BANYAK perkembangan seiring kemajuan zaman. Tapi, sebagian warga di sini ada yang masih mempertahankan cara hidup tradisional yang bergantung dari laut. Mereka jadi nelayan jaring di laut, menebar bubu (perangkap, pen), juga menggunakan keramba untuk kegiatan budidaya ikan.
Oleh : Bintoro Suryo
PENGGUNAAN keramba, jadi cara lain yang efektif untuk menangkap ikan. Jenis Keramba apung yang dibuat warga, memudahkan mereka berpindah – pindah lokasi. Keramba menjadi simbol kearifan lokal, menawarkan cara yang berkelanjutan untuk menjaga ekosistem laut sambil mencari nafkah.
“Tunggu di sini dulu, saya ambil perahunya”, kata pak Basri begitu kami tiba di pinggir muara sungai Kelembak.
Ia kemudian menarik sebuah perahu kecil berbahan fiberglass dari deretan perahu-perahu nelayan yang kebanyak dari bahan kayu di sana. Setelah menaikinya, pak Basri menggunakan kayu panjang seperti galah untuk mengarahkannya ke lokasi kami berempat berdiri.
“Ini mesinnya masih handal, tak kalah lah dengan mesin-mesin yang baru,” kata pak Basri sambil menunjuk mesin perahu ketinting yang dipasang di perahu fiberglass-nya.
Ketinting adalah istilah yang populer untuk menyebut sampan atau perahu kecil yang biasa digunakan para nelayan di perairan pesisir laut hingga sungai di berbagai wilayah di Indonesia. Perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan atau sebagai sarana transportasi harian di sekitar perairan.
Pada umumnya, ketinting memiliki desain yang khas dengan bentuk badan perahu yang pipih dan lancip pada kedua ujungnya. Ukuran perahu ini bervariasi. Umumnya memiliki panjang sekitar 6-8 meter dengan lebar sekitar 1-2 meter.
Di bagian tengah perahu terdapat tempat duduk untuk penumpang atau nelayan. Selain itu, perahu ketinting juga dilengkapi dengan tiang dan layar yang digunakan untuk mengarahkan arah perahu saat berlayar. Tapi yang dibawa pak Basri ini polos saja, hanya mesin yang menempel di bagian belakang perahu.
Selain sebagai sarana transportasi harian untuk berpindah tempat atau menangkap ikan, ketinting juga kerap kali digunakan sebagai tempat beristirahat atau tempat tinggal sementara nelayan.
Ketinting sendiri merupakan salah satu jenis perahu tradisional yang banyak digunakan oleh masyarakat nelayan di Indonesia, khususnya di pesisir perairan laut.
Saat digunakan sebagai sarana transportasi, perahu ketinting dapat membawa penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan ketika digunakan untuk menangkap ikan, perahu ini dilengkapi dengan alat tangkap seperti jaring atau pancing.
Perahu atau sampan model ini, menggunakan motor luar dengan poros panjang, dipasang di sisinya dan dapat dibenamkan ke dalam air atau diangkat ke permukaan air.
“Nah, ayolah naik. Mumpung masih pagi, air masih pasang”, ajak pak Basri pada kami.
Sania naik terlebih dulu, disusul Yodha, Domu dan saya yang terakhir. Untuk keseimbangan perahu, kami membagi beban sama rata : Sania di depan buritan perahu, Domu di posisi agak ke tengah, saya dan Yodha yang berada persis di depan pak Basri yang akan mengemudikan ketinting dari bagian belakangnya.
Dengan kayu galah, pak Basri kemudian mengarahkan lagi ketinting kecilnya agak lebih ke tengah muara sungai, sekitar 10-an meter, kemudian mulai menghidupkan mesin.
Mesin yang menempel di perahu pak Basri bermerk Honda. Sepertinya itu mesin yang sudah lama sekali. Suaranya keras saat dihidupkan dengan cara diputar di bagian rotor mesin.
Perlahan, perahu mulai membelah muara sungai, mengarah ke perairan yang berhadapan dengan pusat pemerintahan Batam di Batam Centre.
“Kalau pakai perahu begini, sampai kemana saja biasanya pak Basri?” tanya saya separuh berteriak, berusaha mengimbangi suara mesin ketintingnya yang begitu keras.
“Ke dapur arang sana, kadang ke Nongsa, Ocarina juga, cari kerang Kupang”, jawab pak Basri sambil terus mengemudi.
Ada beberapa Kelong dan keramba apung yang kami temui di sekitar teluk Belian ini. Rata-rata dikelola mandiri oleh warga. Kelong dan keramba itu bisa dipindahkan fleksibel, menyesuaikan musim, cuaca dan kebiasaan migrasi ikan-ikan di sekitar perairan ini.
Teluk Belian sejatinya teluk tenang. Gelombang laut pasti ada, tapi warga yang beraktifitas di sini, relatif terlindung dalam bentang alam yang menjorok ke darat itu. Tak heran, banyak pemukiman lama warga pesisir di sekitar sini, saat mereka masih begitu bergantung pada kehidupan laut tempo dulu. Selain kampung Nongsa, ada Bakauserip, Senggunung yang kini sepi, kampung Terih, Kelembak hingga kampung Belian yang terletak di seberangnya. Kampung lain yang sudah ditinggalkan karena zaman yang berganti adalah Kumbang Menteduh.
Sementara dapur arang yang disebut pak Basri, adalah sebuah lokasi kecil di ujung sungai kecil lain di wilayah ini. Beberapa orang lama di Batam biasa menyebutnya Ulu Relai, hulu sungai Relai. Ada beberapa kepala keluarga yang masih mendiaminya hingga sekarang. Mereka beraktifitas sebagai nelayan di sekitar perairan Teluk Belian hingga mengupayakan pembuatan arang dari beberapa kubah tungku yang disebut dapur arang itu.
Saya mengenal salah satu di antaranya. Pak Jumali, warga asal Selayar, Sulawesi Selatan. Ia sudah mendiami wilayah itu sejak tahun 1978. Pak Jumali tinggal bersama isterinya yang merupakan orang asli Kepulauan Riau dari suku laut.
Beberapa tahun lalu, saya, Domu dan rekan saya Usvim Varadilla menyinggahinya. Ia tinggal di rumah kayu yang sederhana, persis di sisi muara sungai Relai. Ada dua tungku arang yang dikelola. Yang satu berukuran besar dan yang lain lebih kecil. Ia biasa mendapatkan bahan baku untuk pembuatan arangnya dari hutan bakau yang ada di sekitarnya.
“Tapi tak bisa seperti dulu lagi, kita harus benar-benar pilih kayu yang bisa kita pakai untuk arang, yang tidak menyebabkan penggundulan. Sudah ada larangannya, paling setahun dua kali saja bakarnya (di dapur arang yang dikelolanya, pen)”, kata pak Jumali suatu ketika ke kami.
Usaha pembuatan arang melalui tungku-tungku arang seperti itu, marak dilakukan warga yang mendiami wilayah kepulauan seperti Batam, tempo dulu. Itu jadi seperti industri tradisional. Mereka mengolah bahan baku kayu bakau menjadi lebih bernilai ekonomi, sebagai arang. Hasilnya diekspor ke Singapura. Ini hilirisasi tempo dulu dan benar-benar dilakukan kaum tempatan, bukan asing.
“Ke Singapur, dulu masih gampang. Bawa dari sini, ada tauke yang menampung. Sekarang susah”, kata pak Jumali.
Aturan batas negara, keimigrasian hingga lingkungan hidup, perlahan membuat industri dapur-dapur arang di Kepulauan Riau, termasuk Batam makin mati suri. Termasuk yang dikelola pak Jumali ini.
“Kalau sekarang, paling bawa ke Jodoh atau kapling (Nongsa, pen). Tak banyak lagi lah bakarnya. Harian saya melaut”, lanjut pria yang memiliki postur kekar walau usia sudah memasuki 70-an tahun.
Dapur arang yang digunakan berbentuk seperti kubah, terbuat dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa. Berukuran tinggi sekitar 5 meter dengan luas mencapai 25 meter persegi, bahkan ada yang lebih besar lagi. Dapur Arang seperti itu bisa digunakan untuk membakar kayu bakau hingga kapasitas 30 ton dan diubah menjadi arang. Hutan bakau yang tumbuh sumbur di sepanjang pesisir Batam menjadi berkah bagi penduduk tempatan di masa lalu.
Pada masa lampau penduduk Batam biasa mencukupi kebutuhan mereka dengan menangkap ikan. Selain itu mereka berdagang, mencari kayu, membuat tembikar, dan sebagainya. Transaksi ekonomi dan hubungan sosial terjalin melalui jalur laut. Daratan Batam yang lebih menjorok ke dalam, masih belantara. Tak heran, pak Habibie, ketua Otorita Batam kedua yang punya pengaruh besar terhadap perubahan pulau ini hingga sekarang menjelma jadi pulau industri yang metropolis, menyebut Batam dulu cuma hutan.
“Hutan semua, itu ular (sanca, pen) sebesar-besar ini (sambil memegang lengan dan betisnya),” kata pak Habibie dalam satu obrolan kenangan di Harris Hotel Batam, beberapa tahun sebelum kepergiannya.
Sementara orang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan nama Cina Kebun sebagian besar adalah imigran dari dataran Tiongkok yang menetap di pedalaman hutan dan membuka perkebunan karet, gambir, hingga merica.
Selain sebagai nelayan, sebagian penduduk menebangi hutan kayu bakau dan mengolah kayunya menjadi arang. Kayu arang olahan penduduk Batam bernilai ekonomis tinggi dan sangat laku di Singapura. Akhirnya kayu arang tersebut menjadi salah satu komoditas yang dijual ke Singapura. Penjualan arang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.
Oleh warga Singapura, arang digunakan untuk bahan bakar saat memasak. Biasanya arang yang dibuat oleh warga Batam dibawa oleh tauke arang dengan menggunakan kapal kayu. Bahkan karena laris, dalam sehari tauke arang bisa bolak-balik Batam-Singapura.
Interaksi dan hubungan dagang antara masyarakat pesisir di sekitar teluk Belian Batam dengan Singapura, juga bisa dilihat dari temuan batu-batu Bata tempo dulu produksi Singapura di sekitar dapur arang di Ulu Relai.
“Nah, yang itu Kumbang Menteduh, kita ke sana”, ujar pak Basri sambil kemudian mengarahkan ketintingnya ke sebuah lokasi di seberang Ulu Relai.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com