MENTERI Ketenagakerjaan atau Menaker Ida Fauziyah menyatakan ketentuan upah per jam akan berlaku bagi pekerja dengan jam kerja 35 jam per minggu. Namun, bagi pekerja dengan jam kerja 40 jam per minggu, Ida menyebut ketentuan pengupahan berlaku seperti biasanya.
“Jam kerja kita kan 40 jam seminggu. Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu, hitungannya per jam. Saya mau sampaikan terkait dengan ini kita sounding pengusaha dan serikat pekerja mereka memahami. Nanti pengaturannya akan kita atur,” kata dia di Istana Bogor, Jumat (27/12).
Ida mengungkapkan ketentuan itu akan dimuat dalam klaster ketenagakerjaan dalam draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Adapun, beberapa pokok bahasan ketenagakerjaan dalam regulasi tersebut antara lain masalah upah minimum dan pesangon karyawan.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menginginkan seluruh pembahasan klaster dalam RUU Omnibus Law Ketenagakerjaan rampung pada Januari 2020 sehingga dapat diserahkan ke DPR secepatnya.
“Prosesnya dengan DPR [Dewan Perwakilan Rakyat] akan dibahas di dalam masa sidang baru. Termasuk pengetokan daripada prolegnas yang prioritas di tahun 2020 dan ini masih akan dibahas di masa sidang pertama,” katanya.
Secara substantif, terdapat 11 klaster yang diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja antara lain perizinan usaha, syarat investasi, ketenagakerjaan, perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.
Ketidakberpihakan ke buruh
Ekonom Senior Faisal Basri di laman KOMPAS menilai omnibus law berisiko hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sebab menurutnya, keterlibatan unsur tenaga kerja seperti buruh dalam perumusan kebijakan tersebut sangat minim.
Dia menilai, pemerintah daerah dan buruh menjadi pihak-pihak yang rentan dalam penyusunan kebijakan sapu jagat ini. Jika pajak daerah yang menjadi otoritas pemerintah daerah berhak diatur oleh pemerintah pusat di dalam omnibus law, maka berpotensi untuk menggerus pendapatan daerah.
Sementara untuk buruh, Faisal mengatakan hingga saat ini dirinya belum melihat ada intensi keberpihakan terhadap kaum buruh.
“Ini pusat lagi dominasi penguasa dan pengusaha. Diwakilkan dalam kementerian sebagai wakil menteri, selesai sudah. Buruh hempas. No one care. Nggak ada perwakilan yang membantu buruh, enggak ada,” ujar Faisal seperti dikutip dari Kompas.com, 18 Desember 2019.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak sistem upah berdasarkan jam kerja.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono di laman KONTAN mengatakan, wacana tersebut justru semakin merugikan kaum buruh.
“Kami menolak sistem upah berdasarkan jam kerja,” kata Kahar Kamis (26/12) kemarin.
Kahar menyebutkan, sistem pengupahan yang ada saat ini saja terbilang masih rendah. Sebab itu, rencana sistem pengupahan tersebut semakin mengurangi pendapatan pekerja.
Kahar mengatakan, sistem pengupahan itu malah bisa menjadi celah bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh semaunya. Ia mencontohkan, jika wacana itu terealisasi, bisa saja sebagian pekerja bidang ritel hanya dipekerjakan saat akhir pekan saja. Hal itu karena ritel akan ramai pengunjung pada saat akhir pekan.
Lebih lanjut, Kahar mengatakan, pemerintah seharusnya melibatkan pihak buruh dalam setiap penentuan kebijakan. Ia berharap keterlibatan itu tidak hanya sekedar formalitas yang hanya mengundang serikat buruh dalam suatu pertemuan. Akan tetapi juga menyerap aspirasi buruh.
———————————-
Sumber : TEMPO / BISNIS / KOMPAS / KONTAN