“Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe”
Kiprah Amir Hamzah mendapat pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, mulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya.
PADA tahun 1969, ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.
Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional. Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya. Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan, Mataram, dan Surabaya.
Banyak yang menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia. Anwar menulis bahwa penyair ini adalah “puncak gerakan Pudjangga Baru”, mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi “cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru”; namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik. Balfas menggambarkan karya Amir sebagai “karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka”.
Karya Hamzah, khususnya “Padamu Jua”, diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.
Jassin menyebut Amir sebagai “Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe”, nama yang dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut. Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:
“… Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada ‘hidup bertentu tudju’. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah airnja.” (H.B. Jassin, (Jassin 1962, hlm. 41)
Akhir riwayat hidup
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra, dan pada 29 Oktober 1945. Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai.
Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia, kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra. Bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.
Pada tanggal 7 Maret 1946, selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan. Kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap. Sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.
Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.
Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Di saat ini gelap gulita
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut. Beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.
Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan “Di mana Amir Hamzah?” selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.
Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.
Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
(sus)
Sumber : H.B. Jassin, (Jassin 1962, wikipedia