POLEMIK Persyaratan Laik Laut (PLL) dapat menjadi batu sandungan bagi perekonomian Batam. Pasalnya, keberadaan PLL yang muncul berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut Nomor : AL.012/3/11/DJPL/2022 tertanggal 21 Juni lalu ini menyebabkan 11 dari 14 kapal tongkang yang mengangkut kontainer dengan rute Batam menuju Singapura tidak bisa berlayar.
Menurut salah seorang pengusaha maritim Batam, Osman Hasyim, satu hari saja kapal tidak berlayar, maka Batam akan kehilangan kontainer sebanyak 150 TEUs yang gagal diekspor ke luar negeri. Apalagi jika ada 11 kapal, maka total kerugian mencapai 1.650 TEUs per hari.
“Penyelenggaraan pelabuhan itu tidak boleh berhenti walau 1 menit. Karena ada surat edaran itu, maka Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) menghentikan karena kapal-kapal tongkang itu tidak kantongi PLL,” kata Osman, Senin (29/8).
Menurut Osman, sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, KSOP Batam harus berani memberikan diskresi. Sebagai contoh, pria berkacamata ini menjelaskan mengenai salah satu Undang-Undang (UU) Imigrasi, dimana salah satu pasal mewajibkan kapal asing yang masuk ke Indonesia lewat Batam harus melapor dalam tempo 48 jam sebelum kedatangan.
“Kalau di Batam tidak bisa, kapal asing masuk ke Batam itu hitungan jam bukan hari. Sejak terbit, pasal tersebut mendapat diskresi khusus untuk Batam. Kalau berlaku juga, maka bisa tidak jalan kegiatan maritim di Batam,” jelasnya.
Ketika kapal tongkang yang membawa hasil ekspor Batam tidak berlayar, maka hal itu sudah menyangkut kepentingan ekonomi dan publik. “Jadi harus ada keberanian beri diskresi. Kalau dalam beberapa hari, persoalan ini tidak selesai, maka bisa ada huru-hara. Kontainer yang ada tengah muat sekarang saja belum berangkat,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam sekali jalan per harinya, 1 unit kapal tongkang memuat kontainer sebanyak 300 TEUs, terdiri dari 150 TEUs muatan ekspor (Batam-Singapura) dan 150 TEUs muatan impor (Singapura-Batam).
“Kalau ada 11 tidak bisa berangkat, maka kerugian 1.650 TEUs sehari. Kalau 3 hari atau seminggu, bisa dihitung kerugiannya berapa. Jangan anggap sepele, nanti industri disini bisa wanprestasi. Kontrak diputus dan pindah ke negara lain, sehingga pengangguran bertambah,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Badan Usaha Pelabuhan (BUP) BP Batam, Dendi Gustinandar mengatakan terkait dengan polemik PLL, memang sudah terjadi penurunan aktivitas di pelabuhan, seperti di Pelabuhan Batuampar.
“Kalau terkait dengan aktivitas, pasti ada penurunan. Karena hanya 3 kapal yang bisa dipakai,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini, hampir semua pengiriman kontainer ekspor ke Singapura memang menggunakan kapal tongkang yang memang ukurannya tidak terlalu besar, seperti mother vessel. Pelabuhan di Batam sendiri belum mampu disandari kapal-kapal besar.
Terkait polemik PLL, BP Batam hanya bisa membantu pengusaha untuk cari solusi. Persoalan PLL merupakan kewenangan dari Kementerian Perhubungan, yang menerbitkan regulasi (leo).