PERUBAHAN zaman yang pesat akibat modernisasi telah membawa transformasi besar dalam struktur dan dinamika keluarga di Indonesia. Salah satu isu yang menonjol adalah pergeseran peran wanita dalam keluarga.
Oleh: Danish Matthew
JIKA dahulu perempuan identik dengan peran domestik seperti mengurus rumah tangga dan anak, kini mereka juga aktif berkontribusi di dunia profesional, bahkan sering menjadi tulang punggung ekonomi keluarga (Benu & Syahputra, 2025).
Data BPS tahun 2023 menunjukkan partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia mencapai 54,2%, angka yang terus meningkat dalam satu dekade terakhir (BPS, 2023). Selaras dengan hal tersebut, partisipasi angkatan kerja perempuan di Kota Batam juga meningkat dari 51,69% menjadi 52,65%. (BPS, 2025).
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kemajuan, tetapi juga memunculkan tantangan baru seperti beban ganda, stres, hingga potensi konflik peran dalam keluarga. Beban peran ganda ini tidaklah ringan. Perempuan tidak hanya dituntut untuk bekerja secara profesional, tetapi juga diharapkan tetap menjalankan peran tradisionalnya di dalam keluarga dengan sempurna (Radhitya, 2018).
Kondisi ini menciptakan tekanan psikologis yang disebut sebagai konflik peran ganda, di mana perempuan mengalami dilema antara menuntaskan tanggung jawab profesional dan memenuhi tuntutan emosional serta sosial dari keluarganya.
Peran wanita di Kota Batam sebagai bentuk struktur sosial terbentuk mengingat fenomena dalam dinamika keluarga modern, terutama di tengah pesatnya pertumbuhan industri dan urbanisasi (Soekanto & Sukanto, 1990).
Banyak perempuan di Batam tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah, baik melalui pekerjaan formal di sektor industri maupun sebagai wirausaha (Yudhistira et al., 2024). Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri, seperti konflik peran antara tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga, yang terbukti dapat menurunkan kepuasan pernikahan dan meningkatkan stres kerja jika tidak dikelola dengan baik (Rochma dkk., 2024)
Fenomena peran ganda wanita ini menjadi isu penting karena berdampak langsung pada dinamika keluarga, di mana perempuan harus menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab domestik. Dalam hal ini, fokusnya yang mengkaji peran wanita dan dinamika keluarga di Batam, sebuah kota dengan karakteristik sosial-ekonomi yang unik.
Pendekatan ini menggabungkan data statistik lokal, kajian dengan teori yang relevan, serta konteks pemberdayaan perempuan di Batam, sehingga memberikan gambaran yang komprehensif dan kontekstual.
Work to Family Spillover : Tuntutan Pekerjaan yang Merembes ke Rumah
KOTA Batam memiliki keunikan sebagai kawasan industri dan perdagangan bebas free trade zone (FTZ) yang tidak dimiliki oleh banyak wilayah lain di Indonesia. Sejak awal pengembangannya pada tahun 1970-an, Batam dirancang sebagai kota industri untuk menarik investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, berkat letaknya yang sangat strategis di jalur pelayaran internasional dan berbatasan langsung dengan Singapura.
Dampak langsung dari perkembangan industri di Batam adalah tingginya partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Kehadiran mereka tidak hanya sebatas jumlah, tetapi juga tercermin dalam peran ekonomi yang vital. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 271.049 perempuan menjadi bagian dari angkatan kerja di Batam (Fajrah & Zetli, 2023).
Fenomena ini berkontribusi pada pergeseran peran tradisional perempuan di Batam. Jika sebelumnya perempuan lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga, kini mereka juga menjadi pencari nafkah utama atau tambahan dalam keluarga. Tak jarang konflik sering terjadi dalam rumah tangga karena adanya pergeseran peran karena alasan ekonomi dan mencari nafkah.
Banyak perempuan bekerja dalam sistem shift, termasuk shift malam, dengan jam kerja yang panjang. Tuntutan ini secara langsung “mencuri” waktu yang seharusnya dialokasikan untuk keluarga, seperti membantu anak belajar, berinteraksi dengan pasangan, atau sekadar beristirahat di rumah. Hal-hal seperti inilah yang memicu konflik dalam keluarga akibat bekerja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Greenhaus & Beutell (1985) dalam teori Work Family Conflict menjelaskan bahwa konflik antar anggota keluarga berasal dari konflik antar-peran di mana tekanan peran dari ranah pekerjaan dan keluarga tidak sejalan.
Tekanan peran yang sangat besar berdampak pada penurunan angka pekerja wanita di Batam. Hal ini terbukti melalui survey dari Buletin Statistik pada tahun 2022, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan berada di angka 51,69%, namun angka ini turun drastis menjadi hanya 35,32% pada tahun 2023 dan kembali meningkat pesat lagi di tahun 2024 (Yudhistira et al., 2024).
Hal ini selaras dengan dampak work family conflict yang dikemukakan oleh Zanden (1993), work-family conflict berdampak tidak menyenangkan yang dapat bersumber dari individu, peran pasangannya, lingkungan sosial sehingga cenderung dihindari atau berusaha di cari jalan keluarnya.
Banyak wanita di Batam yang berhenti bekerja pasca pemulihan pandemi untuk mengatur kebutuhan di rumah terlebih dahulu dan tetap menjaga perannya dalam keluarga daripada langsung bekerja dengan tuntutan yang tinggi. Beban kerja yang berat ini menjadi konteks penting dalam memahami mengapa partisipasi dalam angkatan kerja bisa menjadi pilihan yang tidak berkelanjutan secara psikologis bagi banyak perempuan dan banyaknya jumlah perceraian di Batam.
Keretakan dalam Keluarga: Tingginya Angka Perceraian dan Pergeseran Struktur Keluarga
JIKA konflik dalam pekerjaan adalah tekanan psikologis yang tidak bisa dilihat, ada angka perceraian yang tinggi di kota Batam yang juga sebagai bentuk nyata dari sulitnya menjadi wanita dengan multi peran di kota Batam. Menurut Badan Pusat Statistik, Pengadilan Agama mencatat terdapat 2.078 kasus perceraian pada tahun 2022 (BPS, 2022).
Aspek yang paling menonjol dari data perceraian di Batam adalah dominasi kasus yang diinisiasi oleh pihak istri, atau yang dikenal sebagai cerai gugat dengan persentase sebesar 73,2%. Angka ini menegaskan bahwa keretakan rumah tangga bukanlah fenomena yang terjadi secara kebetulan, melainkan sebuah masalah sosial yang signifikan di Batam. Pengadilan Agama Batam secara konsisten menunjuk pada dua faktor utama sebagai pemicu perceraian: perselingkuhan dan masalah ekonomi.
Humas Pengadilan Agama menyatakan,
“Rata-rata alasannya adalah faktor ekonomi. Mungkin karena gaya hidup di Batam yang semakin tinggi, membuat kondisi ekonomi dalam rumah tangga tidak mencukupi” .
Tekanan ekonomi ini dapat bersumber dari berbagai faktor, termasuk WFC yang dibawa pulang oleh kedua pasangan.
Konsekuensi dari tingginya perceraian di Batam terutama saat perempuan yang menceraikan terlebih dahulu (cerai gugat) adalah perubahan dalam struktur keluarga. Ini memicu perubahan baru dalam demografi di kota Batam yaitu rumah tangga yang dikepalai oleh ibu tunggal yang menanggung sendiri beban ekonomi dan pengasuhan anak.
Rumah tangga seperti ini cenderung lebih rentan terhadap kemiskinan dan tekanan psikologis. Ibu tunggal ini harus menghadapi semua tantangan work-family conflict (WFC), family-work conflict (FWC), dan biaya hidup tinggi sendirian, yang berpotensi memberikan dampak negatif berkelanjutan bagi kesejahteraan dirinya dan anak-anaknya.
Perceraian berdampak langsung pada ekonomi keluarga, terutama pada wanita yang menjadi kepala keluarga setelah bercerai. Mereka harus menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah, mendidik, dan merawat anak-anak (Kamal et al., 2024).
Banyak perempuan yang melakukan pekerjaan tambahan atau pekerjaan apapun demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan seringkali penghasilan yang diperoleh masih belum mencukupi.
Tantangan dalam Pengasuhan Anak
TANTANGAN yang terjadi akibat adanya pembagian peran pada wanita pekerja di Batam adalah pengasuhan anak. Kegagalan dalam mengasuh anak yang berkualitas merupakan salah satu hal yang hilang pada keluarga di Batam.
Secara langsung, keadaan ini mendorong family-work conflict dan semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat sulit sehingga mendorong wanita pekerja untuk menitipkan anaknya pada daycare. Kebutuhan akan fasilitas penitipan anak (daycare) yang memadai bukanlah isu di Batam saja melainkan isu nasional yang mendukung partisipasi perempuan di angkatan kerja dan mencapai target pembangunan.
Daycare menjadi kebutuhan dasar bagi wanita pekerja di Batam maupun di Indonesia agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan produktif. Namun, realitas di lapangan sangat jauh dari ideal. Pilihan yang paling umum bagi wanita pekerja adalah menitipkan anak kepada tetangga atau kerabat yang merupakan sebuah solusi alternatif yang seringkali tidak terjamin kualitas pengasuhannya dan tidak dapat diandalkan dalam jangka panjang untuk menjamin ketenangan dan produktivitas kerja mereka.
Namun, kenyataan di lapangan sangat jauh dari harapan. Wanita pekerja umumnya menitipkan anak-anak mereka kepada tetangga atau kerabat. Pilihan ini seringkali tidak menjamin kualitas pengasuhan yang baik dan tidak dapat diandalkan untuk jangka panjang.
Selain ketersediaan, biaya menjadi penghalang utama. Laporan dari kawasan industri lain di Indonesia, yang dapat dijadikan proksi, menunjukkan bahwa biaya penitipan anak bisa mencapai Rp50.000 per hari (APINDO, 2024). Jika seorang pekerja perempuan di Batam memiliki pendapatan upah minimum, biaya sebesar ini dapat memakan porsi yang sangat signifikan dari gajinya, membuat keputusan untuk tetap bekerja menjadi tidak rasional secara ekonomi.
Jika pendapatan yang diperoleh hampir habis hanya untuk membayar biaya pengasuhan anak, belum termasuk biaya transportasi dan lainnya, maka “biaya” psikologis dari kelelahan dan waktu yang hilang bersama anak menjadi terlalu mahal untuk dibayar. Ini secara langsung dapat menjelaskan mengapa sebagian perempuan mungkin memilih untuk keluar dari angkatan kerja, yang tercermin dalam penurunan TPAK yang drastis.
Ketika sebagian besar pendapatan habis untuk biaya penitipan anak, belum termasuk pengeluaran lain seperti transportasi, “harga” psikologis berupa kelelahan dan waktu yang hilang bersama anak menjadi terlalu tinggi. Hal ini dapat menjadi alasan utama mengapa sebagian perempuan memilih untuk meninggalkan dunia kerja, yang terlihat dari penurunan angka partisipasi angkatan kerja secara signifikan.
Penutup
KISAH para pekerja perempuan di Batam menunjukkan sebuah kondisi yang rumit akibat modernisasi. Meskipun Batam menjanjikan kebebasan finansial dan menarik banyak perempuan untuk bekerja di sektor industri, pembangunan kota ini belum menyediakan fasilitas sosial yang memadai untuk mendukung peran ganda perempuan. Ini adalah masalah mendasar yang muncul karena tidak adanya keseimbangan antara tuntutan ekonomi yang modern dan pandangan sosial yang masih kuno.
Secara umum, permasalahan ini berpusat pada krisis pengasuhan dan ekonomi, terutama kelangkaan fasilitas penitipan anak yang terjangkau dan dapat diakses. Dampaknya terlihat jelas dalam data perempuan yang “terdorong keluar” dari pasar kerja, seperti yang tercermin dari menurunnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Batam dan fondasi keluarga yang retak, ditandai oleh tingginya angka perceraian yang didominasi oleh gugatan dari pihak istri.
Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukanlah sekadar perbaikan parsial, melainkan sebuah pergeseran cara berpikir.
Memandang investasi pada daycare bersubsidi, kebijakan kerja yang ramah keluarga, dan layanan dukungan psikologis bukan sebagai biaya, melainkan sebagai investasi esensial untuk menjaga stabilitas sosial dan keberlanjutan ekonomi Batam itu sendiri. Tanpa langkah-langkah konkret ini, industri di Batam akan terus berjalan namun keluarganya akan semakin rapuh.
Ini bukan kesalahan individu, melainkan dampak dari sistem yang menuntut segalanya dari wanita tanpa memberikan dukungan yang setara. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan bukanlah perbaikan kecil, melainkan perubahan cara pandang dari berbagai pihak terutama pihak individu, masyarakat serta pemerintah sebagai pelindung skala besar.
(*)
Penulis : Danish Matthew
matthew.2202531039@student.unud.ac.id
Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana Psikologi, Universitas Udayana
Referensi
- APINDO. (2024, Juni 04). APINDO Jateng Minta Pemerintah Bantu Sediakan Tempat Penitipan Anak di Kawasan Industri. Asosiasi Pengusaha Indonesia Regional. https://www.apindo.or.id/apindo-region/news/apindo-jateng-minta-pemerintah-bantu-sediakan-tempat-penitipan-anak-di-kawasan-industri-1
- Badan Pusat Statistik Indonesia. (5 Mei 2025). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin, 2023. Diakses pada 25 Juni 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.html
- Benu, S., & Syahputra, A. W. (2025). Teori feminisme: peran perempuan yang bekerja keras dalam keluarga di era modern. WISSEN : Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 3(1). https://doi.org/10.62383/wissen.v3i1.622
- BPS. (2022, February 20). Nikah dan Cerai Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau, 2022. Badan Pusat Statistik Provinsi Kep. Riau. https://kepri.bps.go.id/id/statistics-table/3/VkhwVUszTXJPVmQ2ZFRKamNIZG9RMVo2VEdsbVVUMDkjMw==/nikah-dan-cerai-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-kepulauan-riau–2022.html?year=2022
- BPS. (2025, May 5). Tingkat partisipasi angkatan kerja menurut jenis kelamin – tabel statistik. Badan Pusat Statistik. Retrieved June 25, 2025, from https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.html
- Fajrah, N., & Zetli, S. (2023). Analisis beban kerja pekerja wanita di industri manufaktur Kota Batam. LPPM Universitas Putera Batam.
- Greenhaus, Jeffrey H. & Beutell, Nicholas J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10 (1), 76-88.
- Rochma, I., Nugrahani, A., & , M. (2024). Balancing Act: Examining the Relationship Between Role Conflict and Marital Satisfaction in Dual-Earner Families. Journal of health research and technology. https://doi.org/10.58439/jhrt.v2i2.241.
- Kamal, B., Kurnia, A., & Rahmadiane, G. D. (2024). Dampak perceraian terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga pada masa pandemi covid 19 di Kota Tegal. Concept: Journal of Social Humanities and Education, 3(4). https://doi.org/10.55606/concept.v3i4.1611
- Radhitya, T. V. (2018, December). Peran ganda yang dialami pekerja wanita K3l Universitas Padjadjaran. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 1(3), 204-219.
- Soekanto, S., & Sukanto, S. (1990). Sosiologi: satu pengantar. Rajawali Pers.
- Utomo, A. P. (2020). Peluang pekerja wanita dalam memilih lapangan pekerjaan pertanian dan non pertanian di Kota Batam. Jurnal Organisasi dan Manajemen, 2(1).
- Yudhistira, T., Nurahman, A., Jasri, M., Darmawan, T. I., Anugrah, R. B., & Afriyani, R. (2024, October 22). Buletin Statistik. Satu Data Kota Batam. Retrieved June 25, 2025, from https://satudata.batam.go.id/web/wp-content/uploads/2024/11/BULETIN-STATISTIK-November-2024-Pemberdayaan-Perempuan-Anak.pdf
- Yudhistira, T., Nurahman, A., Jasrol, M., Darmawan, T. I., Anugrah, R. b., & Afriyani, R. (2024). Data pemberdayaan perempuan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (Vol. 24). https://satudata.batam.go.id/web/wp-content/uploads/2024/11/BULETIN-STATISTIK-November-2024-Pemberdayaan-Perempuan-Anak.pdf
- Zanden, J.W.V. 1993. Sociology, The Core. New York: Mc. Graw-Hill Inc.


