“Awalnya, orang Melayu berasal dari pulau Sumatra. Mereka tinggal di sebuah wilayah pedalaman, di perbatasan Minangkabau, dekat sebuah gunung yang disebut Maha Meroe, dan di tepi Sungai Malaijoe. Sebuah wilayah yang penduduknya masih disebut dengan nama Malaijoe, dapat ditemukan di tempat itu.”
…
“Kesetiaan orang Melayu kepada raja-raja yang telah dikalahkan dan mengikuti mereka dalam pelarian, memerlukan penjelasan tersendiri. Fenomena ini mungkin terlihat aneh. Saya akan menyimpulkannya.” (C. Van Angelbeek, 1819)
Oleh: Bintoro Suryo
Asal Mula Penduduk
ORANG Melayu secara umum dapat ditemukan tinggal dan bermigrasi di hampir semua pulau besar di Kepulauan Riouw Lingga ini. Namun, di pulau ini, beberapa dari mereka merupakan pengecualian. Sebagian warga yang tinggal di pulau Lingga dapat dianggap sebagai penduduk asli pulau ini. Mereka berasal dari dan, boleh dikatakan, merupakan sisa-sisa koloni pertama atau koloni induk dari bangsa ini di masa lalu yang telah ada sejak sebelum masa kesultanan Melayu.
Lingga, jika dilihat dari sudut pandang ini, sangat layak mendapatkan perhatian kita, meskipun pulau ini tidak memiliki kepentingan besar bagi pengetahuan umum. Untuk memberikan alasan tentang perpindahan bangsa Melayu ini, kami akan menceritakan sejarahnya secara singkat.
Awalnya, orang Melayu berasal dari pulau Sumatra. Mereka tinggal di sebuah wilayah pedalaman, di perbatasan Minangkabau, dekat sebuah gunung yang disebut Maha Meroe, dan di tepi Sungai Malaijoe. Sebuah wilayah yang penduduknya masih disebut dengan nama Malaijoe, dapat ditemukan di tempat itu hingga hari ini (saat catatan dibuat oleh Angelbeek pada 1819, pen.)
Sebagian dari bangsa ini meninggalkan tempat itu sekitar pertengahan abad ke-12 Masehi, di bawah pimpinan Kepala Suku bernama Demang Lebar Daun dan seseorang bernama Sri Tri Boewana (Sang Nila Utama, pen), dengan tujuan untuk menetap di wilayah lain.
Sri Tri Boewana dikatakan sebagai keturunan Iskandar Dzul Karnain (Alexander Agung) yang, ketika muncul di tengah-tengah bangsa itu, segera diangkat menjadi raja oleh Demang Lebar Daun.

‘Sedjarah Malaijoe‘, sebuah buku yang berisi tentang kisah awal bangsa Melayu dan telah saya konsultasikan, terutama tentang topik ini, tidak memberikan alasan tentang pengangkatan tersebut, selain karena asal keturunan Sri Tri Boewana. Tidak ada informasi lain tentang hal tersebut.
Saya menduga bahwa Sri Tri Boewana adalah seorang penjelajah yang telah memimpin sebuah kelompok dimana mereka ingin melepaskan diri dari pengaruh dan kekuasaan Minangkabau yang saat itu merupakan kerajaan terkuat di seluruh Sumatra.
Pertimbangan berikut telah membawa saya pada dugaan ini:
Minangkabau adalah sebuah kerajaan di bagian tengah Sumatra, yang dulunya begitu kuat dan makmur sehingga menyebut dirinya sebagai kerajaan ketiga di dunia, setelah kerajaan Sultan Turki dan Kaisar Cina. Namun, sejak itu, kerajaan tersebut telah mengalami kemunduran dan kini telah jatuh ke dalam keadaan yang tidak berarti.
Sekarang telah terbukti, meskipun orang Melayu di Johor tidak secara umum mengakui asal usul mereka, kerajaan Johor Pahang Riouw Lingga ini, tidak bisa tidak, berasal dari keturunannya.
Ada kesamaan bahasa yang digunakan di sana. Termasuk juga adat dan karakter penduduknya dengan orang Melayu saat ini. Nama “Orang Malaijoe” (bangsa Melayu), berasal dari nama Sungai Malaijoe, di mana asal usul bangsa ini berasal.
Tentang arti kata “Malaijoe“, ada beberapa dugaan yang telah dibuat. Beberapa penulis mengartikan bahwa kata itu berarti “cepat” atau “bersegera“. Namun, mereka tampaknya tidak ingat bahwa kata itu bukan “Maladjoe“, tetapi “Malaijoe“, yang memiliki arti yang sangat berbeda. “Malaijoe” memiliki arti “mengering” atau “mengalir“.
Kata itu, menurut saya, merujuk pada aliran air sungai, dan dengan cara yang sederhana namun sangat alami, menjadi nama sungai itu sendiri. Arti sebenarnya dari “Orang Malaijoe” adalah “bangsa dari air yang mengalir”.
Orang Melayu, yang umumnya tidak terlalu mendalam dalam berpikir, menafsirkan kata “Malaijoe” dengan cara berikut: kata itu, kata mereka, berarti “menunjukkan diri rendah hati dan sederhana. Seperti bunga liar yang tidak dapat menahan sinar matahari dan menundukkan kepala. Berdasarkan ini, “Orang Malaijoe” harus berarti “manusia yang rendah hati dan sederhana“.
Meskipun penafsiran kata “Malaijoe” dalam arti “mengering” adalah benar, tidak perlu dibantah bahwa ini tidak dapat menjadi etimologi kata “Orang Malaijoe“. Karena, tidak mungkin bahwa sebuah bangsa dalam masa pertumbuhan dan masa kanak-kanak sebagai peradaban yang akan datang, punya ide untuk menyebut diri mereka sebagai “yang rendah hati dan sederhana“. Juga tidak dapat diasumsikan bahwa bangsa itu dapat memperoleh nama yang begitu mulia dari kelompok warga lainnya yang cenderung masih liar dan sering kali mengambil sikap memusuhi mereka.
Namun, saya harus melanjutkan cerita tentang perpindahan bangsa ini untuk lebih membuktikan ketergantungan bangsa Melayu pada Minangkabau. Catatan saya, gelar “Demang“, yang digunakan oleh Pangeran Lebar Daun, adalah gelar seorang kepala bawahan, yang berarti “Gubernur” atau “Penguasa Wilayah“.
Kata “Demang” sebenarnya adalah kata Jawa. Apakah gelar “Demang” digunakan di Minangkabau, atau bagaimana Pangeran Lebar Daun bisa memperoleh gelar itu? Sulit untuk dikatakan karena perlu penelusuran lebih jauh.
Sri Tri Boewana dan Demang Lebar Daun (yang kemudian menjadi ayah mertua Sri Tri Boewana, karena dia telah menikahkan putrinya dengan Sri Tri Boewana), kemudian berlayar dengan sejumlah besar orang-orangnya, menyusuri sungai tempat asalnya dan meninggalkan pulau Sumatra.
Setelah menghadapi badai, mereka akhirnya tiba di sebuah pulau yang terletak dekat dengan Semenanjung. Di sana, sebuah bandar baru didirikan, yang diberi nama Singapura. Dua kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti “kota singa“.
Dalam perjalanan ke Semenanjung, Sri Tri Boewana juga mengunjungi pulau Bintan. Pada saat itu, telah ada sebuah kerajaan di sana. Pimpinannya seorang ratu, yang menyambut baik kedatangan rombongan Sri Tri Boewana. Ratu di pulau Bintan juga membantu dalam pembangunan bandar baru di pulau Singapura dan mengirim sejumlah rakyatnya ke sana untuk tujuan tersebut.
Tidak diketahui dari mana penduduk dan ratu di pulau Bintan berasal. Sejarah Melayu tidak memberikan penjelasan sedikit pun tentang hal ini. Sejauh yang saya ketahui, tidak ada penulis tentang Kepulauan Hindia yang, mencoba menyelidiki dan menjelaskan hal tersebut.
Kemungkinan besar, kerajaan yang pernah terdapat di pulau Bintan itu merupakan bagian dari sebuah koloni Hindu yang mungkin berasal dari Jawa.
Pulau Bintan pada masa lalu, diperintah oleh raja-raja Hindu dan memiliki pengaruh besar pada seluruh Kepulauan Hindia. Penduduknya telah mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Mereka mengembangkan seni dan ilmu pengetahuan dengan hasil yang baik. Terutama arsitektur dan patung, seperti yang dibuktikan oleh sisa-sisa yang masih ada di sana.
Mengenai kesimpulan Angelbeek tentang asal mula penduduk di pulau Bintan bersama seorang ratunya yang diduga berasal dari Jawa, sejalan dengan hasil penelitian seorang Kontroleur Belanda, J.G. Schot bertahun-tahun kemudian. Schot sempat melakukan perjalanan ilmiah ke sejumlah wilayah di pulau itu dengan ditemani YamTuan Muda Riouw saat itu, Raja Muhammad Yusuf sekitar tahun 1858. Catatannya akan disajikan dalam artikel terpisah.

Setelah kematian Sri Tri Boewana, putranya Padoeka Pakerma Wiera dipilih sebagai pengganti. Ia menikah dengan cucu perempuan Ratu Bintan. Setelah pemerintahannya yang singkat, ia kemudian digantikan oleh Parameswara.
Ibu kota pemerintahan Melayu yang dibangun oleh Tri Boewana, tetap berada di Singapura hingga satu abad berikutnya. Kerajaan itu menjadi sangat terkenal di kalangan semua bangsa di kepulauan Nusantara. Terutama menarik perhatian Bitara atau Raja Majapahit, sebuah kerajaan di pulau Jawa.
Raja Majapahit kemudian memutuskan untuk menguasai Singapura dan mengirim pasukan ke sana sekitar tahun 1250.
Sejarah Jawa mengatakan bahwa ekspedisi penaklukan itu dilakukan karena pembajakan yang dilakukan oleh orang Melayu. Tetapi dalam buku ‘Sedjarah Malaijoe‘ menyatakan bahwa hal ini dilakukan karena kecemburuan atas kekuatan dan kemakmuran kerajaan baru di pulau Singapura tersebut. Apa pun itu, ekspedisi Bitara Majapahit berhasil menaklukkan Singapura.
Dalam kronik sejarah Melayu seperti tertera di buku The History of Malaya A.D. 1400-1959, Parameswara disebutkan merupakan seorang bangsawan asal Palembang yang melarikan diri ke Singapura. Di negeri Singa itu, ia menggulingkan kekuasaan Raja Singapura dan mengambilalih kekuasaan, sebelum akhirnya wilayah Singapura diserang oleh Majapahit. Sementara catatan Tome Pires, seorang penjelajah asal Portugis dalam dokumennya : "Suma Oriental", kekuasaan Parameswara di Singapura digulingkan oleh serangan kerajaan Siam karena Raja Singapura yang dibunuhnya, merupakan menantu kerajaan tersebut. Apakah serangan oleh Majapahit dan kerajaan Siam pada masa kekuasaan Parameswara adalah gelombang serangan yang sama? Masih perlu diteliti lebih jauh.
Singapura jatuh ke tangan orang Jawa, dan rajanya terpaksa melarikan diri ke barat yang diikuti oleh sebagian besar rakyatnya. Rakyat Singapura perlu mengikuti pelarian sang Raja untuk menghindari perbudakan yang menanti mereka jika tetap bertahan di sana.
Rombongan raja dan rakyatnya itu, kemudian memilih tempat tinggal baru; di tepi sungai dekat selat laut antara semenanjung dan pulau Sumatra. Mereka menamakan tempat tinggal baru tersebut sebagai: Malaka.
Kemudian, ada beberapa perpindahan penduduk dari Singapura ke banyak pulau di kepulauan ini, serta ke bagian lain di daratan semenanjung. Orang Melayu menetap di mana saja mereka datang di sepanjang pantai di sana. Keberadaan mereka masih dapat ditemukan di sana hingga hari ini (saat catatan Angelbeek ditulis, pen).

Di Malaka, Parameswara yang setelah memeluk agama Islam, mengambil gelar Sultan Iskandar Syah. Pada masa pemerintahannya, Sultan itu mengambil alih kepemilikan pulau-pulau Bintan dan Lingga sekitar tahun 1276.
Sementara itu, Bandar di Malaka segera menjelma menjadi kota perdagangan yang makmur. Banyak bangsa-bangsa utama di Asia Selatan yang berdagang di sana. Mereka menukar produk yang berasal dari Asia dan Eropa dengan rempah-rempah, emas, dan batu mulia India.
Dalam catatan saya, bandar di Malaka saat itu telah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi ketika Portugis mengambil alih pada tahun 1511.
Penyerangan oleh Portugis terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah. Ia terpaksa melarikan diri dari Malaka dan mengungsi ke pulau Bintan. Di kemudian hari, kesultanan baru penerus Kerajaan Malaka, berdiri di Johor.

Johor tetap menjadi tempat tinggal raja-raja Melayu untuk waktu yang lama, tetapi perang dengan Portugis dan kemudian dengan sultan Aceh, membawa kota ini ke ambang kehancuran. Kedekatan dengan orang Eropa, pertama Portugis dan kemudian Belanda, sering menyebabkan kekhawatiran. Meskipun Belanda telah menjadi sekutu sultan Johor untuk waktu yang lama; keadaan ini menyebabkan pada awal abad ke-18, ibu kota pemerintahan Johor dipindahkan secara permanen ke Riouw.
Pusat Pemerintahan di Lingga
PADA tahun 1783, perang dengan Belanda pecah karena perilaku ambisius Raja Haji, wakil raja Bugis, yang, berdasarkan perjanjian antara bangsanya dan sultan Melayu, memerintah di Riouw. Hal itu memaksa sultan Mahmud Syah III yang saat itu memerintah, untuk menetap dengan rakyatnya di pulau Lingga yang sudah dihuni kelompok masyarakat lain. Sebagian besar penduduk aslinya, kemudian meninggalkan pulau Lingga ketika sultan dan rakyatnya tiba. Akan saya jelaskan nanti.
Dari pulau Lingga ini, ia kemudian memerintah negerinya. Sama seperti saat di Johor sebelumnya, Lingga menjadi tempat tinggal raja-raja Melayu.

Johor pada masa perpindahan sultan ke Lingga saat itu, telah jatuh ke dalam kemerosotan. Banyak pendatang asal Bugis yang telah menggantikan penduduk Melayu sebelumnya yang berhijrah mengikuti sultan mereka ke Lingga.
Jadi, itulah keadaan perpindahan bangsa Melayu ini. Kita melihat bahwa bangsa ini telah membangun banyak bandar, dan bandar-bandar itu telah dihancurkan oleh musuh-musuh mereka. Tetapi, perlu diingat bahwa bandar-bandar yang dibangun mereka umumnya terbuat dari bahan-bahan ringan, jarang dari batu dan kapur.
Bandar-bandar yang dibangun bangsa ini, dibangun dalam waktu yang sangat singkat, dan setelah ditaklukkan, juga dapat dihancurkan dalam sekejap.
Kesetiaan orang Melayu kepada raja-raja yang telah dikalahkan dan mengikuti mereka dalam pelarian, memerlukan penjelasan tersendiri. Fenomena ini mungkin terlihat aneh. Saya akan menyimpulkannya:
Di kalangan bangsa-bangsa di kepulauan ini, ada kebiasaan untuk menganggap penduduk bandar atau wilayah yang telah ditaklukkan, sebagai budak dan memperlakukan mereka sebagai orang suruhan. Perang-perang terakhir di negeri Siam terhadap beberapa raja di Semenanjung Melayu, membuktikan bahwa hal ini masih terjadi.
Jadi, untuk menghindari perbudakan dan penderitaan yang terkait, orang Melayu tidak bisa melakukan apa-apa selain tetap setia kepada raja mereka dan berbagi nasib dengannya dalam pelarian.
(*)
Bersambung
Sebelumnya : “Pulau Lingga dan Penduduknya: Catatan C. Van Angelbeek 1819” (Bagian 1)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com