KESENIAN tradisional khas masyarakat Melayu, Makyong, memang tidak lagi terlalu bergema.
Tapi, di beberapa lokasi, kesenian khas dengan pertunjukan mengggunakan topeng di Kepulauan Riau tersebut masih ada.
Di Bintan, masyarakatnya masih bisa menyaksikan pagelaran kesenian Makyong yang digelar akhir pekan kemarin.
https://youtu.be/R2SIYpIxdj0
Apa itu Makyong?
MAKYONG adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih dimainkan di beberapa lokasi.
Merupakan seni dramatari.
Di zaman dulu, pertunjukan makyong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi.
Selain di Kepulauan Riau, dramatari makyong juga dipertunjukkan di negara Malaysia. Seperti negara bagian Terengganu, Kelantan, dan Kedah. Juga di Thailand, terutama i Pattani.
Makyong di Kepulauan Riau dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng.
Pertunjukan makyong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental serta naskah yang sederhana.
Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.
Sejarah
ISTANA kerajaan Melayu menjadi pelindung seni tari makyong sejak paruh kedua abad ke-19 sampai tahun 1930-an.
Saat itu, jika raja mendengar ada penari yang pandai apalagi cantik sedang bermain di kampung-kampung, raja langsung memerintahkan penari tersebut untuk menari di dalam lingkungan istana.
Penari yang menari di istana akan ditanggung semua akomodasi serta kebutuhan hidup. Bahkan menerima pinjaman tanah sawah milik raja untuk dikerjakan.

Kemunduran ekonomi kesultanan akibat kedatangan Inggris di semenanjung Malaya menyebabkan pihak kesultanan tidak bisa lagi menjadi pelindung kelompok pertunjukan makyong.
Akibatnya, di awal abad ke-20, tari makyong mulai berkembang bebas di desa-desa.
Pertunjukan Mak yong tanpa patron pihak kerajaan menyebabkan mutu pertunjukan semakin merosot. Terutama setelah terjadi bencana banjir besar di Kelantan yang terkenal sebagai Banjir Merah tahun 1926 hingga tahun 1950-an.
Selain itu, nilai estetika tradisional mak yong mulai luntur akibat komersialiasi pertunjukan. Lama pertunjukan juga diperpendek dari pukul 8:30 malam hingga pukul 11:00 malam. Selesai pertunjukan makyong langsung diteruskan acara joget bersama.
Penonton naik ke atas panggung untuk menari bersama penari makyong. Alat musik untuk makyong juga diganti dengan biola dan akordion untuk memainkan lagu untuk berjoget.
Di laman wikipedia disebutkan, nilai moral penari juga mulai merosot. Tidak jarang terdengar kisah-kisah sumbang yang terjadi antara kalangan penari dengan penonton setelah pertunjukan.
Keluarga penari makyong juga menjadi berantakan, perceraian menyebabkan anak-anak menjadi telantar.
Penari makyong malah banyak yang bangga dengan jumlah suami yang dimiliki. Publik mempertanyakan nilai moral di kalangan penari sehingga citra penari makyong makin merosot. Keadaan ini membuat citra kesenian mak yong semakin hancur.
Di akhir tahun 1960-an, kelompok tari makyong sudah sangat jarang bisa dijumpai lagi.
Orang yang berniat mempelajari tari makyong juga tidak ada. Kebudayaan barat yang melanda masyarakat makin menenggelamkan kesenian makyong. Kalau ada pun pertunjukan Mak Yong yang diadakan pada peristiwa penting seperti Hari Keputeraan Sultan, pertunjukan hanya dikerumuni orang-orang tua.
Kelompok Seri Temenggung merupakan pelopor tari makyong generasi ketiga yang berusaha menghidupkan kembali tari dan nyanyian asli seperti pertunjukan makyong generasi pertama.

Kelompok tari Seri Temenggung masih relatif baru dengan guru-guru yang berasal dari generasi pertama penari Makyong.
Makyong di Kepulauan Riau
Ada beberapa pendapat tentang asal usul Makyong di Kepulauan Riau, antara lain pendapat hasil rumusan Direktorat Teater Tradisional yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Direktorat Pembinaan Kesenian pada tanggal 13 Desember 1975.
Dari pendapat itu tidak dapat diketahui pasti kapan Makyong sampai ke Riau, Makyong berkembang menurut situasi dan kondisi setempat, dan akhirnya menjadi sebuah pertunjukan yang mendarah daging bagi penduduk setempat.
Menurut kisah yang diceritakan Pak Abdul Rahman (Amanriza, 1993) di Manatang Arang, Kepulauan Riau tahun 1927 seperti dilsnsir dari blog wartasejarah, seni pertunjukan Makyong berasal dari permainan yang dilakoni oleh harimau jadi-jadian.
Tetapi sampai saat ini tidak seorang pun mengetahui pasti arti kata Makyong.
Namun, masyarakat luas tahu bahwa Makyong merupakan nama sebuah pertunjukan atau teater yang dimana merupakan nama salah seorang tokoh dalam teater tersebut.

Makyong adalah salah satu jenis kesenian melayu yang menggabungkan unsur-unsur ritual, tari, nyanyi, dan music dalam pementasannya. Dalam pertunjukannya Makyong mempertemukan antara pemain dan penonton dalam ruang, waktu dan tempat yang sama. (uun-halimah.blogspot.com. 2008)
Penilik Kebudayaan Depdikbud di Tanjung pinang tahun 1970-1980 masih mencatat tempat-tempat yang memiliki perkumpulan seni teater Makyong di Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu di Mantang Arang, Rmpang/Sembulang, Dompak, Kasu, Pulau Buluh.
Pementasan Makyong
SEPERTI teater rakyat (tradisional) lainnya, teater Makyong tidak menuntut set properti, dekorasi, atau layar untuk pergantian babak.
Bila Makyong dipentaskan di lapangan terbuka, tempat pentas harus diberi atap yang menggunakan bubungan dengan enam buah tiang penyangga.
Pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila dimainkan di istana, Makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.
Setelah ketua panjak yang disebut Bomo mendapatkan tempat yang tepat untuk pementasan Makyong, ia harus melakukan serangkaian upacara sebelum pementasan dilakukan.
Mula-mula dilakukan upacara mengasap alat-alat yang terdiri dari sebuah gendang penganak, sebuah gendang pengibu, dua buah tawak-tawak/gong, dua buah mong/kromong, sebuah gedu-gedung, sebuah canang, sebuah serunai dan sebuah rebab.
Uacara mengasap dilanjutkan pada alat-alat bermain lainnya, termasuk canggai (kuku-kuku palsu panjang).
Acara selanjutnya disebut buang bahasa atau buka tanah dengan menanam sebutir telur ayam, segenggam beras basuh, segenggam beras kuning, brtih, sirih sekapur, dan sebatang rokok daun nipah.
Setelah sang Bomo memerintah pembantunya menanam benda-benda tersebut, ia mulai menaburkan betih dan beras basuh ke sekekliling tempat bermain, sambil membaca serapah dan mantra yang diiringi bunyi musik berirama magis. Serapah tersebut berbunyi :
Assalamu’alaikum
Wa’alaikumsalam
Tabik orang di laut
Tabik orang di darat
Aku nak membubiuh paras
dan tanda di sini
Aku minta tanh yang baik
Bismillahirrahmanirrahim
Bam tanah Jembalang tanah
Aku tahu asak engkau
Mulai menjadi bintang timur
Berundurlah engkau darii sini
Jangan engkau menghalang
Pekerjaan aku di sini
Huh!
Setelah itu menekankan ujung jarinya ke langit-langit mulutnya, kemudian menekankan jari itu pada tanah.
Selama upacara berlansung, pelakon/ pemain duduk berderet di depan pemain music.
Begitu Bomo selesai mengadakan upacara buka tanah/buang bahasa, para pemain segera mengambil satu atau dua butir bertih dan beras basuh yang ditanburkan sang Bomo untuk dikunyah, dengan maksud agar lakon mereka lancar.
Pertunjukan Makyong pun dimulai dengan diirngi musik. Seorang pemain wanita yang berpakain lelaki yang memerankan lakon Pakyong atau Cikwang berdiri.
Dia bertelekan pada kedua lutut dan perlahan-lahan berdiri sambil menyanyikan lagu “Betabik”. Nyanyian Pakyong disambut oleh para pemain wanita yang memerankan inang dan dayang. Mereka berdiri kemudian ikut bernynyi dan menari bersam Pakyong.
Setelah selesai membawakan lagu Betabik, para dayang dan inang duduk kembali. Pakyong yang masih berdiri di tengah area pertunjukkan segera memanggil Si Awang atau Peran menyahut panggilan Pakyong sambil memantrai topeng yang sedang dipegangnya.
Topeng dipakai dan dia pun mendekati Pakyong dengan gerakan teatral khas Makyong, yaitu melenggang dengan tangan bergetar. Awang/ Perang merupakan pemain yang amat penting.
Dia menjadi pelawak, pengiring raja, pengiring anak raja dan kadang-kadang juga disebut Pakyong Muda.
Pergantian babak/ adegan dalam teater makyong ditandai dengan nyanyian dan dialog yang diucapkan para pemain atau dengan duduk dan berdirinya para pemain di pinggir ruang pertunjukan.
Sedangkan pertukaran peran dilakukan dengan menukar topeng yang dikenakan pemain. Seorang pemain boleh membawakan lebih dari satu peran, bahkan tiga atau empat peran dengan cara menukar topengnya.
Jalan pertunjukan Makyong agak lamban. Cerita dapat bersambung terus selama lima malam, kadang-kadang sampai tujuh malam. Pertunjukan biasanya dimulai setelah Isya dan berakhir menjelang shubuh.
Cerita Makyong
CERITA Makyong disajikan dalam pementasan Makyong sebagian besar sudah dikenal secara luas, karena cerita dalam Makyong berasal dari warisan dati tukang cerita istana.
Tidak ada peninggalan tertulis tentang lakon Mayong. Semua cerita Makyong ditularkan melalui tradisi lisan.
Di antara cerita-cerita Makyong yang paling terkenal ialah Tuan Putri Ratna Emas, Nenek Gajah dan Daru, Cerita Gondang, Wak Pean Hutan, Gunung Intan, Dewa Muda, Dewa Indra Dewa, Megat Muda, Megat Sakti, Megat Kiwi, Bungsu Sakti, Putri Timun Muda, Raja Muda Laleng, Raja Tingkai Hati, Raja Dua Serupa, Raja Muda Lembek dan Gading Betimbang.
Terkadang Makyong juga dipentaskan cerita yang berasal dari Mahabarata, Ramayana, cerita Panji, dan Pagaruyung.
Cerita dan bahan yang disebut terakhir sudah beda jauh dari aslinya. Sehingga dapat dibingkai dari polanya saja.
Sebagai contoh adalah cerita Koripan yang berasal dati cerita Panji.
Jika dalam pewayangan (wayang purwa) dikenal cerita-cerita yang tabu dipentaskan tanpa sesaji atau semah dari upacara khusus. Makyong pun memiliki cerita seperti itu, yaitu lakon Nenek Gajah dan Daru.
Tokoh pertunjukan Makyong adalah Pakyong Tua/ Raja, Pakyong Muda/ Pangeran, Makyong/ Permaisuri/ Mak Senik, Putri Makyong, Awang Pengasuh/ Pelayan Raja yang berjumlah lebih dari satu orang,
Orang Tua, Jin dan Raksasa dan Para Pembatak. Peran-peran wanita yaitu Makyong, Putri, Inang, dan Dayang.Pakyong adalah tokoh pria yang dibawakan oleh wanita. Peran seperti Awang, Mak Prambun, Wak Petanda Raja, Wak Nujum, Dewa, Jin, Pembatak, dan Raksasa dibawakan oleh pria.
Disarikan dari beberapa sumber : wikipedia / wartasejarahblogspot.co.id / Batam TV / alartemag.be