- Nama : Pulau Subi
- Terdiri dari : Subi Besar dan Subi Kecil
- Tata Pemerintahan : Kecamatan di dalam wilayah administrasi kabupaten Natuna
- Luas : 159,27 km² (15.927 hektar)
- Populasi : Total, 2,888 (Sensus 2.012) jiwa
PULAU Subi adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia, yang terdiri dari Pulau Subi Besar dan Subi Kecil. Wilayah ini dikenal karena keindahan alamnya (pasir putih, laut jernih), budaya Melayu yang kental, dan merupakan pulau perbatasan dengan Malaysia.
Demografi Pulau Subi (terutama Subi Kecil) didominasi suku Melayu yang kental budaya lokal, hidup dari pertanian kelapa dan perikanan.
Pulau Subi terdiri atas dua pulau, Subi Besar dan Subi Kecil. Subi Kecil termasuk dalam gugusan Pulau Natuna Selatan. Pulau ini cukup luas dengan hamparan pasir putih dan bebatuan di tepi pantainya. Ibu Kota Kecamatan Subi terletak di Pulau Subi Kecil.
Adninistrasi Pemerintahan
PULAY Subi Kecil dan Subi Besar secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Kecamatan Subi terdiri atas 8 desa, yaitu Desa Subi, Desa Meliah, Desa Meliah Selatan, Desa Terayak, Desa Subi Besar, Desa Subi Besar Timur, Desa Pulau Panjang, dan Desa Pulau Kerdau.
Desa Subi, Desa Meliah, Desa Meliah Selatan, dan Desa Terayak berada di wilayah Pulau Subi Kecil.
Desa Subi Besar dan Subi Besar Timur berada di Pulau Subi Besar, yang berada di seberang selatan Pulau Subi Kecil. Dua desa sisanya, Desa Pulau Panjang dan Desa Pulau Kerdau, berada di masing-masing pulau dengan nama yang sama dengan desa tersebut.
Tidak ada area persawahan. Hanya ada perkebunan. Tanaman utama yang mendominasi adalah pohon kelapa, yang menutupi sebagian besar Pulau Subi Kecil.
Tanaman utama lainnya adalah cengkeh, yang memang menjadi komoditas pertanian utama di Kabupaten Natuna selain kelapa.
Selain itu, terdapat kebun buah-buahan seperti nanas, pisang dan pepaya. Penduduk Subi dan juga wilayah di Kepulauan Riau lainnya pernah mengalami ’masa kejayaan’ sekitar beberapa dekade lalu ketika terjadi Clove Boom (Bonanza Cengkeh). Mata pencaharian penduduk Subi Kecil sebagian besar adalah nelayan, diikuti dengan petani perkebunan (kopra, cengkeh), dan pegawai negeri sipil (PNS).
Topografi Wilayah
TOPOGRAFI Pulau Subi (Kabupaten Natuna) didominasi oleh lahan berbukit dan bergunung batu khas Natuna, dengan dataran rendah dan landai di pesisir, memiliki hamparan pasir putih dan bebatuan, serta banyak ditanami kelapa, menciptakan pemandangan khas kepulauan dengan perbukitan hijau dan garis pantai menarik.
Secara umum, daratannya relatif datar. Baik di tepi maupun tengah pulau, dengan ketinggian antara 1 – 3 meter di bawah permukaan laut (mdpl).
Pada sisi lain, pulau tumbuh mangrove yang cukup lebat; perairannya berkedalaman antara 1 – 5 meter. Arus perairan relatif berombak. Kecerahan perairan antara 5 – 7 m. Tipe substratnya berbatu.
Kultur Masyarakat dan Sejarah
SECARA kultural, masyarakat subi besar maupun subi kecil sebagian besar adalah masyarakat melayu dan sebagian kecil pendatang yang ada dan pada umumnya masyarakatnya berdialek melayu. Di Kecamatan Subi masyarakatnya masih relatif menjaga kebudayaannya hal ini dapat dilihat masih terjaganya beberapa cagar budaya.
Di desa Meliah terdapat Sebuah makam Keramat yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar dengan nama Makam Keramat Darah Putih. Makam tersebut dikelilingi dengan pagar yang berwarna putih oleh pemerintah desa.
Asal cerita makan keramat putih bermula dari seorang Syeh Abdul Rahman Bin Somad yang berasal dari Sambas (Kalbar), keturunan Bugis. Ia datang ke Pulau Subi dengan keluarganya untuk mensyiarkan Agama Islam.
Cerita yang berkembang, kematiannya karena dibunuh oleh bajak laut. Namun ada juga cerita lainnya bahwa ia dibunuh oleh orang asli Subi karena tak senang dengan ajaran yang dibawa. Mendapat informasi tersebut, konon ia bersedia dibunuh. Tapi dengan syarat setelah melaksanakan sholat subuh. Karena takut diketahui orang karena pagi sudah menjelang, para pembunuh akhirnya mengeksekusinya saat sedang mengambil wudhu untuk sholat subuh. Darahnya berceceran menjadi batu berwarna putih.
Oleh keluarganya, semula jenazah akan dimakamkan di halaman rumah. Namun ada salah satu keluarganya bermimpi bahwa jenazah seharusnya dimakamkan di dekat surau tempat pembunuhan terjadi.

Nama ulama tersebut adalah Syeh abdul Rahman Bin Somad. Selain dari makamnya, pengunjung juga bisa mendapati makam kerabatnya yang lain saat ini.
SELAIN itu, juga terdapat sebuah peninggalan bersejarah yang dikenal dengan nama Tuk Lile Majenun (sepasang meriam kuno). Meriam ini masih tersimpan dirumah salah seorang warga di Subi Kecil yang diikat disebuah tiang bagian tengah rumah.

Rumah tersebut merupakan rumah warisan yang masih tradisional. Sementara’ meriam tersebut sudah ada di rumah tersebut sejak zaman dahulu. Dua meriam ini diperkirakan berasal dari masa kedatangan bangsa Portugis dengan ukuran panjang +1 meter dan +60 cm.
Meriam yang besar diberi nama Tuk Lile, sedangkan meriam kecil diberi nama Majenun.
Menariknya, sepasang meriam ini tidak bisa dipindahkan dari tempatnya. Jika dipindahkan, konon akan terjadi bencana alam seperti hujan dan badai. Dua nama tersebut digabungkan menjadi nama meriam tersebut, yaitu Tuk Lile Majenun.
ADA juga peninggalan Bandar Udara Jepang di Desa Subi yang kini sudah menjadi semak belukar.

Menurut informasi masyarakat di sini, semasa penjajahan Jepang di Indonesia, orang Jepang yang pernah singgah di Subi, berencana mendirikan lapangan udara untuk kebutuhan logistik dan aktifitas militer mereka.
Pembukaan lahan/ pembangunan bandara tersebut menggunakan tenaga masyarakat setempat di wilayah Subi. Sementara untuk pengawasan pekerja, diambil dari tenaga kerja dari Malaysia Timur, Kucing Serawak. Nama mandor pekerja Hasan.

Namun pekerjaan Bandara Jepang tersebut tidak selesai karena peristiwa bom Naga Saki dan Hiroshima yang menyebabkan tentara Jepang menyerah kepada tentara Sekutu.
(ham)


