KOMISI XIII DPR RI menggelar kegiatan konsultasi publik dalam rangka pembahasan Rancangan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kegiatan ini berlangsung di Aula Engku Hamidah, Kantor Wali Kota Batam, Rabu (2/7/2025), dihadiri berbagai unsur Forkopimda, lembaga terkait, serta tokoh masyarakat.
Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, menyampaikan apresiasi atas penunjukan Batam sebagai tuan rumah kegiatan strategis tersebut.
“Terima kasih karena Batam dijadikan lokus. Ini menunjukkan pengakuan atas kompleksitas persoalan yang kami hadapi sebagai daerah perbatasan yang multikultural dan sangat dinamis,,” ujar Amsakar dalam sambutannya.
Ia menegaskan bahwa revisi terhadap undang-undang ini sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan perlindungan saksi dan korban yang terjadi di lapangan, khususnya di daerah yang rawan tindak kejahatan lintas batas seperti Batam.
“Batam ini rentan terhadap kejahatan transnasional, mulai dari perdagangan orang, narkotika, hingga pencucian uang. Maka regulasi ini harus bisa diimplementasikan secara nyata, bukan hanya bagus di atas kertas,” kata Amsakar.
Ia juga menyoroti masih banyaknya korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, yang enggan melapor karena tidak merasa aman. Oleh sebab itu, pembaruan undang-undang ini diharapkan dapat memberi perlindungan menyeluruh bagi para korban maupun saksi.
Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan, pada tahun 2023 terdapat 44 permohonan perlindungan di Kepri dengan 31 orang berhasil dilindungi.
Sementara pada 2024, permohonan meningkat menjadi 51, didominasi kasus pencucian uang dan perdagangan orang. Namun hanya 15 orang yang berhasil mendapat perlindungan.
Sementara itu Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menyatakan konsultasi publik ini digelar untuk menggali aspirasi langsung dari masyarakat dan pemangku kepentingan daerah.
“Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban harus berbasis realitas. Kami datang ke Batam untuk mendengar langsung persoalan di lapangan. Kami terbuka terhadap semua masukan, baik lisan maupun tertulis,” kata Willy.
Diskusi publik ini turut diikuti lima anggota Komisi XIII DPR RI dan unsur Forkopimda Kota Batam. Sejumlah persoalan strategis dibahas, seperti keterbatasan layanan perlindungan, tantangan koordinasi lintas lembaga, hingga perlunya sistem pendampingan psikologis dan hukum yang lebih kuat bagi korban.
Melalui forum ini, diharapkan rumusan perubahan undang-undang nantinya benar-benar responsif terhadap kebutuhan daerah, dan mampu memperkuat perlindungan hukum bagi seluruh warga negara, khususnya mereka yang menjadi korban atau saksi tindak kejahatan. (*)