Dengan mengakses situs GoWest.ID, anda setuju dengan kebijakan privasi dan ketentuan penggunaannya.
Setuju
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
    ReportaseSimak lebih lanjut
    Tingkatkan Kinerja BP Batam Lebih Baik, Amsakar Achmad Lantik 297 Pejabat Eselon III dan IV
    17 jam lalu
    Wagub Nyanyang Haris Buka Forum SUNs Batam 2025
    1 hari lalu
    Komisi XIII DPR RI Gelar Konsultasi Publik RUU Perlindungan Saksi dan Korban di Batam
    1 hari lalu
    Puluhan Kios di Simpang Helm Batam Centre Digusur
    1 hari lalu
    Kapal Kujang 642 Lantamal IV Batam Amankan 20 Ton Solar Tanpa Dokumen dari KM Meneer
    2 hari lalu
  • Ragam
    RagamSimak lebih lanjut
    Dunia Sepakbola Berduka, Diogo Jota Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan
    2 hari lalu
    Disdik Batam Catat 1.039 Siswa Belum Tertampung di Sekolah Negeri
    3 hari lalu
    Proses SPMB SD Selesai, Pemko Batam Cari Solusi Calon Siswa Tak Tertampung
    6 hari lalu
    Pemberlakuan Jam Malam untuk Pelajar di Tanjungpinang Mulai Tahun Ajaran 2025/2026
    1 minggu lalu
    Bandar Rhio Tanjungpinang, Juli 1846
    1 minggu lalu
  • Data
    DataSimak lebih lanjut
    Taman Rusa Sekupang, Batam
    6 hari lalu
    Raja Ja’far Ibn Raja Haji Fisabilillah (Yang Dipertuan Muda Riau VI)
    6 hari lalu
    Pulau Citlim, Karimun
    1 minggu lalu
    Pulau Pekajang, Lingga
    2 minggu lalu
    Pulau Combol (Tjombol)
    1 bulan lalu
  • Program
    ProgramSimak lebih lanjut
    #Full Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait
    11 jam lalu
    Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait #ComingSoon
    2 hari lalu
    Ngobrol Everywhere | Bicara Pelayanan Umum BP Batam Bersama Ariastuty Sirait
    4 hari lalu
    “Segudang Masalah Nelayan di Perairan Teluk Belian” | NGOBROL EVERYWHERE (Full)
    7 bulan lalu
    17
    Ngobrol Everywhere | Nelayan Bengkong dan Segudang Masalahnya
    7 bulan lalu
  • Sudah Punya Akun?
TELUSUR
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Menyimak: Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian IX)
Sebar
Notifikasi Simak lebih lanjut
Aa
Aa
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
  • Ragam
  • Program
  • Data
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Sudah Punya Akun di GoWest.ID? Sign In
Ikuti Kami
  • Advertorial
© 2025 Indonesia Multimedia GoWest. All Rights Reserved.
Histori

Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian IX)

Admin
Editor Admin 2 bulan lalu 332 disimak
Sebar
278
SEBARAN
ShareTweetTelegram

“Pemilik perkebunan yang membuka lahan dan menanam disebut “Tauke Bangsal”. Sedangkan pemberi modal disebut “Tauke Padjeg”. Sebagai pemberi modal, ‘Tauke Padjeg’ memiliki hak konsinyasi atas semua gambir dan lada yang dihasilkan perkebunan.”

Daftar Isi
Orang Cina Membuka Hutan di Kepulauan BatamHubungan Kelompok Cina di Usaha PerkebunanPenanaman Gambir dan Lada

…

“Dengan semua praktik seperti ini, Tauke Padjeg menerima uang yang dipinjamkan hingga ratusan kali lipat. Mereka menjadi makin kaya, dan berlaku sewenang-wenang serta arogan terhadap penanam. Bahkan terhadap pemerintah.”
…

“Di Battam Utara, khususnya di Nongsa, ada tiga perkebunan kelapa milik orang-orang Cina yang dapat memberikan penghidupan yang layak. Namun, biasanya dikerjakan oleh orang pribumi. Orang-orang Cina hanya membeli kopranya.” (J.G. Schot, Indische Gids – De Battam Archipel IX, 1882)

Oleh: Bintoro Suryo


PADA bagian IX ini, J.G. Schot mencatat tentang awal mula kedatangan kelompok orang-orang Cina di Kepulauan Battam. Dominasi mereka yang kuat, pada akhirnya menyingkirkan aktifitas budidaya tanaman dan perkebunan yang awalnya diupayakan masyarakat asli. Terutama di wilayah kepulauan Soelit, pulau Boelang dan sekitarnya.

Sementara di wilayah pulau utama, Batam, yang awalnya didominasi hutan belantara, kelompok orang Cina Membuka lahan untuk dijadikan perkebunan melalui izin konsesi yang diberikan bangsawan penguasa pribumi.

Mereka membuat kebun-kebun, mulai dari pesisir hingga pedalaman pulau Batam di sekitar aliran sungai-sungai dengan mengantongi izin garap yang dikenal sebagai ‘Soerat Soengei’.

Dalam catatan Schot, hingga tahun 1881, tercatat ada 409 perkebunan besar dan kecil di Kepulauan Batam (tidak termasuk Rempang-Galang). Jumlah itu bahkan pernah dua kali lebih banyak saat awal-awal perintisan budidaya Gambir dan Lada di sini beberapa puluh tahun sebelumnya.

Untuk detailnya, silahkan simak catatan J.G.Schot tentang hal ini pada bagian IX berikut.


SUDAH kami sebutkan sebelumnya bahwa budidaya gambir, awalnya dilakukan oleh penduduk asli di wilayah ini. Seperti yang pernah dilakukan di wilayah Boelang dan sekitarnya. Khususnya di tempat di mana sekarang, di kedua sisi Selat Boelang Kanan, terdapat distrik Cina Pahat.

Di Boelang, orang-orang Cina tinggal sebagai pedagang dan pembeli. Sementara pada saat itu, wangkang-wangkang besar mengambil barang-barang yang dibeli.

Orang-orang Melayu di sana, yang sekarang menjadi miskin, pada saat itu sangat makmur, dan ini secara bertahap menyebabkan orang-orang Cina dipekerjakan sebagai kuli.

Namun, mereka kemudian menjadi familiar dengan budidaya gambir dan lada, dan mulai menjalankannya sendiri. Sedemikian rupa sehingga orang Cina semakin menggeser budidaya yang dilakukan oleh penduduk asli dan akhirnya menghancurkannya.

Orang-orang Cina juga berdampak buruk pada budidaya lain yang dikelola penduduk asli.

Jadi, budidaya padi yang pernah dilakukan pada skala yang cukup besar di wilayah Soegie dan Tjembol, hampir seluruhnya menghilang karena orang-orang Cina mengambil tanah di sana, kemudian menanaminya dengan gambir dan lada.

Orang Cina Membuka Hutan di Kepulauan Batam

SEKARANG kita akan menelusuri secara singkat jalannya budidaya tanaman yang dilakukan orang-orang Cina di wilayah ini.

Setelah memilih area tertentu, baik itu sebuah pulau secara keseluruhan atau daerah aliran sungai untuk dibudidayakan, seorang Cina biasanya akan mengurus dan kemudian memperoleh izin pembukaan lahan.

Izin ini disebut dalam percakapan sehari-hari sebagai “soerat soengei“.

Dalam ‘soerat soengei‘ ini disebutkan: lokasi pembukaan lahan, perkiraan jumlah perkebunan, ukuran setiap perkebunan dan hutan yang diperlukan untuk itu, serta biaya sewa bulanan.

Ukuran perkebunan terkadang berbeda-beda. Dalam satu soerat, ukuran yang diizinkan adalah 400, di lain tempat bisa 500 depa persegi atau lebih. Sementara hutan yang terletak di sebelah perkebunan, yang digunakan untuk pengeringan gambir, memiliki ukuran yang sama. Biaya sewa bulanan terkadang setengah, terkadang satu atau lebih dolar per perkebunan.

Saat ini, perkebunan yang dikelola orang-orang Cina jauh lebih besar daripada saat awal disepakati. Itu terjadi, baik karena perluasan yang diizinkan maupun karena pengambilalihan tanah baru atau hutan secara sewenang-wenang oleh mereka.

Dalam setiap kasus, tidak ada hutan baru yang ditentukan untuk kayu bakar, kecuali jika sebuah perkebunan baru didirikan.

Tentu saja, ‘soerat soengei‘ berisi ketentuan bahwa penggarap harus memberi tahu pemilik tanah, bangsawan pengelola wilayah, tentang setiap rencana perluasan tanah atau penanaman baru, yang kemudian dapat disetujui atau ditolak oleh penguasa pribumi.

Jika sebuah perkebunan baru didirikan secara diam-diam atau diperluas, dan penanam melanggar aturan dengan menggarap tanah yang tidak disewanya, maka ia harus membayar ganti rugi sebesar 150-200 gulden per seratus depa persegi hutan yang dibuka kepada pemilik tanah.

Jika penanam menolak membayar, pemilik tanah dapat mengusirnya dari perkebunan sebagai penyewa yang tidak patuh.

Beberapa jenis kayu tidak boleh ditebang tanpa izin dan tanpa membayar ganti rugi yang memadai.

Juga, ketika menjual hak sewa kebun, yang biasa disebut “menjual kebun”, pemberitahuan harus diberikan kepada pemberi sewa, tetapi ini tidak dilakukan oleh orang-orang Cina seperti halnya banyak yang terjadi di wilayah ini.

Ketika pembukaan lahan dihentikan, secara aturan, tanah kembali ke pemiliknya. Hal yang sama juga berlaku jika sewa tanah tidak dibayar dengan benar.

Jika perluasan perkebunan yang ada diminta dengan benar, izin bisa diberikan oleh penguasa pribumi. Biayanys sebesar dua puluh lima gulden per seratus depa persegi.

Melihat berbagai kondisi yang ada, jelas bahwa wilayah yang terdiri dari banyak pulau ini, menimbulkan banyak kesulitan bagi pemberi sewa jika mereka ingin memantau dengan baik kepatuhan terhadap berbagai kontrak sewa.

Namun, para penguasa pribumi harus menanggung kesulitan-kesulitan ini jika mereka ingin yakin bahwa pendapatan yang sah dari tanahnya tidak hilang.

Pemohon untuk membuka area sungai biasanya menjual hak atas perkebunan yang sudah ada atau yang masih dalam tahap perencanaan dengan keuntungan kepada orang lain. Dalam banyak kasus adalah orang-orang yang sudah memiliki kedudukan baik di masyarakat.

Kadang-kadang, pembeli juga tetap membayar uang kepada pemohon awal sebagai pemodal.

Hubungan Kelompok Cina di Usaha Perkebunan

PEMILIK perkebunan yang membuka lahan disebut “Tauke Bangsal“, sedangkan pemberi modal disebut “Tauke Padjeg“. Sebagai pemberi modal, ‘Tauke Padjeg‘ memiliki hak konsinyasi atas semua gambir dan lada yang dihasilkan perkebunan.

Hak konsinyasi ini memberikan keuntungan yang sangat besar kepada pemegangnya. Seringkali tidak lebih dari sekadar nafkah sehari-hari bagi pembuka lahan yang sebenarnya.

Pertama-tama, pembuka lahan harus berjanji kepada pemberi modal untuk menyerahkan semua gambir dan lada dengan harga yang jauh lebih rendah daripada nilai sebenarnya, karena dengan cara ini, bunga atas modal yang dipinjamkan dijamin dan dibayar.

Mungkin seseorang akan menyimpulkan bahwa begitu bunga tersebut tertutup oleh hasil tertentu, maka untuk hasil yang lebih tinggi, pembayaran yang lebih adil akan dilakukan. Atau jika tidak, maka akan ada pelunasan modal yang dipinjamkan secara bertahap.

Namun, hal ini tidak terjadi. Lebih buruk lagi, pemberi modal selalu mencatat bahwa berat gambir dan lada yang diserahkan lebih rendah daripada yang sebenarnya, dengan dalih bahwa ini memberikan kepastian bunga.

‘Tauke Padjeg‘ seringkali hanya membutuhkan sedikit cara dan harga rendah untuk memastikan bahwa uang yang dipinjamkan bisa menghasilkan bunga lima puluh persen atau lebih per tahun.

Dan keuntungan ini, dianggap sebagai bunga. Sama sekali tidak diperhitungkan sebagai pelunasan modal yang tepat.

Namun, keuntungan pemberi modal bahkan lebih tinggi lagi. ‘Tauke Padjeg‘ memiliki hak eksklusif untuk menyediakan apa yang dibutuhkan oleh pembuka lahan.

Pertama-tama, dia menyediakan barang dengan harga yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih rendah, dan kedua, dia mencatat lebih banyak daripada yang sebenarnya disediakan.

Jika dia mencatat bahwa dia telah menyediakan satu pikul beras, maka sebenarnya dia hanya menyediakan 90 kati. Dan jika dia menyediakan beras yang dijual di pasar dengan harga dua setengah dolar per pikul, maka dia mencatat tiga hingga empat dolar.

Setiap orang mungkin akan berpikir bahwa jumlah yang dipinjamkan oleh pemberi modal kepada penanam, terutama jika perkebunan tersebut sangat produktif, akan segera dilunasi oleh penanam.

Namun, hal ini hampir tidak pernah terjadi. Sebaliknya, utang meningkat, sehingga ketika kebun sudah tidak produktif lagi, maka kebun itu dibebani dengan utang sebesar dua ribu dolar atau lebih. Sementara pinjaman awal jauh lebih rendah. Kadang-kadang kurang dari seribu dolar.

Namun, hal ini tidak mengherankan jika kita mempertimbangkan bahwa keuntungan besar yang diperoleh ‘Tauke Padjeg‘ dianggap sebagai bunga yang harus dibayar atas pinjaman awal. Bunga berbunga dihitung untuk setiap pinjaman berikutnya, berdasarkan standar bunga yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh pemberi modal sendiri.

Dengan semua praktik seperti ini, ‘Tauke Padjeg‘ menerima uang yang dipinjamkan hingga ratusan kali lipat. Mereka menjadi semakin kaya, dan berlaku sewenang-wenang serta arogan terhadap penanam. Bahkan terhadap pemerintah. Mereka seringkali mengklaim dengan wajah polos bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kerugian.

Namun, yang mengalami kerugian, sebenarnya adalah para penanam. Kerugiannya sangat besar. Jika para penanam menjadi putus asa, mereka biasanya mencoba melupakan harapan yang telah sirna dengan menghisap candu.

Dapat dipastikan bahwa semua keuntungan jatuh ke tangan ‘Tauke Padjeg‘, yang juga memiliki kontrol atas sewa tanah di wilayah ini. Apa yang tidak mereka kuasai melalui hak konsinyasi yang mereka buat sendiri, mereka dapatkan melalui sewa tanah.

Meskipun segala hal menentang para penanam (Tauke Bangsal, pen.), seringkali masih banyak pembuka lahan yang rajin, berhasil meningkatkan posisi mereka melalui penghematan.

Beberapa dari mereka kemudian kembali ke Cina dengan modal yang sangat kecil. Sementara yang lain berusaha menjadi Tauke Padjeg. Mereka berusaha mengganti kerugian di masa lalu dan mulai melakukan praktik serupa dengan pendahulunya.

Penanaman Gambir dan Lada

SETELAH sepotong tanah dibuka, segera dibuatlah pembibitan. Sementara hutan yang telah ditebang dikeringkan secukupnya.

Setelah kering, tanah kemudian dibakar. Selanjutnya, lubang tanam dibuat dengan jarak sekitar 5-6 kaki, dan setelah benih tumbuh, mereka dipindahkan ke lubang tanam, satu tanaman per lubang, dan sekitar satu kaki di bawah permukaan tanah, yang dilindungi dari panas matahari dengan penutup ranting tipis.

Ilustrasi, pohon gambir. F. Istimewa

Ketika hujan turun, lubang tanam akan terisi dengan tanah yang subur dan halus, yang dibawa oleh air hujan. Tidak perlu khawatir bahwa air akan menggenang di lubang tanam, karena air akan segera meresap ke dalam tanah. Jika lubang tanam diisi penuh dengan tanah, maka kemungkinan besar kelembaban tidak akan mencapai akar tanaman muda.

Namun, tidak ada petani Cina yang akan mengisi lubang tanam setelah penanaman, karena mereka membiarkannya dilakukan oleh alam.

Kadang-kadang, benih tidak ditanam di bedengan, melainkan ditekan ke dinding lubang tanam. Tetapi cara ini membuat petani menghadapi risiko kerugian besar. Oleh karena itu jarang digunakan. Setelah dua atau biasanya tiga tahun, semak gambir telah berkembang cukup untuk dipanen.

Kemudian, ranting-ranting muda dipotong beserta daun-daunnya dan dikumpulkan dalam sebuah bak yang panjang dan lebarnya sekitar tiga meter.

Bak ini, yang disebut “tempat menoeroet” (bahasa Cina: fotia), terbuat dari tanah liat. Bagian atasnya ditutupi dengan papan tebal atau balok, tempat gambir yang telah dipotong ditumpuk. Daun-daun yang telah dipisahkan dari ranting dibuang ke dalam bak dan dibiarkan di sana sampai dipindahkan ke panci perebus.

Proses pengupasan daun disebut “loerok” (bahasa Cina: loe Thio).

Tungku, juga terbuat dari tanah liat biasa, dilengkapi dengan dua panci besar yang disebut “kawah” (bahasa Cina: tia tia).

Di dalam panci yang berada di atas api, gambir direbus. Sementara panci kedua, yang dapat dianggap sebagai pemanas awal, juga digunakan sebagai wadah pencucian untuk benda-benda yang masih mengandung gambir.

Kawah terbuat dari besi, dan bagian atasnya dilengkapi dengan bibir yang terbuat dari kulit kayu (kulit kayu terentang) untuk mencegah cairan yang mengandung gambir hilang sebanyak mungkin selama proses pengolahan, dan juga untuk memungkinkan penambahan daun dalam jumlah besar sekaligus.

Ketika air mendidih, daun-daun yang dibuang ke dalamnya diaduk dengan pengaduk empat cabang yang disebut “pengoedjang” (bahasa Cina: tik kan), seperti yang digunakan oleh penumbuk kain.

Untuk memastikan bahwa semua daun masuk dalam air mendidih secara merata, digunakan pengaduk dengan tiga cabang yang disebut “tjedok” dalam bahasa Melayu.

Setelah perebusan pertama, daun-daun dipindahkan ke dalam saluran miring yang disebut “saloh” (bahasa Cina: toa tjo) menggunakan sendok berlubang yang disebut “sendok” (bahasa Cina: Mo kok).

Ujung bawah saluran ini berada di atas panci perebus, sehingga tidak ada air yang hilang.

Cairan yang telah cukup diuapkan kemudian dipindahkan dari panci perebus untuk diproses lebih lanjut.

Selanjutnya, daun-daun yang telah direbus, sekali lagi akan direbus. Kemudian dicuci di saluran sampai tidak ada lagi cairan coklat yang keluar.

Cairan coklat yang keluar hanya sebagian kecil dimasukkan ke dalam panci perebus, sementara sisanya dialirkan ke kawah kedua melalui saluran kecil. Setelah pencucian daun yang telah direbus dua kali, daun segar ditambahkan.

Daun yang telah direbus kemudian dibakar atau disebarkan di antara tanaman gambir dan lada untuk berfungsi sebagai pupuk. Meskipun dalam jumlah kecil dan hanya pada sebagian kecil area tanam.

Cairan yang diperoleh dari perebusan, yang berwarna kuning kecoklatan, setelah diuapkan secukupnya, dipindahkan ke dalam ember kayu yang disebut “Jong” (bahasa Cina: katnbittan), di mana cairan tersebut mendingin dan mengental.

Jika ingin mendapatkan pasta yang merata, cairan tersebut diaduk dengan tangan yang memegang potongan kayu bundar sebagai alat pengaduk.

Proses pengadukan ini disebut “ramas” (bahasa Cina: the toet), dan alat pengaduknya disebut “Kajoe ramus” (bahasa Cina: to tjie).

Setelah pengadukan selesai, cairan dibiarkan di dalam ember kayu, tetapi beberapa orang menuangkan cairan yang sudah kental ke dalam bak persegi panjang yang dapat dibuka penutupnya, yang disebut “Jjita gambir” (bahasa Cina: tjoMa).

Pemindahan ke dalam bak hanya dilakukan jika gambir berkualitas baik, yaitu murni.

Tidak ada pupuk yang digunakan dalam seluruh proses budidaya, kecuali jika kita menganggap daun yang sudah tidak berguna dan rumput alang-alang yang dipotong sebagai pupuk.

Bahan-bahan itu biasanya ditumpuk di antara tanaman agar mengalami proses penguraian alami. Lain halnya dengan budidaya lada. Pada kebun-kebun lada, biasanya digunakan pupuk yang disebut “tanah bakar“, yaitu tanah yang dibakar dan diletakkan di sekitar akar tanaman.

Tanah ini disiapkan dengan menutupi jerami dan daun dengan lapisan tanah yang subur, kemudian dibakar.

Jadi, tanah tersebut dicampur dengan abu dan beberapa produk oksidasi lainnya. Banyak orang meragukan bahwa tanah bakar yang diperoleh dengan cara ini adalah pupuk yang sangat baik.

Untuk penanaman lada, biasanya digunakan stek yang ditanam di lubang tanam, seperti halnya gambir yang ditanam di bawah permukaan tanah yang dapat dijangkau.

Bagian lubang tanam yang tidak diisi kemudian diisi secara bertahap dengan daun gambir yang telah direbus dan tanah bakar. Sementara dalam beberapa minggu pertama setelah penanaman, stek yang ditanam dilindungi dari panas matahari yang terlalu terik dengan jerami.

Pada saat yang sama, tiang kayu yang akan digunakan sebagai tempat tanaman lada memanjat juga ditanamkan. Biasanya digunakan kayu tempinis untuk tiang ini karena kayunya sangat tahan lama. Setelah stek tumbuh sepanjang 3-6 kaki, maka stek tersebut digulung dan seluruhnya ditanam di dalam tanah. Barulah kemudian stek tersebut diikatkan pada tiang tempinis.

Tidak banyak pekerjaan lain yang dilakukan pada tanaman lada; hanya sesekali rumput alang-alang dipotong di antara tanaman. Satu atau dua kali setahun, tanah bakar yang lama di sekitar akar tanaman diganti dengan yang baru.

Namun, seringkali hal ini diabaikan. Setelah tiga tahun atau lebih, tanaman mulai berbuah, dan beberapa tahun kemudian mencapai puncak produktivitasnya.

Tanaman dapat menghasilkan 3-5 kati lada per tahun. Namun, biasanya hasilnya lebih rendah, dan masa produktivitas yang tinggi tidak berlangsung lama.

Oleh karena itu, secara umum dapat diperkirakan bahwa setiap tanaman akan menghasilkan rata-rata 1-1,5 kati lada per tahun. Jika sebagian tanaman mulai tumbuh kurang baik, maka area baru segera ditanami. Area yang tidak produktif lagi masih dapat ditanami gambir selama beberapa tahun.

Pemilihan buah lada dilakukan sepanjang tahun, meskipun hanya ada dua musim panen yang baik. Buah yang paling matang dikumpulkan dan setelah diikat dalam kantong dan direndam dalam air, kulitnya yang lunak kemudian dihilangkan.

Setelah buah lada dikeringkan, maka dijual sebagai lada putih. Buah yang kurang matang dikeringkan bersama kulitnya dan menjadi lada hitam.

Produksi gambir dan lada di Kepulauan Batam, kecuali wilayah Rempang-Galang yang produksinya sangat rendah, terus menurun dalam beberapa waktu terakhir dan mencapai sekitar 17.245 pikul gambir dan 3.698 pikul lada, menurut data dari orang-orang Cina sendiri.

Kemungkinan besar jumlah ini lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada tahun 1881, terdapat 409 perkebunan besar dan kecil di Kepulauan Batam (tidak termasuk Rempang-Galang).

Jumlah ini pernah mencapai dua kali lipat lebih banyak pada awal budidaya gambir.

Kita juga mendengar rencana untuk membuka lahan baru di daerah aliran sungai Kateman, khususnya di sekitar sungai Merbau. Awalnya direncanakan untuk membuka 300 perkebunan.

Pengeringan gambir di sebuah desa Cina dekat Tanjungpinang, Kepulauan Riau pada masa lalu. © F. Troppen Museum/ koleksi pribadi Bintoro Suryo

Tidak dapat disangkal bahwa jika rencana ini terlaksana, maka akan banyak berkontribusi pada kegiatan ekonomi dan perdagangan di daerah Kateman yang berada di bawah wilayah Soegi (Soelit).

Selain budidaya gambir dan lada, orang-orang Cina juga menanam sayuran, kacang, ubi, dan lain-lain.

Di beberapa tempat, ada juga perkebunan nila (indigo) yang sangat kecil. Namun, keuntungan dari pekerjaan ini sangat rendah.

Lebih menguntungkan adalah budidaya kelapa dan perdagangan kopra. Di Battam Utara, khususnya di Nongsa, ada tiga perkebunan kelapa milik orang-orang Cina yang dapat memberikan penghidupan yang layak. Namun, biasanya dikerjakan oleh orang pribumi. Orang-orang Cina hanya membeli kopranya.

Kita tidak dapat memberikan angka pasti berapa banyak kopra yang diekspor dari kepulauan ini karena kurangnya data yang memadai.

Namun, jumlahnya pasti tidak sedikit.
(Bersambung)

Batam, 20 Juni 1882

(*)

Catatan : Wilayah Kepulauan Batam yang dideskripsikan oleh J.G. Schot pada masa itu meliputi pulau-pulau utama dan penyangga. Mulai dari kelompok Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kelompok Bulang (termasuk Sambu, Belakangpadang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), hingga kelompok kepulauan Soelit (Tjombol, Sugi, Tjitlim) dan Kateman di pesisir pantai Timur Sumatera.

Selanjutnya : “Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian X)“

Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography. 
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com

Pilihan Artikel untuk Anda

#Full Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait

Tingkatkan Kinerja BP Batam Lebih Baik, Amsakar Achmad Lantik 297 Pejabat Eselon III dan IV

Wagub Nyanyang Haris Buka Forum SUNs Batam 2025

Komisi XIII DPR RI Gelar Konsultasi Publik RUU Perlindungan Saksi dan Korban di Batam

Puluhan Kios di Simpang Helm Batam Centre Digusur

Kaitan batam, Battam, Catatan, cina, History, J.g. Schot, melayu, nongsa, pemerintahan, sejarah, tionghoa
Admin 5 Juni 2025 21 Mei 2025
Apa yang anda pikirkan
Suka sekali0
Sedih0
Gembira0
Tal peduli0
Marah0
Masa bodoh0
Geli0
Artikel Sebelumnya Operasional Kapal Perintis Bakal Dipindah ke Pelabuhan Tanjung Moco
Artikel Selanjutnya Batam Miliki Potensi Besar Dalam Usaha Budidaya Lobster
1 Komentar
  • Ping-balik: Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian VIII) - GoWest.ID

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

APA YANG BARU?

#Full Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait
Ngobrol EveryWhere 11 jam lalu 97 disimak
Tingkatkan Kinerja BP Batam Lebih Baik, Amsakar Achmad Lantik 297 Pejabat Eselon III dan IV
Artikel 17 jam lalu 121 disimak
Wagub Nyanyang Haris Buka Forum SUNs Batam 2025
Artikel 1 hari lalu 164 disimak
Komisi XIII DPR RI Gelar Konsultasi Publik RUU Perlindungan Saksi dan Korban di Batam
Artikel 1 hari lalu 153 disimak
Puluhan Kios di Simpang Helm Batam Centre Digusur
Berita Video 1 hari lalu 211 disimak

POPULER PEKAN INI

Truk Pengangkut Pasir Tabrak Dua Mobil di Batam
Artikel 4 hari lalu 376 disimak
Penumpang Super Air Jet Meninggal Dalam Penerbangan Semarang-Batam
Artikel 4 hari lalu 353 disimak
Kenaikan Tarif Listrik di Batam: Data Pelanggan Terdampak
Artikel 6 hari lalu 339 disimak
Touring Bintan X-MOC Batam Kepri 2025, Merekatkan Kembali Tali Persaudaraan
Artikel 2 hari lalu 333 disimak
Penataan Infrastruktur Jalan di Batam; Akan Ada Jalur Khusus Roda Dua, Truk dan Bus
Artikel 4 hari lalu 323 disimak
- Pariwara -
Ad imageAd image
about us

Kami berusaha menjadi CITIZEN yang netral dan objektif dalam menyampaikan pandangan serta pikiran tentang apapun di dunia ini.

  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Ikuti Kami
© Indonesia Multimedia GoWest 2025. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?