Pemukiman mereka disebut “panglong”. Sementara mandor yang mengawasi mereka disebut “tauké panglong”.
…
“Sedikit kata tentang pedagang kecil Cina; mereka dapat ditemukan di mana-mana. Bahkan di kampung-kampung kecil yang hanya terdiri dari 3 atau 4 rumah.” (J.G. Schot, Indische Gids – De Battam Archipel X, 1883)
Oleh: Bintoro Suryo
CONTROLEUR di wilayah ini, J.G. Schot, sepertinya tertarik dengan karakter dan aktifitas kelompok penduduk Cina yang ada di Kepulauan Batam masa itu. Tanpa kontribusi dan peran mereka, wilayah ini hanya kelompok pulau – pulau dengan hutan belantara lebat. Tidak menarik dan sulit berkembang.
Beberapa pemukiman penduduk pribumi yang ada di pesisir kepulauan Batam, seperti Djodoe, Tring, Belian, Nongsa atau Bagan serta Batoe Hadji, jelas tidak bisa menopang kontribusi ekonomi bagi pendapatan negeri di Riouw Lingga secara umum, tanpa peran orang Cina. Peran mereka vital bagi perekonomian.
Walau begitu, Schot juga menyoroti karakter mereka yang terkadang negatif. Ekspansi massif ke wilayah ini, memerlukan pengawasan dan pengaturan yang lebih khusus.
Catatan tentang ini, dipaparkan J.G. Schot pada bagian X dokumen Indische Gids yang terbit pada 1883. Silahkan disimak.
SETELAH membahas pertanian orang Cina, kita masih perlu memperhatikan kegiatan lain mereka. Kegiatan tersebut adalah: penebangan kayu dan pembuatan papan, pembakaran arang kayu, kapur, serta perdagangan.
Tidak mengherankan bahwa di pulau-pulau yang menghasilkan kayu berkualitas baik, mereka, seperti penduduk asli, juga mencari keuntungan dari penebangan kayu. Biasanya, tauke dari Singapura, setelah mendapatkan izin dari bangsawan penguasa, mempekerjakan sejumlah kuli dengan gaji bulanan 5-6 dolar. Pekerja yang membentuk satu kelompok tinggal bersama.
Pemukiman mereka disebut “panglong“. Sementara mandor yang mengawasi mereka disebut “tauké panglong“. Mandor dapat menghasilkan 10-15 dolar per bulan.
Belum lama ini, ada banyak penebang kayu Cina di wilayah ini. Tetapi karena jumlah kayu yang tersedia terus berkurang, jumlah mereka juga makin berkurang. Kayu tua yang berkualitas baik, tidak begitu banyak berkurang karena eksploitasi. Tetapi lebih karena penghancuran hutan yang tidak terkendali oleh para petani Cina di wilayah ini.
Di daerah yang lebih rendah dan di lereng bukit dengan kemiringan tidak terlalu curam, pembabatan hutan mungkin berguna untuk membuka lahan pertanian yang dapat memberikan hasil lebih baik dan berkelanjutan. Namun, di daerah dengan lereng bukit yang sangat curam, keberadaan hutan sebenarnya harus dipertahankan untuk kepentingan eksploitasi kayu secara teratur.
Tapi, hal demikian tidak berlaku bagi para petani Cina. Karena didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan cepat, mereka juga menebangi hutan hingga di lereng curam tanpa izin. Kemudian menanaminya dengan tanaman lada atau gambir. Akibatnya, bibit-bibit tanaman tersebut akan hanyut tersapu air hujan. Atau mati dalam beberapa tahun karena aliran air yang merusak akar tanaman.
Dengan pola penebangan hutan sembarangan yang dilakukan petani Cina, sebenarnya masih banyak kayu berkualitas baik yang bisa ditemukan dan diolah dari hutan di wilayah ini. Namun, itu tidak termasuk jenis kayu bernilai mahal. Jenis-jenis tersebut hampir tidak ada lagi dibandingkan beberapa puluh tahun sebelumnya.
Pedagang kayu Cina tidak semuanya bekerja dengan kuli dari bangsa mereka sendiri. Seringkali mereka hanya membeli kayu dari penduduk Melayu. Kemudian menjual hasil hutan dengan harga yang dianggap orang Cina lebih menguntungkan bagi mereka.
Misalnya, kayu bakar dari hutan pantai dan kayu untuk tiang serta bangunan. Kayu-kayu jenis ini biasanya dieksploitasi dan disediakan oleh penduduk Melayu dalam jumlah besar dari dalam hutan.
Untuk menebang, orang-orang pribumi itu biasanya akan menerima uang muka dalam bentuk tunai serta bahan makanan selama perjalanan memasuki hutan. Hasil kayu yang dikumpulkan penduduk pribumi, kemudian dibeli oleh orang Cina. Di antaranya, akan dimanfaatkan sebagai bahan baku utama pembuatan arang.
Produksi Kayu dan Kapur Arang
PEMBAKARAN arang kayu dan kapur karang yang dilakukan di wilayah ini, tidak melibatkan penduduk asli. Aktifitas ini sepenuhnya dijalankan oleh orang Cina.

Mereka memproduksi arang yang dihasilkan dari tungku arang kayu yang terbuat dari tanah liat. Memiliki bentuk yang mirip dengan sarang lebah dan dilengkapi dengan pintu yang bisa ditutup setelah diisi dengan tanah liat. Tungku yang terbuat dari tanah itu memiliki lubang persegi yang tetap terbuka sampai api memiliki kekuatan yang cukup untuk melanjutkan pembakaran tanpa udara luar. Beberapa lubang kecil lainnya yang memungkinkan asap yang lebih banyak untuk keluar, juga terdapat di bagian atapnya.
Tungku-tungku tersebut dapat ditemukan berkelompok dengan jumlah 3, 4, atau lebih di sekitar hutan pantai yang memiliki cadangan kayu yang cukup.
Jenis kayu yang biasa digunakan untuk pembakaran arang kayu adalah Teroentoe dan Bakau. Jika jumlah bahan utama kayu telah habis di area tertentu dekat tungku-tungku yang sudah ada, maka tempat lain akan dipilih dan tungku baru dibangun. Proses seperti ini terus berlanjut. Setelah 10 hingga 12 tahun, kayu baru biasanya telah tumbuh kembali di hutan pantai yang sebelumnya telah ditebang. Orang-orang Cina itu kemudian kembali melakukan aktifitas pembuatan arang dari tungku-tungku tanah liat yang dulu mereka tinggalkan.
SETIAP tungku dengan bahan kayu arang, biasanya dibakar tiga kali dalam dua bulan. Produk dari tungku tersebut biasanya dikirimkan oleh pembakar kepada pemberi kerja atau pemberi modal di Singapura. Nilai per pembakaran sekitar 12 dolar. Untuk pekerjaan itu, pemberi modal akan menyediakan semua kebutuhan hidup dengan pembayaran yang layak.

Dalam industri kapur, prosesnya sedikit berbeda. Di sini, pembakar hanyalah pekerja upahan dari tauké di Singapura. Biasanya, ada sekitar 10 orang yang bekerja di sebuah tempat pembakaran kapur. Setiap bulan, sebuah tungku dibakar dua kali, dan menghasilkan 80-100 kojang kapur yang dibayar kepada panglong dengan harga 5 dolar per kojang. Kapur yang dihasilkan sangat berkualitas baik. Tidak mengherankan jika kita melihat proses pembakaran kapur dan struktur tungku kapur banyak terdapat di sini.
Tidak ada tungku tertentu yang digunakan dalam proses pembakaran kapur. Tempat kerja pembakaran hanyalah sebuah gudang terbuka dengan atap yang relatif tinggi. Di tengah gudang, sejumlah bahan bakar dalam bentuk kayu gelondongan ditempatkan, dengan lubang di tengahnya. Di atas dan di sekitar lapisan kayu setebal 3-4 kaki, karang ditempatkan, sehingga total tingginya mencapai 8-10 kaki. Lubang di lapisan kayu tetap terbuka. Setelah penumpukan selesai, lubang tersebut diisi dengan kayu kering yang telah disiram dengan bahan bakar minyak, dan kemudian dibakar. Tumpukan tersebut dibiarkan selama beberapa hari. Pekerja tidak beristirahat, tetapi sibuk mengumpulkan karang dan kayu untuk pembakaran berikutnya dan menumpuknya di tempat pembakaran.
Ketika tinggi tumpukan telah berkurang secara signifikan, itu menandakan bahwa kayu telah terbakar menjadi abu. Proses pembersihan dan penyaringan kapur yang masih terbakar dimulai. Pekerjaan ini tergolong pekerjaan yang cukup berat!
Pengolahan kasar yang tidak memastikan penghilangan garam yang cukup dari karang, membuat kapur, meskipun dapat digunakan, memiliki kualitas yang lebih rendah. Ini menimbulkan pertanyaan. Mengapa kapur ini, yang digunakan sebagai mortar, masih dicampur dengan sedikit pasir dan banyak tanah liat atau lempung?
Tanah liat tersedia dalam jumlah besar di Kepulauan Batam dan dapat digunakan untuk membuat batu bata. Tetapi, hampir tidak ada yang melakukan pekerjaan ini. Meskipun ada beberapa tungku bata kecil di daerah Senggarang di Bintan, tetapi mereka tidak terorganisir dengan baik dan tidak menghasilkan produk yang dapat disebut cukup baik.
Pedagang Cina di Kepulauan Batam
SEDIKIT kata tentang pedagang kecil Cina; mereka dapat ditemukan di mana-mana. Bahkan di kampung-kampung kecil yang hanya terdiri dari 3 atau 4 rumah. Ini luar biasa karena banyak pedagang kecil Cina itu, tetap dapat menemukan mata pencaharian dalam bisnis mereka di lokasi seperti itu.

Pertama-tama, perlu diingat bahwa pedagang kecil ini hidup seperti pengemis. Bahkan, orang Cina yang sudah kaya, terkadang melakukan hal yang sama. Makanan mereka hanya nasi dengan sedikit ikan atau sayuran segar atau asin sebagai pelengkap, tiga kali sehari. Seorang Cina seperti itu biasanya tidak menghabiskan lebih dari 5 hingga 6 sen dolar untuk makanan sehari-hari mereka. Hanya pada kesempatan khusus, mereka menghabiskan sedikit lebih banyak. Tetapi bahkan saat itu, mereka tidak menghabiskan lebih dari setengah dolar untuk makanan.
Pakaian mereka juga tidak mahal. Tiga celana, salah satunya terbuat dari sutra, dan dua atau tiga kemeja Cina yang harganya tidak lebih dari 10 dolar, sudah cukup untuk setahun atau lebih.
Dengan gaya hidup yang sederhana seperti itu, peluang untuk mendapatkan keuntungan besar dalam pekerjaan mereka cukup besar. Kecuali jika pedagang kecil itu kecanduan opium. Dalam kasus seperti itu, mereka bahkan tidak ragu-ragu menghabiskan setengah dolar atau bahkan satu dolar atau lebih untuk candu tersebut.
Kedua, pedagang Cina memiliki sistem kredit yang unik. Mereka tidak akan menolak seorang penduduk asli yang tidak memiliki uang tunai. Mereka akan memperlakukan penduduk asli dengan baik. Bahkan mendorong mereka untuk membeli walau dengan cara berhutang.
Ketika seorang penduduk asli datang untuk berbelanja, mereka tidak akan mempermasalahkan jika penduduk asli itu mengambil beberapa buah pisang yang tergantung di depan toko untuk dimakan. Penduduk asli biasanya akan menganggap pedagang Cina sebagai orang yang baik dan tidak terlalu memperhatikan kualitas barang yang mereka beli. Atau, apakah barang itu ditimbang dengan benar.
Namun sebenarnya, mereka tidak menyadari bahwa pedagang Cina, yang memiliki catatan akurat dalam bahasa mereka sendiri, mencatat lebih dari yang seharusnya dan juga menghitung buah pisang yang dimakan sebagai bagian dari pembelian!
Ketika tiba saatnya untuk membayar, penduduk asli mungkin terkejut dengan jumlah yang tinggi dari tagihan yang mereka terima.
Tetapi karena mereka tidak ingat berapa yang sebenarnya mereka belanjakan, mereka akhirnya membayar seluruh jumlah tersebut. Terkadang, jika tagihan terlalu tinggi, penduduk asli membayar sebagian dari jumlah tersebut. Tetapi pedagang Cina biasanya mencatat sebagian besar dari pembayaran tersebut sebagai bunga atas pinjaman yang belum dibayar.
Pemerintah pribumi tampaknya sangat khawatir tentang praktik seperti ini. Sehingga, dalam kontrak sewa yang diberikan kepada pedagang Cina, mereka diberi hak untuk menyewakan tanah hanya dengan syarat bahwa mereka tidak akan memberikan hutang kepada siapa pun lebih dari jumlah tertentu (dalam kasus ini, tidak lebih dari 5 sen) tanpa memberitahu dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah pribumi.
Biasanya, orang Cina tahu cara untuk menghindari janji ini dengan berbagai cara.
Ketiga, perlu diingat bahwa pedagang kecil selalu dapat membeli produk yang dikumpulkan oleh penduduk, seperti ikan, getah, atau kayu, dengan harga yang sangat rendah. Ini dimungkinkan karena mereka tidak menolak untuk membeli dalam jumlah kecil.
Misalnya, mereka membeli sarang burung walet per biji atau sepasang, dan teripang serta gamat juga diperdagangkan dengan cara yang sama. Pedagang kecil Cina itu kemudian menyimpan produk yang dibeli sampai mereka memiliki jumlah yang cukup besar, yang kemudian dijual dengan keuntungan besar di pasar Singapura.
Bahkan ketika mereka membeli dalam jumlah besar, mereka membayar harga yang sangat rendah sehingga total biaya mereka, termasuk biaya transportasi ke Singapura, tidak lebih dari setengah harga pasar Singapura atau sedikit lebih tinggi.
Sebuah toko kecil dengan modal usaha 300 dolar dan kredit 300 dolar di Singapura, dapat memberikan keuntungan 200 dolar atau lebih kepada pedagang kecil yang juga membeli berbagai bahan kebutuhan lain.
Kontribusi Orang Cina
SEBELUM kita meninggalkan topik tentang orang Cina, kita ingin menjelaskan secara singkat dan umum bagaimana penduduk asing ini berkontribusi pada penguatan kas negeri.
Dengan mengasumsikan jumlah orang yang dikenakan pajak di Kepulauan Batam, kecuali Rempang-Galang, adalah 2000 orang, kita tidak akan membuat kesalahan dengan perkiraan yang terlalu rendah. Apalagi jika kita tambahkan 500 orang dari Rempang-Galang, sehingga total orang yang dikenakan pajak menjadi 2500 orang.
Jika kita membuat perkiraan yang luas tentang jumlah orang yang dikenakan pajak, kita tidak akan melakukan hal yang sama ketika menghitung jumlah uang yang masuk ke kas negeri, baik secara keseluruhan atau sebagian.
Kita akan memilih tahun 1881 sebagai contoh. Pada tahun itu, di Kepulauan Batam (kecuali Rempang-Galang), dibayar:
Berikut adalah tabel yang menampilkan kontribusi orang Cina terhadap kas negara dengan simbol mata uang Gulden Belanda (ƒ):
Jenis Pajak/Pendapatan Jumlah Pajak
Pajak Kepala ƒ 7.000,-
Pajak Usaha ƒ 7.000,-
Pachters Usaha Kecil (Penyembelihan Babi, Judi, Penyulingan Arak) ƒ 6.000,-
Pendapatan Opium ƒ 180.000,-
Total ƒ 200.000,-
Sumber : De Battam Archipel X, Indische Gids 1883
Dapat diasumsikan dengan aman bahwa dari total jumlah ƒ200.000, sekitar ƒ65.000 telah masuk ke kas negeri. Berapa banyak yang dibayarkan kepada pemerintah pribumi sebagai sewa tanah untuk kebun gambir dan lada, sewa tanah untuk kedai, dan pembayaran lain untuk penebangan kayu, pembakaran kapur, dan arang kayu, hanya dapat diperkirakan secara kasar. Tetapi jumlah totalnya pasti melebihi ƒ40.000.
Tidak perlu penjelasan lebih lanjut bahwa meskipun kita tidak perlu langsung menyukai orang Cina (dan ada alasan untuk itu), kita juga tidak bisa mengabaikan bahwa mereka saat ini masih menjadi elemen yang hampir tidak tergantikan secara ekonomi di wilayah ini.
(*)
(Bersambung)
Catatan : Wilayah Kepulauan Batam yang dideskripsikan oleh J.G. Schot pada masa itu meliputi pulau-pulau utama dan penyangga. Mulai dari kelompok Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kelompok Bulang (termasuk Sambu, Belakangpadang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), hingga kelompok kepulauan Soelit (Tjombol, Sugi, Tjitlim) dan Kateman di pesisir pantai Timur Sumatera.
Selanjutnya : Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam, 1882 (Bagian XI – XII Selesai)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com