SATU dekade sejak PBB pertama kali meluncurkan Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis, hampir 800 jurnalis telah terbunuh di seluruh dunia.
SELAIN terbunuh, banyak pula jurnalis menghadapi kekerasan, ancaman, pelecehan, dan gugatan hukum, yang pelakunya sering kali tidak diadili.
Situasi tersebut terjadi di zona konflik bersenjata, seperti Myanmar, di mana jurnalis terjebak di tengah baku tembak.
Namun, kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di negara-negara yang relatif damai.
Pada Rabu, organisasi nirlaba kebebasan pers yang berbasis di New York, Committee to Protect Journalists, merilis Indeks Impunitas Global tahunannya.
Asia menjadi kawasan yang paling banyak kasus impunitas, dengan Filipina dan Myanmar berada di peringkat ke-9 dan ke-10 di antara negara-negara di mana pembunuhan terhadap jurnalis tidak dihukum.
China masih menjadi momok terbesar bagi jurnalis di dunia.
Sejumlah reporter di Kamboja mengalami tindakan kekerasan saat mengungkap kejahatan di negara itu.
Pekan ini, Vietnam menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada seorang blogger setelah membuat laporan tentang korupsi.
Selama setahun terakhir, Radio Free Asia dan media afiliasinya, BenarNews, melaporkan sejumlah kasus di mana jurnalis menghadapi kekerasan saat melakukan pekerjaan mereka.
Beberapa di antaranya dilukai, satu orang diculik, dan beberapa lainnya dijatuhi hukuman penjara yang berat.
Sementara itu, bagi mereka yang berada di negara-negara paling tertutup, 2024 menjadi tahun di mana keluarga dari jurnalis-jurnalis yang dibungkam beberapa tahun sebelumnya akhirnya mengetahui nasib mereka.
Di bawah ini adalah rangkuman kasus-kasus terbaru di wilayah yang diliput RFA dan BenarNews, dan Indonesia adalah salah satu di antaranya.
Indonesia
VICTOR Mambor, jurnalis BenarNews di Jayapura, serta media tempatnya bekerja, Jubi, dikenal dalam peliputan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah Papua yang dimiliterisasi dan penuh ketegangan. Peliputannya sering kali membuat mereka berada dalam ancaman kekerasan.
Pada awal Oktober, bom molotov dilemparkan ke kantor redaksi Jubi di Jayapura, menyebabkan terbakar dan rusaknya dua mobil yang diparkir.
Polisi mengatakan mereka sedang menyelidiki kasus ini, tetapi hingga kini belum ada pelaku yang ditemukan, sementara kelompok HAM mencatat bahwa serangan terhadap media di Papua sering kali tidak ditindaklanjuti.
“Jika dibiarkan tanpa penyelesaian, masyarakat akan bertanya-tanya siapa yang berada di balik ini,” jelas Gustaf Kawer, direktur Asosiasi Pengacara HAM Papua.
“Saya percaya sangat penting untuk mengungkap pelakunya guna mencegah insiden di masa mendatang dan memastikan bahwa pers dapat beroperasi dengan bebas.”
Serangan ini bukan yang pertama kali terjadi pada Victor. Pada Januari 2023, sebuah bom meledak di luar rumahnya, dan pada April 2021, jendela mobilnya dirusak tapi tidak ada upaya penangkapan terhadap pelaku.
Vietnam
PADA Rabu (30/10), jurnalis Duong Van Thai, 42, diadili di Hanoi atas tuduhan membuat “propaganda melawan negara” yang melanggar Pasal 117 dalam aturan hukum pidana Vietnam, UU yang ditulis secara samar dan sering disebut oleh organisasi HAM sebagai alat negara itu untuk membungkam perbedaan pendapat.
Duong dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dalam persidangan tertutup yang bahkan tidak dihadiri oleh keluarganya.
Persidangan ini diadakan lebih dari 18 bulan setelah blogger dan YouTuber tersebut menghilang dari rumahnya di Bangkok, tempat ia melarikan diri dan mencari suaka politik pada 2019.
Pemantau HAM percaya bahwa Duong diculik, dan banyak yang mengutuk peran Hanoi dan Bangkok dalam meningkatkan penindasan lintas negara.
Duong dikenal karena komentarnya yang tajam tentang politik, termasuk laporan tentang korupsi dan pertikaian politik — yang diyakini banyak pihak membuatnya menjadi sasaran.
“Pekerjaan Duong Thai dalam mengungkap korupsi bukanlah kejahatan — itu adalah bentuk penting dari kebebasan berekspresi yang esensial untuk pemerintahan yang bertanggung jawab,” tulis kelompok kampanye PEN America di X tak lama sebelum hukumannya diumumkan.
Myanmar
JURNALIST Htet Myat Thu, 28, dan Win Htut Oo, 26, ditembak mati oleh tentara junta pada 21 Agustus di negara bagian Mon.
Keduanya tewas ketika tentara menyerbu rumah Htet Myat Thu di kota Kyaikhot, setelah dikabarkan menerima informasi bahwa pasukan revolusioner berada di sana.
Htet Myat Thu adalah reporter untuk media lokal The Voice dan pernah ditangkap beberapa tahun sebelumnya saat meliput protes anti-kudeta.
Win Htut Oo adalah reporter untuk DVB dan The Nation Voice, dua media berita lokal populer lainnya. Setidaknya lima jurnalis telah terbunuh dan lebih dari 170 ditangkap sejak kudeta militer Februari 2021.
“Para jurnalis bekerja di lapangan dan berusaha menyampaikan berita yang benar tepat waktu. Tentara junta menganggap pekerjaan ini sebagai serangan terhadap mereka, dan memperlakukan para jurnalis dengan buruk,” jelas Nay Aung, pemimpin redaksi The Nation Voice.
Seorang warga, yang tidak ingin disebutkan namanya demi keamanan, mengatakan bahwa pasukan junta mengremasi jenazah kedua jurnalis tersebut alih-alih mengembalikannya kepada keluarga mereka.
Bangladesh
SEDIKITNYA lima jurnalis tewas dan puluhan lainnya terluka di tengah kerusuhan yang berujung pada kekerasan selama Juli – Agustus ini di Bangladesh.
Sharif Khiam Ahmed, reporter BenarNews, dipukuli oleh para pengunjuk rasa dengan batu bata, sementara Jibon Ahmed, kontributor BenarNews terkena peluru dari pasukan keamanan. Bahkan mereka yang berada di luar Bangladesh mengalami serangan pribadi.
Setelah melakukan siaran langsung dari newsroom di Washington DC terkait peristiwa di Bangladesh itu, reporter BenarNews, Ashif Entaz Rabi, menjadi sasaran serangan oleh Nijhoom Majumder, aktivis terkenal dari partai penguasa Liga Awami yang memiliki lebih dari 265.000 pengikut di Facebook.
Nama dan foto Rabi ditampilkan dalam sebuah unggahan Facebook dengan video terpisah dalam platform yang sama di mana ia dituduh telah ditugaskan CIA untuk “menyiarkan berita palsu” dan “menyebarkan kabar bohong” dalam plot yang didanai AS untuk “menumbangkan pemerintah.”
Postingan ini menghilang tak lama setelah jatuhnya pemerintahan Sheikh Hasina pada awal Agustus.
China
PADA 17 November 2023, ketika polisi memasuki rumah jurnalis pembangkang Sun Lin di Nanjing; tetangga melaporkan adanya suara perlawanan.
Polisi membawa Sun Lin ke rumah sakit, dan pada malam harinya dia dinyatakan meninggal. Jaringan Pembela HAM Tiongkok yang berbasis di luar negeri menyatakan bahwa dia tampaknya telah dianiaya hingga tewas.
Sun Lin, yang menggunakan nama pena Jie Mu, dikenal karena liputannya tentang keadilan sosial dan telah menjalani dua hukuman penjara empat tahun atas tuduhan terkait dengan pekerjaannya dan komentar-komentarnya yang lantang.
Polisi kemudian mengklaim bahwa mereka bertindak untuk membela diri setelah diserang oleh sang jurnalis, menurut pembangkang berbasis di luar negeri, Sun Liyong.
“Sun Lin hampir berusia 70 tahun, jadi bagaimana mungkin dia bisa memukul sekelompok laki-laki muda?” ujarnya.
China berada di peringkat 172 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun ini oleh Reporters Without Borders, yang mencatat bahwa negara tersebut adalah “penjara terbesar bagi jurnalis.”
Uyghur
DI wilayah Xinjiang Barat, China, penindasan terhadap Uyghur telah berlangsung begitu menyeluruh hingga hampir tidak ada jurnalis independen atau warga yang bekerja di luar kendali negara di wilayah tersebut.
Meski kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam ini hanya mencakup sekitar 1% dari populasi Tiongkok, hampir setengah dari jurnalis yang dipenjara di negara tersebut adalah Uyghur, menurut Reporters Without Borders.
Karena penindasan ekstrem oleh otoritas China di wilayah tersebut, sering kali butuh waktu bertahun-tahun bagi Uyghur di luar negeri untuk mengetahui keberadaan anggota keluarga dan kolega mereka.
Pada bulan Mei, jurnalis Voice of America Kasim Kashgar mengetahui bahwa lima bekas koleganya telah dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada 2021 karena memiliki hubungan dengannya.
Penangkapan penerbit Erkin Emet pada 2018 baru terungkap pada Maret. Qurban Mamut, seorang editor Uyghur berpengaruh dan ayah dari jurnalis Radio Free Asia Bahram Sintash, ditangkap pada tahun 2017.
Awal tahun ini, Sintash mengatakan kepada Committee to Protect Journalists (CPJ) bahwa ia yakin hukuman 15 tahun penjara terhadap Mamut adalah karena pekerjaannya menjadi editor majalah berpengaruh Xinjiang Civilization.
“Banyak anggota dewan majalah itu kemudian dibawa ke kamp re-edukasi, termasuk ayah saya,” katanya kepada CPJ.
Kamboja
PADA 2 Maret, Loun Phearin, seorang jurnalis yang mengelola situs berita daring kecil bernama Sameang Hot News, tiba di sebuah lokasi di Poipet di mana dilaporkan ada perjudian ilegal.
Ketika ia dan timnya bersiap untuk melakukan siaran langsung, sekelompok pria mendekati mereka dan mulai menyerang dengan tongkat dan batu.
“Tiga orang harus dirawat di rumah sakit,” katanya kepada RFA pada Oktober, “jumlah penyerangnya banyak sekali.”
Belum ada penangkapan yang dilakukan, namun Phearin dan rekan-rekannya telah digugat oleh pemilik tempat perjudian tersebut atas tuduhan melanggar wilayah.
Nop Vy, direktur eksekutif Cambodian Journalists Alliance Association, mengatakan bahwa kasus ini hanyalah yang terbaru dalam serangkaian panjang serangan terhadap jurnalis yang tidak dihukum.
“Jika kasus ini tidak diselesaikan atau pelakunya tidak dihukum, itu mungkin menjadi insentif bagi orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap jurnalis,” katanya.
Hong Kong
PADA September, jurnalis terkenal Chung Pui-kuen dijatuhi hukuman 21 bulan penjara, menjadikannya jurnalis pertama yang dipenjara atas tuduhan penghasutan sejak penyerahan Hong Kong pada 1997. Rekan terdakwa Chung, Patrick Lam, mendapat hukuman 11 bulan, dan akan segera dibebaskan.
Chung telah menghabiskan puluhan tahun membangun kariernya di industri media Hong Kong dan dikenal karena jurnalisme investigatif serta fokusnya pada isu-isu politik dan sosial, terutama terkait hak-hak sipil dan demokrasi di Hong Kong.
Saat ditangkap, dia adalah pemimpin redaksi Stand News yang kini sudah ditutup, sedangkan Lam adalah pemimpin redaksi sementara.
Keduanya menghabiskan hampir 12 bulan di penjara setelah penangkapan mereka pada Desember 2021 dan menghadapi persidangan 54 hari tahun ini di mana pengacara pemerintah Hong Kong menuduh Stand News mempromosikan “ideologi ilegal” dan mencemarkan hukum keamanan serta polisi yang menegakkannya.
Bagi para pengamat Hong Kong, kasus ini mencerminkan penurunan cepat dalam kebebasan pers di kota yang dulunya kuat sejak Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang kontroversial pada tahun 2020.
Satu dekade lalu, Hong Kong berada di peringkat 61 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia RSF. Tahun ini, peringkatnya turun menjadi 135.
Radio Free Asia adalah media daring yang berafiliasi dengan BenarNews.