Siapelah agaknya Dermawan yang nak bantu perbaiki surau kami ini ya..!?
KALIMAT tanya di atas sepertinya bisa menjadi kesimpulan gundahnya hati seorang Netizen Batam yang memiliki nama Imbalo Imam Sakti. Seorang pensiunan pegawai Pertamina yang kini banyak aktif dalam kegiatan dibidang Sosial, Pendidikan dan syiar agama Islam.
Tulisanya sangat menarik seputar cerita membangun sebuah Surau (tempat ibadah umat Islam) disebuah perkampungan tua disalahsatu pulau diwilayah kota Batam, kami kutip dan kami sajikan dalam rubrik Catatan Netizen untuk anda.
—————-
SEJAK pak Kosot meninggal dunia, lokasi tanah kebun yang ditempat tinggali anak dan cucunya telah dibagi-bagi. Setelah itu sebagian pula dijual oleh waris warisnya.
Lokasi tempat tinggal itu entah sudah berapa generasi ditempati mereka jauh sebelum Indonesia wujud lagi. Apatah lagi Batam Rempang Galang belum dikembangkan dan dikenal orang seperti sekarang ini.
Mereka suku asli yang mendiami hutan hutan yang ada khususnya di daerah Rempang. Tepatnya di hulu Sungai Sadap, hilir sungai itu airnya sudah asin bertemu dengan Laut Cate. Cate adalah satu perkampungan awal, yang berada di Pulau Rempang.
Rangkaian tujuh pulau di hubungkan dengan enam jembatan, tiga pulau lumayan besar yaitu pulau Batam di awal, pulau Rempang ditengah dan pulau Galang di akhir, jadilah terkenal hingga sekarang dengan sebutan BARELANG.
Belasan tahun lalu aku dikenalkan dengan keluarga pak Kosot, generasi terakhir suku hutan yang tinggal di hulu sungai itu, oleh Haji Sulaiman, mantan Lurah diwilayah itu. Dulu wilayah itu masuk wilayah Bintan, Tanjung Pinang.
Tak jelas agama yang dianut suku Darat ini semacam suku Kubu di Sumatera sana. Sebagian ada yang mengaku Islam, sebagian ada yang tak kenal agama, ada pula masih Budha dan agama lainnya.
Disitu kami dirikan sebuah surau kecil ukuran 5 x 5 meter. Dan bantuan dari lembaga AMCF juga ditempatkan seorang Dai (pendakwah agama Islam). Dapatlah anak cucu pak Kosot dan warga sekitar belajar mengaji di surau itu.
Berjalan waktu Dai ustadz kecik yang punya ijazah sarjana ini, diterima kerja menjadi guru honorer di Sekolah Negeri di pulau lain, gaji pendapatan yang diterimanya pula tiga kali dari uang yang diterimanya dari Lembaga AMCF.
Tak ada lah lagi yang mengenalkan dan belajar agama kepada mereka. Hingga isteri dan pak Kosot yang bernama setelah Islam itu, Abdul Manan, meninggal dunia. Sebagian anak anaknya pun meninggal juga.
Surau itu pun nyaris tak pernah dimasuki lagi, lagian pula air agak susah harus dipompa dari sumur yang dibuat dekat pinggir sungai Sadap. Tangki air tandon isi 1.000 liter pun sudah hilang entah kamana tak ada yang tahu.
Tinggal lah merana surau yang kami bangun sekitar belasan tahun yang lalu itu tak terawat. Karena anak cucunya pula sudah ada yang meninggal dan ada pula bekerja di lain tempat.
Tertatih tatih pak Lamat putra ke dua pak Kosot (usia sekitar 60 an) menemui kami tengah hari itu. Kulihat rumput sekitar halaman surau itu sudah dipotong pendek, sebelumnya semak belukar hingga kedalam ruang tempat sholat.
Ada kesempatan dari Batam aku acap mampir ke Sungai Sadap, terkadang kusalami pak Lamat sedikit uang untuk membersihkan halaman surau itu.
Surau itu atap dan rangka atapnya sudah lapuk, lantai keramik 30 x 30 cm itu sudah pecah-pecah ditumbuhi rumput. Daun pintu dan jendela sudah entah kemana melayang. Plang nama surau itupun sudah raib tak tentu rimba.
“Isteri saya matanya buta.” ujar pak Lamat menjelaskan. Pak Lamat tak mungkin tau mata isterinya kena Katarak, dia pun tak tahu.
“Tanah bagian saya dah di jual untuk biaya isteri berobat” katanya.
Kini ia tinggal disatu pertapakan rumah dan sedikit halaman untuk ditanami nya pucuk ubi dan cabai.
Terlihat mertuanya yang sepuh sedang memetik pucuk ubi pesanan pengepul. Satu kantong kresek, agak kepenatan dia terduduk direrumputan, iba hati melihatnya.
Tiba-tiba terdengar lengkingan keras, dan dibalas pula oleh pak Lamat dengan lengkingan yang sama. Agak terkejut pula kami disitu saling pandang.
Sebentar saya nak kerumah dulu ya, ujar pak Lamat bergegas pulang kerumahnya.
Tak lama setelah itu pak Lamat datang lagi berjumpa kami. Isteri saya memanggil ujarnya.
Lumayan jauh jarak kami dengan rumah pak Lamat. Tetapi suara lengkingan itu cukup keras terdengar.
Ada apa tanyaku. Kucing nya yang selalu digendong dan menemani wanita buta itu tak nampak jadi dia tolong carikan, jawab pak Lamat.
Hanya kucing itulah temannya dirumah gubuk hasil bedah rumah enam tahun silam yang menemaninya selama pak Lamat keluar rumah bekerja serabutan.
“Kami pulang dulu ya pak Lamat” ucapku sambil kami bersalaman dengan lelaki yang tak bisa baca tulis itu. Selain itupun, ia belum pandai melaksanakan sholat.
Tanah subur sekitar perkampungan itu telah digarap oleh investor nanam buah naga, kebun sayur semangka pohon pisang dan macam jenis tanaman lainnya, traktor, becko dan lori mundar mandir dijalan samping surau itu.
Pesanku pada pak Lamat, “tolong wakaf tanah untuk lokasi surau dari pak Kosot, ayah awaktu jangan sampai kena jual pulak ya..
Pak Lamat tersenyum mendengarnya.
Itu yang saya khawatirkan kalau surau ini rubuh rata dengan tanah, ade lah kena ambil orang lokasinya ditanam buah naga.
Alahai.. teruknya… hilang pula wakaf mendiang tu. (*)
Seperti yang ditulis Imbalo Imam Sakti, dalam Akun Facebook Imbalo Namaku