Dengan mengakses situs GoWest.ID, anda setuju dengan kebijakan privasi dan ketentuan penggunaannya.
Setuju
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
    ReportaseSimak lebih lanjut
    Seorang Warga Tiban Kecewa, Rumahnya Sudah Lunas Ditempeli Stiker Kredit Menunggak
    9 jam lalu
    Disperindag Batam Sidak ke Usaha Laundry yang Gunakan Gas Elpiji Bersubsidi
    10 jam lalu
    Pelabuhan Selat Lampa Siap Jadi Pintu Gerbang Ekspor-Impor di Natuna
    22 jam lalu
    DPRD Kepri Setujui Ranperda Perubahan APBD 2025
    23 jam lalu
    Kebakaran Rumah di Jalan Pramuka Tanjungpinang, Diduga Akibat Korsleting Listrik
    23 jam lalu
  • Ragam
    RagamSimak lebih lanjut
    Belangkas, Maskot dan Logo Pekan Olahraga Kota Batam VII
    10 jam lalu
    Meningkatnya Kasus Diabetes di Kalangan Usia Muda
    2 hari lalu
    Pekan Olahraga kota Batam Kembali Digelar
    3 hari lalu
    Lomba Gerak Jalan Beregu HUT RI ke-80 di Batam
    3 hari lalu
    Delapan Karakter Unik Singapura
    6 hari lalu
  • Data
    DataSimak lebih lanjut
    4
    Belangkas (Kepiting tapal kuda)
    10 jam lalu
    Pulau Mubut Darat, Batam
    3 hari lalu
    Kompleks Makam Raja Abdurrahman
    3 minggu lalu
    Makam Raja Haji Fisabilillah
    1 bulan lalu
    Andy Liany (Juli Hendri bin Saleh Rachim)
    1 bulan lalu
  • Program
    ProgramSimak lebih lanjut
    #Full Hendrik; Pujakesuma di DPRD Batam
    1 bulan lalu
    #ComingSoon Hendrik; Pujakesuma di DPRD Batam
    1 bulan lalu
    #Full Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait
    2 bulan lalu
    Pelayanan Publik BP Batam : Ngobrol Bareng Deputi VI, Ariastuty Sirait #ComingSoon
    2 bulan lalu
    Ngobrol Everywhere | Bicara Pelayanan Umum BP Batam Bersama Ariastuty Sirait
    2 bulan lalu
TELUSUR
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Notifikasi Simak lebih lanjut
Aa
Aa
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
  • Ragam
  • Program
  • Data
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Sudah Punya Akun di GoWest.ID? Sign In
Ikuti Kami
  • Advertorial
© 2025 Indonesia Multimedia GoWest. All Rights Reserved.
Serial

Menyisir Teluk Belian dengan Ketinting

Kumbang Menteduh di Tepi Zaman (Bagian 2)

Editor Admin 5 bulan lalu 851 disimak
Gedung-gedung tinggi di Batam Centre, dilihat dari perairan Belian. © F. Bintoro Suryo

BANYAK perkembangan seiring kemajuan zaman. Tapi, sebagian warga di sini ada yang masih mempertahankan cara hidup tradisional yang bergantung dari laut. Mereka jadi nelayan jaring di laut, menebar bubu (perangkap, pen), juga menggunakan keramba untuk kegiatan budidaya ikan.

Oleh : Bintoro Suryo


PENGGUNAAN keramba, jadi cara lain yang efektif untuk menangkap ikan. Jenis Keramba apung yang dibuat warga, memudahkan mereka berpindah – pindah lokasi. Keramba menjadi simbol kearifan lokal, menawarkan cara yang berkelanjutan untuk menjaga ekosistem laut sambil mencari nafkah.

“Tunggu di sini dulu, saya ambil perahunya”, kata pak Basri begitu kami tiba di pinggir muara sungai Kelembak.

Ia kemudian menarik sebuah perahu kecil berbahan fiberglass dari deretan perahu-perahu nelayan yang kebanyak dari bahan kayu di sana. Setelah menaikinya, pak Basri menggunakan kayu panjang seperti galah untuk mengarahkannya ke lokasi kami berempat berdiri.

Pak Basri sedang mengarahkan perahunya di muara sungai Kelembak. © F. Bintoro Suryo

“Ini mesinnya masih handal, tak kalah lah dengan mesin-mesin yang baru,” kata pak Basri sambil menunjuk mesin perahu ketinting yang dipasang di perahu fiberglass-nya.

Ketinting adalah istilah yang populer untuk menyebut sampan atau perahu kecil yang biasa digunakan para nelayan di perairan pesisir laut hingga sungai di berbagai wilayah di Indonesia. Perahu ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan atau sebagai sarana transportasi harian di sekitar perairan. 

Pada umumnya, ketinting memiliki desain yang khas dengan bentuk badan perahu yang pipih dan lancip pada kedua ujungnya. Ukuran perahu ini bervariasi. Umumnya memiliki panjang sekitar 6-8 meter dengan lebar sekitar 1-2 meter. 

Di bagian tengah perahu terdapat tempat duduk untuk penumpang atau nelayan. Selain itu, perahu ketinting juga dilengkapi dengan tiang dan layar yang digunakan untuk mengarahkan arah perahu saat berlayar. Tapi yang dibawa pak Basri ini polos saja, hanya mesin yang menempel di bagian belakang perahu.

Perahu nelayan di kampung Kelembak, Nongsa. © F. Pardomuan

Selain sebagai sarana transportasi harian  untuk berpindah tempat atau menangkap ikan, ketinting juga kerap kali digunakan sebagai tempat beristirahat atau tempat tinggal sementara nelayan. 

Ketinting sendiri merupakan salah satu jenis perahu tradisional yang banyak digunakan oleh masyarakat nelayan di Indonesia, khususnya di pesisir perairan laut.

Saat digunakan sebagai sarana transportasi, perahu ketinting dapat membawa penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan ketika digunakan untuk menangkap ikan, perahu ini dilengkapi dengan alat tangkap seperti jaring atau pancing.

Perahu atau sampan model ini, menggunakan motor luar dengan poros panjang, dipasang di sisinya dan dapat dibenamkan ke dalam air atau diangkat ke permukaan air.

“Nah, ayolah naik. Mumpung masih pagi, air masih pasang”, ajak pak Basri pada kami.

Sania naik terlebih dulu, disusul Yodha, Domu dan saya yang terakhir. Untuk keseimbangan perahu, kami membagi beban sama rata : Sania di depan buritan perahu, Domu di posisi agak ke tengah, saya dan Yodha yang berada persis di depan pak Basri yang akan mengemudikan ketinting dari bagian belakangnya.

Dengan kayu galah, pak Basri kemudian mengarahkan lagi ketinting kecilnya agak lebih ke tengah muara sungai, sekitar 10-an meter, kemudian mulai menghidupkan mesin.

Mesin yang menempel di perahu pak Basri bermerk Honda. Sepertinya itu mesin yang sudah lama sekali. Suaranya keras saat dihidupkan dengan cara diputar di bagian rotor mesin.

Perlahan, perahu mulai membelah muara sungai, mengarah ke perairan yang berhadapan dengan pusat pemerintahan Batam di Batam Centre.

Gedung-gedung tinggi di Batam Centre, dilihat dari perairan Belian. © F. Bintoro Suryo

“Kalau pakai perahu begini, sampai kemana saja biasanya pak Basri?” tanya saya separuh berteriak, berusaha mengimbangi suara mesin ketintingnya yang begitu keras.

“Ke dapur arang sana, kadang ke Nongsa, Ocarina juga, cari kerang Kupang”, jawab pak Basri sambil terus mengemudi.

Ada beberapa Kelong dan keramba apung yang kami temui di sekitar teluk Belian ini. Rata-rata dikelola mandiri oleh warga. Kelong dan keramba itu bisa dipindahkan fleksibel, menyesuaikan musim, cuaca dan kebiasaan migrasi ikan-ikan di sekitar perairan ini.

Ikan – ikan hasil tangkapan di sekitar perairan Belian. © F. Bintoro Suryo

Teluk Belian sejatinya teluk tenang. Gelombang laut pasti ada, tapi warga yang beraktifitas di sini, relatif terlindung dalam bentang alam yang menjorok ke darat itu. Tak heran, banyak pemukiman lama warga pesisir di sekitar sini, saat mereka masih begitu bergantung pada kehidupan laut tempo dulu. Selain kampung Nongsa, ada Bakauserip, Senggunung yang kini sepi, kampung Terih, Kelembak hingga kampung Belian yang terletak di seberangnya. Kampung lain yang sudah ditinggalkan karena zaman yang berganti adalah Kumbang Menteduh.

Sementara dapur arang yang disebut pak Basri, adalah sebuah lokasi kecil di ujung sungai kecil lain di wilayah ini. Beberapa orang lama di Batam biasa menyebutnya Ulu Relai, hulu sungai Relai. Ada beberapa kepala keluarga yang masih mendiaminya hingga sekarang. Mereka beraktifitas sebagai nelayan di sekitar perairan Teluk Belian hingga mengupayakan pembuatan arang dari beberapa kubah tungku yang disebut dapur arang itu.

Pak Basri dan Sania di lokasi Dapur Arang Ulu Relai, Nongsa. © F. Pardomuan

Saya mengenal salah satu di antaranya. Pak Jumali, warga asal Selayar, Sulawesi Selatan. Ia sudah mendiami wilayah itu sejak tahun 1978. Pak Jumali tinggal bersama isterinya yang merupakan orang asli Kepulauan Riau dari suku laut.

Beberapa tahun lalu, saya, Domu dan rekan saya Usvim Varadilla menyinggahinya. Ia tinggal di rumah kayu yang sederhana, persis di sisi muara sungai Relai. Ada dua tungku arang yang dikelola. Yang satu berukuran besar dan yang lain lebih kecil. Ia biasa mendapatkan bahan baku untuk pembuatan arangnya dari hutan bakau yang ada di sekitarnya.

“Tapi tak bisa seperti dulu lagi, kita harus benar-benar pilih kayu yang bisa kita pakai untuk arang, yang tidak menyebabkan penggundulan. Sudah ada larangannya, paling setahun dua kali saja bakarnya (di dapur arang yang dikelolanya, pen)”, kata pak Jumali suatu ketika ke kami.

Usaha pembuatan arang melalui tungku-tungku arang seperti itu, marak dilakukan warga yang mendiami wilayah kepulauan seperti Batam, tempo dulu. Itu jadi seperti industri tradisional. Mereka mengolah bahan baku kayu bakau menjadi lebih bernilai ekonomi, sebagai arang. Hasilnya diekspor ke Singapura. Ini hilirisasi tempo dulu dan benar-benar dilakukan kaum tempatan, bukan asing.

“Ke Singapur, dulu masih gampang. Bawa dari sini, ada tauke yang menampung. Sekarang susah”, kata pak Jumali.

Aturan batas negara, keimigrasian hingga lingkungan hidup, perlahan membuat industri dapur-dapur arang di Kepulauan Riau, termasuk Batam makin mati suri. Termasuk yang dikelola pak Jumali ini.

“Kalau sekarang, paling bawa ke Jodoh atau kapling (Nongsa, pen). Tak banyak lagi lah bakarnya. Harian saya melaut”, lanjut pria yang memiliki postur kekar walau usia sudah memasuki 70-an tahun.

Dapur arang yang digunakan berbentuk seperti kubah, terbuat dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa. Berukuran tinggi sekitar 5 meter dengan luas mencapai 25 meter persegi, bahkan ada yang lebih besar lagi. Dapur Arang seperti itu bisa digunakan untuk membakar kayu bakau hingga kapasitas 30 ton dan diubah menjadi arang. Hutan bakau yang tumbuh sumbur di sepanjang pesisir Batam menjadi berkah bagi penduduk tempatan di masa lalu.

Pada masa lampau penduduk Batam biasa mencukupi kebutuhan mereka dengan menangkap ikan. Selain itu mereka berdagang, mencari kayu, membuat tembikar, dan sebagainya. Transaksi ekonomi dan hubungan sosial terjalin melalui jalur laut. Daratan Batam yang lebih menjorok ke dalam, masih belantara. Tak heran, pak Habibie, ketua Otorita Batam kedua yang punya pengaruh besar terhadap perubahan pulau ini hingga sekarang menjelma jadi pulau industri yang metropolis, menyebut Batam dulu cuma hutan.

“Hutan semua, itu ular (sanca, pen) sebesar-besar ini (sambil memegang lengan dan betisnya),” kata pak Habibie dalam satu obrolan kenangan di Harris Hotel Batam, beberapa tahun sebelum kepergiannya.

Sementara orang Tionghoa yang dikenal dengan sebutan nama Cina Kebun sebagian besar adalah imigran dari dataran Tiongkok yang menetap di pedalaman hutan dan membuka perkebunan karet, gambir, hingga merica.

Selain sebagai nelayan, sebagian penduduk menebangi hutan kayu bakau dan mengolah kayunya menjadi arang. Kayu arang olahan penduduk Batam bernilai ekonomis tinggi dan sangat laku di Singapura. Akhirnya kayu arang tersebut menjadi salah satu komoditas yang dijual ke Singapura. Penjualan arang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Oleh warga Singapura, arang digunakan untuk bahan bakar saat memasak. Biasanya arang yang dibuat oleh warga Batam dibawa oleh tauke arang dengan menggunakan kapal kayu. Bahkan karena laris, dalam sehari tauke arang bisa bolak-balik Batam-Singapura.

Interaksi dan hubungan dagang antara masyarakat pesisir di sekitar teluk Belian Batam dengan Singapura, juga bisa dilihat dari temuan batu-batu Bata tempo dulu produksi Singapura di sekitar dapur arang di Ulu Relai.

Sania dan Yodha di Ulu Relai. © F. Pardomuan.

“Nah, yang itu Kumbang Menteduh, kita ke sana”, ujar pak Basri sambil kemudian mengarahkan ketintingnya ke sebuah lokasi di seberang Ulu Relai.

(*)

Bersambung, Selanjutnya : "Ketam, Kupang dan Keramba Apung yang Jadi Tumpuan"
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com

Kaitan batam, cerita, History, Kelembak, nongsa, sejarah, Ulu relai
Admin 23 Maret 2025 23 Maret 2025
Apa yang anda pikirkan
Suka sekali0
Sedih0
Gembira0
Tal peduli0
Marah0
Masa bodoh0
Geli0
Artikel Sebelumnya Rumah Susun Mukakuning Batam
Artikel Selanjutnya Migrant Care Temukan 3.238 Nama Ganda di DPT Johor Bahru
1 Komentar
  • Ping-balik: Kampung Kupu-kupu dan Sekolah para Intelijen yang Mangkrak - GoWest.ID

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

APA YANG BARU?

Seorang Warga Tiban Kecewa, Rumahnya Sudah Lunas Ditempeli Stiker Kredit Menunggak
Artikel 9 jam lalu 93 disimak
Disperindag Batam Sidak ke Usaha Laundry yang Gunakan Gas Elpiji Bersubsidi
Artikel 10 jam lalu 94 disimak
Belangkas (Kepiting tapal kuda)
Rupa 10 jam lalu 140 disimak
Belangkas, Maskot dan Logo Pekan Olahraga Kota Batam VII
Sports 10 jam lalu 129 disimak
Pelabuhan Selat Lampa Siap Jadi Pintu Gerbang Ekspor-Impor di Natuna
Artikel 22 jam lalu 176 disimak

POPULER PEKAN INI

Kecelakaan di Jalan Sudirman, Seorang Ibu Rumah Tangga Meninggal Dunia
Artikel 4 hari lalu 534 disimak
Walau Belum Punya NIK, Dinkes Batam Jamin Akses Kesehatan bagi Bayi dan Balita
Artikel 4 hari lalu 351 disimak
Hanya 9 dari 653 UMKM Lolos Bantuan Subsidi Bunga 0%
Artikel 6 hari lalu 326 disimak
Jaga Kualitas Air Baku Waduk Muka Kuning, Ditpam BP Batam Tutup Akses Telaga Bidadari
Artikel 2 hari lalu 306 disimak
Delapan Karakter Unik Singapura
Catatan Netizen 6 hari lalu 299 disimak
- Pariwara -
Ad imageAd image
about us

Kami berusaha menjadi CITIZEN yang netral dan objektif dalam menyampaikan pandangan serta pikiran tentang apapun di dunia ini.

  • Privacy Policy
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
Ikuti Kami
© Indonesia Multimedia GoWest 2025. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?