kurang apa? Mereka begitu kaya raya! Lapangan-lapangan bola mereka bagus-bagus, dan siapa pun boleh memakainya. Rakyatnya gila bola. Sekolah-sekolah sepakbola juga subur bermunculan di mana-mana, termasuk sekolah sepakbola dari klub-klub beken semacam Real Madrid, Arsenal, Chelsea.
Dengan semua modal itu, seharusnya sepakbola Singapura bisa semaju negara-negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Jika liga Singapura tidak terlalu maju karena faktor kecilnya negeri ini, setidaknya mereka bisa melahirkan pemain-pemain kelas dunia. Bahkan dengan negara sekelas Palestina (ranking 93) Burkino Faso (ranking 50) yang selalu perang saudara itu, sepakbola Singapura (ranking 158) jauh di bawahnya.
Tapi, bagaimana bisa lahir pemain dari sana, jika talenta-talenta bagus mereka tidak ada yang diperhatikan. Dipantau!
Kunci keberhasilan Indra Sjafri memoles tim nasional Indonesia, menurut saya, dimulai dari CARA REVOLUSIONER-nya berkeliling Indonesia secara langsung, mencari bakat-bakat pemain sepakbola. Bukan duduk di belakang meja sambil menunggu disodori nama-nama pemain bola, yang kita tahu, selama ini isinya cuma pemain-pemain titipan dari pengurus bola itu sendiri.
Indra merasa, ia tak bisa mempercayai sistem sepakbola Indonesia. Untuk itu ia harus “menambang” sendiri bakat-bakat bola dari orang-orang Indonesia yang memang gila bola. Untuk kemudian memolesnya dengan penuh kehati-hatian. Penuh kesabaran. Untuk kemudian, kilau anak didiknya berhasil memberikan kegembiraaan pada orang-orang Indonesia yang sudah dari sononya gila bola.
Bagaimana tidak disebut BENAR-BENAR GILA, jika pengurus dan para pandit bola di Indonesia, hidup mereka jauh lebih makmur ketimbang para pemain profesionalnya sendiri!
,(*)
Penulis : Sultan Yohana, Blogger/Vlogger. Konten lain bisa disimak di www.sultanyohana.id