SAYA baru selesai membaca buku biografi-nya KH Bisri Syansuri, “KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh Sepanjang Hayat”. Penulisnya, Gus Dur, mantan ketua tanfidziyah PBNU yang sekaligus cucunya.
Oleh: Sultan Yohana
ORANG NU pasti tahu siapa KH Bisri. Tokoh yang terlibat langsung atas berdirinya NU, pernah menjabat rais aam PBNU (jabatan tertinggi di NU), pejuang kemerdekaan, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Dewan Konstituante tahun 1956, ketua Majelis Syuro PPP dan sekaligus anggota DPR.
Yang mengejutkan dalam buku itu, Gus Dur menulis, dengan sederet jabatan mentereng, keilmuan yang mumpuni, serta nama besar yang disandang, KH Bisri, masih “mengajarkan bacaan Al-Quran kepada para santri yang masih berusia sangat muda hingga akhir hayatnya”.
Seorang KH Bisri mengajar baca AlQuran pada bocah-bocah hingga akhir hayatnya? Mengajar Iqro?
Saya tak bisa membayangkan terbuat dari apa hati dan pikiran KH Bisri. Itu ibarat seorang presiden, yang masih bersedia ikut kerja bakti membersihkan selokan di lingkungan RT-nya, atau selalu hadir saat mendapat giliran ronda malam. Anda bisa membayangkan hal itu terjadi? Di jaman sekarang?
Jangankan jabatan presiden, lha wong jabatan sekelas Pak RT saja, sekarang, begitu ada gotong-royong, kerjaannya cuma nongkrong sambil main perintah sini-sana. KH Bisri mengajar baca Al-Quran pada bocah-bocah? Orang yang tahu seluk-beluk dunia pesantren pasti akan geleng-geleng kepala dengan kerendahan hati yang ditunjukkan KH Bisri ini.
KH Bisri, tulis Gus Dur, dikenal dengan keteguhannya mempertahankan Fiqh, dan itu kerap membawanya pada status kyai yang “kolot”. Menariknya, beliau justru menjadi kyai pertama di lingkungan NU yang membuka kelas pelajaran bagi santri-santri putri, hal yang semula justru ditentang oleh gurunya, KH Hasyim Asyari). Jaman itu, perempuan dianggap tidak perlu memperoleh pendidikan.
Bersama KH Wahab Chasbullah, Ahmad Surkati (pendiri Al-Irsyad) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah); mereka membentuk klub diskusi bernama Tashwirul Afkar.
Klub diskusi ini lahir, dari keprihatinan para kyai, terutama kyai dari Jawa Timur, atas gejolak Perang Paderi di Sumatera Barat tahun 1803 yang dipicu oleh perbedaan pendapat dalam pengamalan ajaran Islam; serta berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang menggandeng Muhammad Abdul Wahhab (pendiri Wahabi) sebagai penasehat keagamaan kerajaan. Klub diskusi ini juga kerap diskusi dengan dr. Wahidin Sudirohusodo dan Haji Omar Said Cokroaminoto, membicarakan soal isu-isu kemerdekaan dan kebangsaan.
Bagaimana bisa orang “sekolot” KH Bisri, justru bisa menelurkan gagasan yang terasa sangat modern di jamannya? Rumus ini mungkin bisa menjelaskan: orang yang BERPIKIR liberal (membebaskan diri menerima dan belajar apa saja pengetahuan), justru akan cenderung BERPERILAKU konservatif. Sebaliknya, orang yang BERPIKIR konservatif (hanya mau mempelajari hal-hal tertentu) justru cenderung BERPERILAKU liberal. Dan, kekonservatifan personal perilaku KH Bisri, justru karena hasil dari beliau belajar apa saja dan dari mana saja banyak ilmu dan kebudayaan.
Memang, KH Bisri, sejak usia 15 tahun sudah mengembara ke berbagai pesantren di seantero Pulau Jawa dan Madura. Untuk belajar pengetahuan agama dari banyak kyai. Pengembaraan itu, tentu saja juga memberikan kesempatan beliau untuk hidup di lingkungan dan budaya berbeda, serta bertemu orang-orang beda.
Beliau juga sempat berada di Mekkah selama empat tahun, belajar pada Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Sholeh Bafadhol, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Umar Bajened, Syekh Jamal Al-Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistany, dan Syekh Mahfudz Tremas. Tiga ulama yang disebut terakhir adalah juga guru dari KH Hasyim Asy’ari.
Pengembaraan intelektual serta kultural ini, tentu saja telah membuka wawasan berpikir KH Bisri sejak muda. KH Bisri “mengunyah” banyak ilmu dan penafsiran dari banyak orang hebat, termasuk tentunya sejumlah perbedaan di dalamnya. KH Bisri terbiasa hidup di lingkungan berbeda dari mana-mana daerah, bahkan bangsa. KH Bisri, bahkan di Denanyar, desa yang menjadi tempatnya mendirikan pesantren, harus bergaul dan menyelami kebiasaan para preman, bromocorah, juga pelacur yang mendominasi desa tanpa harus terlibat konflik langsung dengan mereka.
Belakangan, dengan kesabaran, kerendahan hati, dan siasat damai KH Bisri, Gus Dur menulis, banyak warga Denanyar mulai belajar dari KH Bisri.
Sekali lagi, apakah Anda bisa membayangkan, orang yang terbiasa nongkrong dan berdebat dengan Haji OS Cokroaminoto (yang dianggap sebagai gurunya Soekarno, Tan Malaka, Musso, Kartosuwiryo), sekaligus pemuncak pimpinan NU; masih mengajar baca Quran untuk bocah-bocah di kampungnya? Perilaku seperti inilah yang saya yakini membawa NU besar. Menjadikan NU penuh berkah bagi banyak pihak, baik bagi yang menyukai maupun yang membenci organisasi ini. Orang-orang seperti KH Bisri inilah yang kemudian membuat NU disegani Belanda. Di jaman Soeharto, NU ditindas habis-habisan karena dianggap berpotensi sebagai kekuatan pesaing negara. Bukan antek pemerintah yang mudah disuap dengan sodoran aneka jabatan atau konsesi tambang.
Pertanyaannya, apakah tokoh-tokoh NU sekarang punya kebesaran sekaligus kerendahan hati sekelas seorang KH Bisri?
Tiga bulan lalu, saat pulang ke Malang, saya nongkrong dengan kawan-kawan se-RT. Ngalor-ngidul ngomongin apa saja. Ketika obrolan sampai pada satu kawan kami, dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kejengkelannya, seorang kawan mengatakan, “wis repot dadi Banser saiki.”
Pikir saya, bagus kan, ada kawan yang aktif di Banser. Saya menyukai kawan-kawan kampung, terutama yang tak punya “darah biru”, untuk aktif di NU kampung. Tapi saya juga mengerti kejengkelan kawan-kawan kampung itu. Si kawan telah berubah, dan enggan lagi nongkrong bersama mereka, setelah jadi salah satu pengurus Banser di kampung. Oalah…. Padahal, mantan takmir langgar kami dulu, Cak Mat, yang juga pernah jadi Banser dan berprofesi sebagai pengayuh becak, adalah salah satu warga yang kami cintai hingga kini.
Penyakit besar kepala dan tinggi derajat ketika menjadi “orang penting” memang kerap menghinggapi orang jaman sekarang, termasuk di NU. Ketika seseorang menjadi pengurus ranting NU dan terbiasa diundang misalnya, seseorang kemudian merasa menjadi penting, merasa orang-orang sekelas pak lurah, pak dandim, atau pak kapolsek lah ia kudu bergaul. Pergaulan “elit” itu kemudian menciptakan “selera-selera elit”, yang pada akhirnya akan menjerumuskan orang mereka untuk berperilaku CURANG. Agar bisa turut serta “berselera elit”.
Pengurus ranting NU yang merasa elit namun profesinya hanya guru madrasah dan gajinya Rp2 juta per bulan misalnya; ketika melihat orang-orang di lingkungan “elit”-nya rata-rata memakai Iphone 16 Pro, ia mulai berpikiran untuk memiliki barang serupa. Karena tak mampu, mulai bersiasat ia mencari “pemasukan” tambahan. Syukur-syukur jika pemasukan tambahan itu bagus, sialnya, banyak yang justru memakai cara curang yang justru dilarang keras oleh organisasi mereka. Menipu atasnama organisasi. Menipu atasnama nama elit mereka.
Alhasil, terjerumuslah mereka pada perilaku curang yang tidak semestinya mereka lakukan.
Kisah KH Bisri yang masih mengajar bocah-bocah belia membaca Quran hingga akhir hayat beliau, bagi saya menjadi contoh hebat, bagaimana orang sekelas beliau terus mengikhtiari diri agar tetap membumi, tetap “berselera seadanya”, tetap menjaga kesederhanaan ego. Karakter yang sejauh ini, sangat langka dimiliki para pengurus NU.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id


