“Saya berkata kepada orang-orang Cina tersebut, ketika mereka akhirnya sampai ke pantai dengan berenang: Kalian pengecut! Kalian lebih dari lima puluh orang dan membiarkan enam orang mengambil pukat kalian! – O, kata mereka, Sing Seng (guru), masalahnya seperti ini. Kami para pendayung menerima upah satu dolar (2,50 guilden) per orang untuk setiap perjalanan dari Riouw ke Singapura dan kembali. Kami tidak menerima apa-apa untuk bertarung dengan perompak itu. Kami tidak mau mati untuk satu dolar… “ (E.H. Rottger – 1835)
…
Hampir semua orang suku laut yang tinggal di kampung ini, dikenali olehnya. Pendeta Rottger mendapat kesan bahwa orang tersebut (Raja Issa) merupakan seseorang yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda di Riouw (Tandjoeng Pinang) untuk mengawasi wilayah pulau Nongsa dan perairan sekitarnya dari ancaman perompak. Walau pada kenyataannya, aksi perompakan sebenarnya tetap marak terjadi.
Oleh: Bintoro Suryo
NAMA Nongsa dalam banyak deskripsi peta-peta lama Belanda, sering diarahkan untuk merujuk pada nama sebuah pulau kecil di ujung utara pulau Batam, dekat perairan internasional selat Singapura. Para kartografer Belanda zaman dulu menggambarkannya dengan nama pulo Nongsa (Eiland Nongsa) atau pulau Nongsa.
Pada peta yang digambar oleh J. Pijnappel, seorang kartografer Belanda dan terbit pada 1857, memperlihatkan pulau-pulau yang berada di sekitar selat itu berikut perairan yang menjadi perlintasan kapal-kapal angkut serta dagang di masa lalu.

Pijnappel menuliskan pulau Batam sebagai ‘Battam‘. Ia mencantumkan Pulo Nongsa di sisi Utara Batam dengan kampung bernama sama di hadapannya.
Sementara dalam sebuah buku direktori berjudul ‘Indian Archipelago – China and Japan” Edisi II oleh Alexander George Findlay terbitan tahun 1878, Pulo Nongsa dideskripsikan :
“Pulo Nongsa, sebuah pulau kecil yang luasnya sepertiga mil, dengan pohon tinggi di atasnya, terletak beberapa mil ke arah barat Tanjong Nongsa, dan sekitar setengah mil dari titik terdekat Battam‘.
Pulo dan Kampung Nongsa di Masa Lalu
NAMA Nongsa pada peta yang disusun oleh K.F. Holle (1829 – 1896) seorang Penasihat Kehormatan Dalam Negeri pemerintah kolonial Belanda, juga menunjuk pada sebuah pulau kecil di pantai utara pulau Batam.
Peta yang disusun oleh KF. Holle berdasarkan data yang diberikan oleh pejabat Administrasi Dalam Negeri dan kerjasama Biro Topografi di Batavia masa itu.

Topografi Pulo Nongsa digambarkan hanya berupa pulau batu kecil yang terpisah menjadi dua bagian di saat air laut surut. Namun, sering dijadikan patokan alur pelayaran. Terdapat karang atol besar di sekitarnya yang memungkinkan kapal-kapal yang berlayar terlalu dekat dengan pulau tersebut menjadi kandas.
Tidak pernah ada laporan bahwa pulau kecil itu pernah ditinggali orang untuk jangka waktu lama karena minimnya sumber daya alam, terutama air. Namun, sering dijadikan lokasi peristirahatan orang dengan kapal-kapal yang melintas pada masa lalu.
DARI fakta di lokasi, kampung kecil yang ada di seberang pulau Nongsa dan bernama sama, paling tidak telah ada sejak abad 14. Hal ini diperkuat dengan keberadaan komplek makam tua di puncak bukit Tanjung di sana.

Pada peta-peta kuno kolonial Belanda, lokasinya disebut sebagai Tandjoeng Batoe, Nongsa.
Pada komplek makam, tertera tulisan pada makam tertua, bertarikh sekitar tahun 1300-an, atas nama Tengku H. Puang. Seorang Bugis yang membuka wilayah perkampungan di sini. Isterinya adalah Encik Siti Aishah yang diceritakan berasal dari wilayah Pasai, Aceh Darussalam dan sempat bermukim di Semenanjung Malaya. Komplek makam tersebut merupakan makam keluarga yang masih dirawat oleh keturunannya hingga kini.
Dua ahli kartografi Perancis, Apres de Mannevillette dan Jean-Baptiste Nicolas d’ Denis, menguatkan pengakuan keturunan Tengku H. Fuang tentang kampung di ujung utara Batam itu dalam sebuah peta kuno yang diterbitkan tahun 1769.
Pada peta yang lebih tua ini, kampung Nongsa di pulau Batang (Batam) menjadi satu-satunya pemukiman yang digambarkan dan telah ada di masa itu.

Ini menguatkan cerita anak keturunan Tengku H. Fuang di kampung Nongsa bahwa leluhurnya telah mendiami kampung itu sejak abad ke-14.
(Catatan tentang ini bisa disimak pada artikel : Menelusur Nongsa Masa Lalu ; “Tengku H Puang, Kepala Desa Batam dan Makam Raja Isa Yang Tak Diketahui”)
Perairan Sekitar Pulo Nongsa dan Aksi Bajak Laut
WALAUPUN cuma memiliki luas sepertiga mil dan miskin vegetasi alam, namun pulau itu penting di dalam sistem alur pelayaran internasional di sekitar Selat Singapura sejak zaman dahulu. Apalagi sejak pembagian kekuasaan dengan Inggris dalam Perjanjian London tahun 1824. Selat Singapura menjadi garis pembagi antara kekuasaan Belanda dan Inggris yang menguasai Semenanjung Malaya, termasuk pulau Singapura. Aktifitas pelayaran perlu dipantau. Pulo Nongsa yang terletak di titik terluar di sekitar wilayah itu, menjadi poin pentingnya.
Selain soal keselamatan pelayaran dari bahaya karang atol yang bisa menyebabkan kapal kandas – terutama di sekitar pulo Nongsa, perairan selat Singapura di dekat pulo Nongsa juga rawan aksi pembajakan. Beberapa catatan perampokan terjadi di wilayah ini sebelum abad ke-20.
Pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Riouw Lingga beserta negeri taklukannya saat itu, berkali-kali berusaha memerangi aksi bajak laut, termasuk di wilayah perairan ini.

Dalam dokumen kesepakatan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kesultanan Riouw Lingga yang terbit pada 1818 dan kemudian diperbarui pada 29 Oktober 1830, tugas dan tanggungjawab memberantas aksi bajak laut adalah kewenangan pihak Kesultanan Riouw Lingga.
DINAMIKA selat ramai di sekitar Nongsa yang dikenal sebagai Selat Singapura, juga pernah dideskripsikan melalui catatan seorang pendeta berkebangsaan Jerman, Eberhard Herman Rottger, yang sempat mendiami wilayah Kampung dari ‘Orang Raja Issa’, sekitar tahun 1835, selama beberapa bulan.
Ia mendeskripsikan wilayah perairan sekitarnya itu sebagai yang tersibuk di dunia.
“Tidak ada selat di dunia yang dilalui oleh berbagai jenis kapal seperti selat ini; selat ini adalah titik tengah antara India Belakang dan India Depan. Hampir semua kapal dari Eropa, Amerika, Australia, India Belakang, dan Cina, serta semua kapal dari Jawa, Bali, Sulawesi, Riouw, Sumatra, dan sebagainya, melintasi selat ini (kecuali kapal yang tidak melanjutkan perjalanan ke Jawa) dan oleh karena itu, selat ini dapat disebut sebagai selat perdagangan dunia yang besar“, sebut Rottger.
Menurut pengamatannya, perkampungan itu terletak di jalur pelayaran yang ramai. Namun, hampir tidak ada orang pribumi yang terlibat dalam aktifitas perdagangan dengan kapal-kapal yang melintas. Rata-rata hanya beraktifitas melaut sebagai nelayan. Salah satu kegiatan lebih menguntungkan dari hilir mudik aktivitas kapal-kapal dari ‘negeri di atas awan‘ di sana menurut Rottger, adalah tawaran untuk terlibat dalam aksi perompakan di sekitar perairan sibuk tersebut. Selain kapal-kapal dari ‘negeri di atas awan‘ perairan itu juga menjadi laluan para pedagang etnis China, penduduk dari pulau sekitar Batam dan Singapura.
‘Negeri di atas awan‘ merupakan istilah yang sering disebut oleh orang Melayu zaman dahulu sebagai toponimi nama wilayah negeri yang berasal dari India, Arab hingga Eropa.
‘Orang Perompakh’, disebut Rottger, kadang memanfaatkan warga pesisir di sekitarnya, orang Melayu dan suku laut, untuk membantu mereka melakukan aksi dengan membajak kapal-kapal dagang yang melintas.
“Terutama kapal Jung Cina dan pukat (perahu dayung), yang dikelola oleh orang Cina yang tidak berani dan tidak kuat, yang kata “Perampokh” membuat mereka merasa terkejut, ” tulis Rottger pada catatannya.
“Saya sendiri menjadi saksi mata ketika pada sore hari sekitar pukul tiga, enam perampok laut menangkap sebuah pukat yang diawaki oleh lebih dari lima puluh orang Cina. Perampok laut itu terbagi menjadi tiga kano kecil; di setiap kano ada dua orang dan mereka sedang memancing ikan“, lanjutnya.
Ia sedang berada di pinggir pantai yang tak jauh dari rumah tempat tinggalnya saat itu. Sampai akhirnya Rottger mendengar suara tembakan yang menyebabkan para pendayung Cina yang berada di kapal pukat tersebut melompat seluruhnya ke laut. Menurut Rottger, seluruh kejadian yang disaksikannya itu hanya berlangsung kurang dari seperempat jam!
Perompak laut kemudian mengambil alih kapal pukat tersebut tanpa perlawanan dari orang Cina yang jumlahnya puluhan orang. Mereka mengikat perahu mereka di belakang kapal pukat, lalu mengendalikan kapal pukat tersebut, pergi dengan layar penuh.
“Saya berkata kepada orang-orang Cina tersebut, ketika mereka akhirnya sampai ke pantai dengan berenang: Kalian pengecut! Kalian lebih dari lima puluh orang dan membiarkan enam orang mengambil pukat kalian! – O, kata mereka, Sing Seng (guru), masalahnya seperti ini. Kami para pendayung menerima upah satu dolar (2,50 guilden) per orang untuk setiap perjalanan dari Riouw ke Singapura dan kembali. Kami tidak menerima apa-apa untuk bertarung dengan perompak itu. Kami tidak mau mati untuk satu dolar… “
Rottger mengaku kasihan dengan sang kapten Sintju yang miskin serta pemilik kapal pukat berikut muatannya tersebut. Namun, adegan selanjutnya membuatnya tersenyum. Para ABK kapal pukat tetap menuntut upah dibayar penuh. Namun Touke pemiliknya enggan membayar karena kerugian yang harus ditanggung. Ia akhirnya hanya menyerahkan sebuah kantong berisi uang yang diikat di pinggang.
“… itu adalah semua yang dia simpan di ikat pinggangnya… ” tulis Rottger.
Rottger, Raja Issa dan Kampung Nongsa
E. H. Rottger merupakan seorang pendeta Jerman yang melakukan tugas misionaris di kepulauan Hindia Belanda pada era 1832 – 1842. Ia berkeliling di banyak tempat. Seperti pulau Jawa, Sulawesi, kepulauan Maluku, Kepulauan Riau, Jambi, Inderagiri hingga Palembang. Namun, sebagian besar waktu pengabdiannya, justeru dihabiskan di Kepulauan Riau yang saat itu bernama negeri Riouw Lingga.
Waktu pengabdian terlamanya dihabiskan di Tandjoeng Pinang. Ia sempat merintis pembangunan gereja yang dikenal masyarakat Tanjungpinang saat ini sebagai gereja ayam, di jalan gereja nomor 1 kota itu, sekitar tahun 1834.
Pada tahun 1835, ia mengunjungi pulau Batam dan tiba di ujung utara pulau ini, dimana kemudian menjadi tempat tinggalnya selama berada di sana.
Dalam catatannya: ‘Berigten Omtrent Indie, Gedurende Een Tienjarig Verblijf Aldaar‘, diterbitkan pertama kali pada tahun 1844 oleh publisher Deventer M. Ballot, ia sempat berkeliling ke beberapa lokasi pemukiman orang di pulau itu dengan ditemani oleh ‘Orang Radja Issa‘. Seorang warga Pribumi keturunan keluarga Raja Muda di pulau Penyengat pada tahun 1835.
Kunjungannya ke Nongsa, diduga merupakan saran dari keluarga Raja Muda di pulau Penyengat. Dalam sebuah catatan: ia mengaku dekat dengan Raja Abdul Rahman, Yamtuan Riouw Lingga di pulau Penyengat, putra Radja Jafar yang mulai menjabat sejak 1832.

Di wilayah ini, Rottger tinggal di sebuah rumah yang dideskripsikannya berjarak sekitar 0,5 mile dari tempat Raja Issa dan orang-orangnya tinggal, di sekitar Soengai Nongsa pada tahun 1835.
Rumah tinggal pendeta Rottger berada di pinggir pantai, berhadapan dengan pulau kecil yang tak berpenghuni. Di masa kini, lokasi rumah tersebut diperkirakan berada di sekitar pantai Bahagia Nongsa, tak jauh dari sebuah bukit keramat yang dikenal masyarakat setempat sebagai bukit Puak atau bukit Tanjung. Pulau kecil di hadapannya adalah pulau Nongsa atau sekarang lebih dikenal sebagai pulau Puteri.
DALAM catatannya, pendeta Rottger berada di kampung ini selama beberapa waktu. Secara umum ia menyebut wilayah itu merupakan kampung kecil di pesisir pantai, serupa dengan kebanyakan kampung-kampung nelayan pesisir lain di wilayah Riouw masa itu. Rata-rata warganya beraktifitas dari laut. Mereka tinggal di rumah-rumah sederhana yang terbuat dari kayu, beratap daun palem atau kelapa. Sementara, lalu lalang kapal-kapal dagang asing di sekitar selat Singapura, terlihat di hadapan.

Berikut gambaran kampung tempat tinggal Rottger dalam catatannya pada 1835:
“… Rumah-rumah mereka adalah gubuk pantai sederhana, karena tempat tinggal favorit orang Melayu adalah di tepi laut. Mereka menancapkan beberapa tiang ke tanah, membuat dinding dari rumput bambu yang panjangnya dua puluh kaki lebih dan lebar sekitar satu tangan, menjahitnya dengan rumput bambu yang terbelah dan membuat atap dari daun palem …”
Kehidupan sederhana yang dijalani orang di kampung kecil itu menurut Rottger, tak lepas dari prinsip hidup masyarakat setempat yang dituliskannya:
“Siapa tidak memiliki apa-apa, tidak akan kehilangan apa-apa”
Kehidupan orang di kampung tersebut menurutnya, telah disediakan oleh laut. Hiburan utamanya adalah bermain dadu dan sabung ayam. Pendeta itu juga mencatat bahwa kebanyakan anak-anak melayu di kampung itu memiliki bintik hitam yang bulat seperti dolar, di belakang tulang ekor. Mereka tampaknya tidak terlalu rentan terhadap keberadaan dirinya yang merupakan seorang pendeta Kristen di kampung itu. Namun, enggan berdialog lebih lanjut dengannya jika bahasan mengarah ke soal yang lebih rumit.
“… Jika Anda berbicara dengan mereka tentang menangkap ikan, mereka memahami setiap kata. Jika Anda bertanya, berapa banyak uang yang harus Anda bayar kepada imam (pemuka agama) untuk sunat, pernikahan, dan pemakaman, mereka dapat menjawabnya dengan segera. Tetapi jika Anda berbicara dengan mereka tentang keadaan jiwa, tentang keabadian, tentang kehidupan setelah kematian, hanya sedikit yang tetap mendengarkan, sebagian besar meminta maaf dengan mengatakan: “Air jatuh, kita harus menangkap ikan” atau: “Kita tidak mengerti masalahnya …” Catat E.H. Rottger.
Pendeta asal Jerman itu, sepertinya kerap mengunjungi lokasi tempat tinggal Raja Issa yang berada di sekitar muara Sungai Nongsa. Letaknya saat ini kira-kira beberapa ratus meter dari jembatan Nongsa dekat pelabuhan internasional Ferry Nongsa Pura.

Pada suatu sore di depan rumah Raja Issa tahun 1835, ia mengamati anak-anak kampung yang sedang bermain di halaman sekitarnya. Banyak dari mereka yang menurut Rottger, tidak pernah menerima pendidikan dan tidak bisa membaca atau menulis. Termasuk anak Raja Issa. Di perkampungan tersebut menurutnya, belum ada kebiasaan dan aturan belajar untuk anak-anak warganya.
“Mereka bebas melakukan yang diinginkan, seperti bermain; siapa yang tidak ingin pergi belajar tidak dipaksa. Bahkan Raja Idris, anak Radja di kampung ini, belum menerima pendidikan pada usia sembilan tahun, dan ketika saya bertanya kepada Raja, mengapa Tunku Muda belum memiliki guru, ia menjawab: “Anak itu ingin bermain sepanjang hari dan belum memiliki keinginan untuk belajar.” Coba katakan kepadanya, kata Raja, mungkin dia akan mau melakukannya… ” catat E.H. Rottger dalam sebuah obrolan di depan rumah pria itu pada sore tahun 1835.
Ia kemudian menghampiri sang anak, Raja Idris, yang sedang asyik bermain. Ia berusaha membujuknya untuk mau belajar.
“… Ia (Raja Idris) menjawab: Pada minggu ini, yang masih memiliki tiga hari, tidak ada gunanya bagi saya untuk memulai, tapi pada minggu depan boleh lah.” Catat Rottger lagi menirukan jawaban anak Raja Issa.
Beberapa bulan berlalu sebelum akhirnya Raja Issa menemui seorang Khatib (penceramah/ guru agama di kampung) untuk mengajari anaknya belajar.
(Kisah tentang Raja Issa, awal kedatangan di kampung Nongsa serta tugas apa sebenarnya yang diberikan padanya, dituliskan pada artikel berbeda di situs ini.)
DI antara warga melayu, penduduk kampung Nongsa yang tinggal di pantai Tandjoeng Batoe hingga muara sungainya masa itu, juga terdapat beberapa kelompok ‘Orang Laut’. Mereka dicatatkan oleh Rottger sebagai orang yang memiliki ciri-ciri fisik serupa orang yang tinggal di darat pesisir kampung itu. Namun, dengan pakaian yang lebih minim. Orang laut banyak tinggal dalam perahu-perahu di sekitar perairan sekitar Nongsa masa itu. Kelompok orang suku laut di sini juga tidak memiliki kepercayaan layaknya penduduk pesisir yang menganut Islam. Mereka digambarkan lebih primitif dan agak liar terhadap keberadaan orang luar seperti Rottger.
“… mereka tinggal di atas air di prahu, yang disebut prahu, ada atap dari anyaman bambu untuk melindungi dari sinar matahari dan hujan, di bawah mana sebuah keluarga lengkap, pria, wanita, dan anak-anak, lahir dan meninggal. Saya melihat beberapa prahu mereka, sekitar 16 hingga 20 kaki panjang dan 4 hingga 5 kaki lebar, di mana, di samping orang tua, anak-anak dari kedua jenis kelamin dan usia yang berbeda berada dalam ruang yang sempit ..” sebutnya.
Secara umum saat itu, kelompok ‘Orang Laut di sini, bisa dilihat di sepanjang pantai. Hanya bila cuaca buruk saja mereka akan berlindung di muara sungai di sekitar kampung itu.
“… Terkadang kita bisa melihat orang-orang ini hampir telanjang …” (E.H. Rottger – 1835)
Orang laut di sini, terkadang juga mendaratkan perahu mereka di tepi pantai jika ingin memperbaikinya. Mereka kadang tinggal di sana, tergantung pada angin dan hasil tangkapan ikan, yang merupakan satu-satunya kegiatan mereka.
“.. Kita bisa melihat mereka di sepanjang pantai pulau ini, dan mereka hanya datang ke Riouw (ibukota Residen di Tandjoeng Pinang, pen) dengan beberapa perahu ketika mereka tidak memiliki sagu (makanan favorit mereka) lagi, yang mereka tukar dengan ikan kering, tripang, dan ager-ager kepada orang Cina…”(E.H. Rottger – 1835)
Hampir semua orang suku laut yang tinggal di kampung ini, dikenali olehnya. Pendeta Rottger mendapat kesan bahwa orang tersebut (Raja Issa) merupakan seseorang yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda di Riouw (Tandjoeng Pinang) untuk mengawasi wilayah di pulau Nongsa dan perairan sekitarnya dari ancaman perompakan.
Walau pada kenyataannya, aksi perompakan, sebenarnya tetap marak terjadi.
Hal itu dikuatkan juga dengan secarik kertas tugas yang dikeluarkan Residen Riouw, J.P. Elout pada tahun 1829 kepadanya. Surat tugas untuk mengamankan perairan di sekitar Pulo Nongsa dan sekitarnya yang berada di garis pembagi kekuasaan Belanda – Inggris masa itu, selat Singapura. Ancaman perompakan terhadap kapal-kapal dagang asing yang melintas, memang marak terjadi di perairan ini.
“Sehingga jika ada kasus-kasus di mana seseorang membangun gubuk di dekat sungai, melalui orang-orang yang menetap di sana, ia dapat mengetahui apakah mereka bekerja sama dengan perompak laut, karena sering terjadi bahwa mereka menyewakan diri untuk menyerang kapal“. (E.H. Rottger – 1835)
Orang laut masa itu, dikabarkan Rottger sering digunakan oleh para perompak dalam membantu aksi mereka. Pertimbangannya, dengan pola kehidupan yang selalu berada di laut, mereka sering luput dari kewaspadaan kapal-kapal dagang yang kerap melintas di perairan ini. Orang laut dianggap tidak berbahaya.
“… tetapi mereka pasti akan sangat berbahaya di bawah pimpinan perompak laut. Ketika mereka berlayar, pria, wanita, dan anak-anak semua mendayung; salah satu dari mereka bisa mendayung dengan aman seperti yang lain, karena mendayung adalah pekerjaan mereka, ” Sebut E.H. Rottger lagi.
Para perompak laut Melayu yang biasa beraksi di sekitar perairan ini menurut pendeta itu, dipimpin oleh kepala-kepala (Panglima) yang memerintahkan armada-armada laut perompak. Bahkan menurutnya, para keturunan bangsawan di negeri ini, secara sukarela memberikan kontribusi untuk peralatan dan pemeliharaan armada para perompak, yang kemudian dikembalikan kepada mereka dengan banyak keuntungan setelah setiap penjarahan.
“Saya menyebut mereka perompak laut, karena mereka tidak sekejam dan seberdarah Illanu (kelompok perompak laut yang kejam di perairan Filipina hingga Kalimantan utara, pen.)” (E.H. Rottger – 1835)
Para perompak yang beraksi di sekitar perairan Riouw, biasanya hanya sekedar menjarah. Jika harus membunuh, mereka melakukan karena alasan politis.
Kisah Pertemuan Rottger dan Perompak Laut
SELAIN sempat tinggal di kampung Nongsa di ujung utara pulau Batam, Pendeta Rottger juga sempat tinggal di sebuah pulau kecil di ujung pulau Senggarang. Namanya pulau Loz, terletak di seberang pulau Penyengat. Pulau Loz merupakan pulau milik residensi Belanda yang dihibahkan oleh YamTuan Muda Raja Jafar melalui residen Riouw saat itu, J.P. Elout.
“… Pada suatu hari, ketika saya sendirian di pulau Loz, setengah mil dari kota, di teras rumah, seorang yang terlihat seperti seorang Panglima laut datang berkunjung dengan seorang pria yang membawa sebuah peti betel dan senjata keris. Ia juga melihat sekelompok perompak laut di pantai pulau, beberapa ratus langkah dari rumah.
Saya bertanya: Siapa kamu? Saya adalah kepala perompak laut, jawabnya. Raja dan pemerintah Belanda di Riouw tidak ingin kamu mengunjungi saya, dan saya terpaksa melaporkan kunjunganmu kepada Raja segera. Tidak perlu, katanya, Raja sudah tahu bahwa saya tidak akan melakukan apa-apa kepadamu; saya hanya ingin membawa kamu keranjang berisi kerang-kerang ini dan meminta kamu untuk mengizinkan saya dan anak buah saya memasak nasi serta mandi… “
“Tapi saya tidak ingin kamu mengunjungi saya. Ah, jawabnya, jangan takut. Saya bisa saja membunuh kamu dan mengambil semua barang kamu tanpa Raja dan orang Belanda mengetahuinya. Tapi saya tidak akan bertindak begitu kejam… ” tulis E.H. Rottger mendeskripsikan pertemuannya dengan seorang kepala perompak di pulau Loz yang berada tidak jauh dari Bandar Riouw di Tandjoengpinang.
Kelompok perompak yang menemui Rottger saat itu menurutnya, merupakan kelompok yang sering beraksi di sekitar selat Riouw (perairan selat yang menyisir pulau Galang Rempang hingga Batam, pen), termasuk di perairan selat Singapura di ujung utara pulau Batam, dekat pulau Nongsa.
Pulo Nongsa dalam Hikayat dan Kabar Berita
DALAM dokumen: “Maleische Taal” edisi terbit tahun 1881 yang disusun J. J. Hollander, salah satu peristiwa bajak laut di sekitar perairan selat Singapura dekat pulo Nongsa , juga dicatatkan dalam hikayat lokal. Cerita berlatar lokasi pulo (pulau) Nongsa di Batam itu, berhubungan dengan aksi perompakan yang diceritakan melibatkan penduduk lokal Nongsa, berketurunan dari keluarga besar Raja Muda Riouw Lingga di pulau Penyengat. Cerita itu sudah disampaikan secara turun pada masa puluhan tahun sebelum dokumen catatan Hollander dipublikasi pertama kali pada 1881. Namun, Hollander tidak menjelaskan waktu pasti peristiwanya.
Petikan cerita yang ditulis:
Adalah saórang raja yang amat gagah-berani; tubuhnya besar, terduduk dalam sabuah pulaw kecil bernama Nunsa, bagian Batam, dekat selat Singapura. nama raja itu
Selamat, sudara tiga pupu dangan Yamtuan Panyengat.
Ada pun perangai raja itu teramat jahat lagi Ialim. Jikalaw datang perau Cina bermuat barang-barang ke negrinya, dirampasnya barang-barang itu semua, dan órangnya pun disüruhnya pergi kemana suka dia. Jikalaw melawan, dibunuhnya.
Dan lagi telah beberapa kebon dan rumah-tangga órang Melayu pun dirampasnya juga. Oleh sebab bapa dia berutang kepadanya limapuluh sèn, belom berbavar, dipegang lah lengannya serta diïkatkan kepada tiang. Satelah itu ditarohnya lada mêrah, yang sudah digiling, penuh ke dalam mulut bapanya. Oléh sebab órang semua dalam negri tiada bóléh tahan perangainya, sehingga bapanya pergi mengadap Yamtuan ke Panyengat, mengatakan Anaknya tiada bóléh tahan dalam negrinya.
Satelah Yamtuan mendengar hal yang demikian itu, lalu disuruhnya salah seórang mentrinya, bergelar Datuk Nuh dengan sudaranya yang bergelar Encik Saidi, juru tulis kantor di Riouw, membawa mata-mata sembilan órang serta dengan bedil
yang sudah terisi, sembilan buah (pucuk); kawannya enam orang, pergi lah bersama-sama mendapatkan Raja itu.
Serta sampai. Naik lah ke rumah, seraya mengunjukkan sepucuk surat dari Yamtuan.
Kata raja itu: “Ay sürat, berbuni lah engkaw!”
Datuk Nuh pun jadi marah mendengar perkataan Raja itu, lalu katanya : “Ada pun kami ini membawa titah jua. Jikalaw raja suka, kami bawa ke Panyengat, kalaw tiada suka, kami tangkap.”
Kata Raja: “Sekali-kali tiada aku endak pergi. Kalaw Ymtuan datang kemari, aku tikam perutnya abis mati.”
Demikian lah banyak cakapnya, yang tiada patut sekali, lalu berbantah-bantah turun ke halaman.
Raja itu mengambil keris telanjang sabilah dari dalam bilik. Satelah sampai ke halaman, dikejarnya Datuk Nuh.
Ia telanggar pada sebatang kayu, lalu jatoh ke tanah.
Segera diparap raja itu dengan sundang, kena tangannya, luka antara jari satu dengan jari manisnya.
Mata-mata itu memasang raja itu, tetapi tiga pucuk senapang yang meletus, yang enam lagi tiada meletus oleh sebab hikmatnya, kata órang.
Satu peluru kena pada keningnya, satu pada dadanya sabelah kanan dan yang satu pada sabelah kiri, akan tetapi tiada juga jatoh; ditikamnya pula Datuk Nuh dengan keris, lalu disambut Encik Saïdi dengan kelêwang Acih: putus keris dan diparapnya. Lagi sekali, kena bahunya hampir putus, jadi mati, jatoh ke
tanah sehingga darah seperti dicurahkan di tanah.
Ada pun raja itu tiga-pupu juga dengan Datuk Nuh, tetapi dari yang perempuan.
Anak raja itu ada seorang laki-laki, yang lari ke hutan sebab ketakutan. Jikalaw tiada lekas mati raja itu, tentu lah banyak órang mati diamuknya.
Satelah itu Datuk yang luka itu dibawa órang lah ke Riouw. Demikian lah Adanya.
SEBUAH peristiwa yang diduga berhubungan dengan catatan J. J. Hollander tentang hikayat pulo Nongsa dan aksi perompakan, juga pernah dikabarkan di surat kabar Hindia Belanda ‘The Indische‘ pada tahun 1854. Sebuah artikel yang terbit pada edisi itu, mengabarkan tentang aksi perompakan oleh sekelompok ‘Orang Tionghoa‘ asal Singapura di rumah warga di kampung Nongsa, Batam. Disebutkan terjadi di rumah warga bergelar Raja.
Aksi tersebut diduga merupakan tindakan balas dendam kelompok Tionghoa tersebut terhadap aksi serupa yang pernah dialami mereka di sekitar perairan pulo Nongsa beberapa waktu lalu.
Dalam dokumen catatan Belanda yang ditulis seorang pejabat dalam negeri Hindia Belanda, Baron van Hoevel, seorang keturunan raja yang menjabat kepala kampung di Nongsa sekitar tahun tersebut adalah Raja Yakub, anak Raja Issa yang sempat ditemui oleh pendeta E.H. Rottger pada tahun 1835.
SEMENTARA itu, hampir dua puluh tahun setelahnya, seorang pegawai keuangan Hindia Belanda, E.De Waal mencatat tentang seorang wakil kerajaan di kampung ini yang terpaksa dipecat karena terbukti melakukan penyimpangan kewenangan. Peristiwa terjadi pada tahun 1880, namun tidak menyebutkan nama.
“…Pada tahun 1880, YamTuan Muda Riouw memanggil seorang radja yang dicurigai terlibat dalam perdagangan opium ke Penjingat dan menahannya di sana. Residen berhasil memerintahkan YamTuan Muda untuk memecat wakilnya di Battam tersebut yang telah melakukan tindakan yang tidak pantas …” (E.De Waal – Onze Indische Financhien, 1884).
PADA tahun-tahun awal sejak perjanjian London antara Belanda dan Inggris ditandatangani dan membagi wilayah Kesultanan Johor menjadi dua bagian, wilayah perairan Pulau Nongsa menjadi salah satu yang diperhatikan. Letaknya yang berada di sekitar selat Singapura dan menjadi garis pembagi, begitu penting bagi kedua belah pihak.

Apalagi pada tahun 1827, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan kebijakan perdagangan dan pelabuhan bebas di wilayah ini. Lokasi di sekitar pulau Nongsa, terutama di sekitar teluk Boolang (Belian/ teluk Tering) menjadi lebih penting karena menjadi lokasi labuh jangkar kapal-kapal dari negeri di atas angin yang menghindari pengenaan bea labuh jangkar terlalu lama saat menurunkan atau memuat barang hasil perdagangan di Singapura. Jaminan keamanan dari aksi para perompak di sekitarnya sangat diperlukan untuk memberi kepercayaan kepada kapal-kapal asing yang singgah.

Sementara itu, menimbang posisinya yang penting dalam alur pelayaran internasional di sekitar selat Singapura, pemerintah kolonial Belanda di kemudian hari juga menginisiasi pembangunan sebuah Light House (menara suar) di pulau Nongsa pada awal abad ke-20. Proses pembangunan menara suar dilakukan pada 1911 dan selesai setahun kemudian. Seorang fotografer Belanda, C.H. de Goeje, sempat mendokumentasikan proses pembangunannya.
Lighthouse atau mercusuar di pulo Nongsa ini menjadi penanda navigasi di selat internasional yang sibuk hingga hari ini.
Peran pulo Nongsa Paska Perjanjian London dan Kegelisahan Belanda
PERJANJIAN London membagi wilayah Kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga menjadi dua; sisi sebelah utara menjadi hak pengelolaan Inggris dan sisi selatan menjadi wilayah kewenangan Belanda. Dampaknya, wilayah Kesultanan tersebut juga terpecah jadi dua; Kesultanan Johor Pahang Singapura sebagai protektorat Inggris dan Kesultanan Riouw Lingga di bawah protektorat Belanda. Pemisahnya adalah Singapore Straat (selat Singapura) yang merupakan jalur pelayaran paling padat di dunia.
E.H. Rottger menggambarkan wilayah perairan Selat Singapura yang dilihatnya dari kampung kecil di pulau Batam itu sebagai wilayah perairan istimewa karena dilalui kapal-kapal dari berbagai belahan dunia. Namun begitu, masalah keamanan, terutama dari aksi para perompak laut, begitu mengkhawatirkan. Kebanyakan pelakunya adalah orang Pribumi yang berasal dari sisi selatan di selat sibuk tersebut.
Paska ketetapan bersama antara Pemerintah Kolonial Belanda dan pihak kesultanan Riouw Lingga pada 29 Oktober 1830, tugas penanganan untuk memerangi bajak laut yang selama tahun-tahun awal perjanjian London 1824 ditangani langsung mereka, mulai dimandatkan dan menjadi kewajiban pihak Kesultanan Riouw Lingga.
Yang Dipertuan Besar (YDB) Sultan Riouw Lingga menangani masalah bajak laut di wilayah Afdeeling Lingga dan sekitarnya. Sementara tugas menangani bajak laut di wilayah Afdeeling lain (Tandjoengpinang, Carimoon, Batam, Puluh Tujuh dan Natuna, pen) menjadi tugas Yang Dipertuan Muda (YDM) yang memerintah dari pulau Penyengat. Untuk tugas penanganan tersebut, pemerintah kolonial memberi gaji tahunan sebesar 9400 gulden untuk Sultan dan 9000 gulden untuk YDM. (Lihat : R. Van Eck – Land En Volkenkunde Van Netherlandsch Oost Indie)
Kegusaran Belanda soal aksi bajak laut di wilayah perairan Riouw Lingga, juga selalu menjadi salah satu item wajib yang disodorkan pada tiap pembaruan kesepakatan kerjasama dengan pihak Kesultanan Riouw Lingga. Puncaknya pada tahun 1869. Dalam pembaruan kerjasama yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda, mereka akhirnya mencabut hak keuangan pihak Kesultanan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda untuk menangani persoalan bajak laut. Hak keuangan pemberantasan bajak laut dicabut dari Yang Dipertuan Besar (YDB) Sultan Riouw Lingga dan Yang Dipertuan Muda (YDM) Raja Muda di pulau Penyengat karena menilai pihak Kesultanan tidak serius menanganinya.
Catatan : Setelah perjanjian London 1824 yang membagi wilayah Kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga menjadi dua Kesultanan (Kesultanan Johor Pahang Singapura dan Kesultanan Riouw Lingga, pen.) hingga terbit aturan tanggal 29 Oktober 1830, penanganan soal bajak laut belum diatur secara rinci. Pemerintah Belanda biasanya meminta langsung ke Yang Dipertuan Besar (YDB) Sultan Riouw Lingga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kesultanan untuk menunjuk orang dan menangani persoalan bajak laut.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com