DUA hari paska insiden penggusuran rumah warga di Kampung Seranggong, Kelurahan Sadai, Batam, sejumlah warga masih terlihat bertahan di sana.
Warung yang terletak persis di belakang musola kampung ini masih nampak terbuka, sesekali terlihat seorang wanita pemilik warung melayani warga yang berbelanja.
Tidak jauh dari sana, beberapa pekerja tengah membangun pagar. Menempel lempengan seng spandek di tiang setinggi kepala orang dewasa, seng berwarna hijau tersebut sudah mengitari sebagian besar kawasan ini.
Hanya beberapa bagian saja yang dibiarkan terbuka, untuk memudahkan warga yang akan melintas keluar masuk kawasan yang sebagian rumahnya telah hancur tak beraturan.
Memasuki kawasan musola yang berjarak sekitar 20 langkah dari warung, nampak beberapa warga tengah santai. Mereka duduk persis di beranda musola.
Ada yang membolak-balikan lembaran koran, sepertinya mencari sambungan berita yang telah selesai dibaca pada halaman sebelumnya. Yang lainnya berkumpul di bagian tengah beranda.
Memandang adegan video pada layar ponsel pintar yang tengah diputar. Tidak jelas apa isinya, namun suara ponsel itu cukup lantang, menggambarkan suasana keriuhan.
Di bagian kiri musola, berdiri bangunan tanpa dinding, diapit tempok setinggi pinggang, isinya ternyata makam. Hanya ada 13 makam di sana.
Dua buah makam terlihat mencolok, keduanya disekat menjadi satu, terpisah diantara 11 makam lain.
Di dua makam tersebut, tertera nama Ibrahim bin Utu Halus wafat tahun 1983 dan Sitti Fatimah binti Abdullah wafat 1976. Dari para warga, diketahui kedua makam ini adalah orang pertama yang mendiami kawasan Kampung Seranggong yang kini terancam hilang.
“Yang lain itu anak cucunya,” kata Subroto, warga yang menikah dengan salah satu cucu mendiang pasangan ini.
Di tengah dirinya menjelaskan keberadaan makam dan pohon-pohon tua yang menandakan bukti eksistensi Kampung Seranggong sebagai kampung tua, terselip jelas kekhawatiran di wajahnya. Begitu juga dengan warga lain yang ikut dalam perbincangan kami.
Bagaimana tidak, kebenaran yang diyakini pihak perusahaan akan wilayah tersebut, bahkan sampai menganggap makam-makam ini tidak sesuai dengan fakta yang disampaikan warga.
Dengan mata berkaca-kaca, Subroto mengaku tak habis pikir pembenaran itu. Ia bahkan mempersilakan pihak perusahaan untuk membuktikan sendiri dengan membongkar makam-makam ini. Walaupun ia berharap itu tidak sampai dilakukan.
Asro, warga lain yang ikut bersuara diantara keluh kesah warga lain, bertutur akan kegalauannya. Duduk persis di samping makam ini, ia mengaku tak lelap tidur malam tadi.
Sambil mengusir gangguan nyamuk diantara nyenyak tidur anaknya yang masih kecil, Asro menangis. Tidak tahu kemana akan pergi jika nantinya penggusuran tidak diurungkan.
Ia tertunduk, duduk dengan sebatang rokok yang tidak ia nyalakan. Entah karena lupa atau memang larut dalam kebimbangan.
Mengalihkan suasana sedihnya, Asro berujar, tidak ada sesuatu yang benar-benar penting dalam obrolan mereka sedari tadi. Hanya berusaha tegar dan berharap ada solusi yang bisa memastikan Kampung Seranggong tetap ada.
Terkait dengan proses penggusuran tiba-tiba dua hari sebelumnya, tidak banyak yang bersuara. Namun terlihat jelas kalau mereka tidak ingin itu terulang. Beberapa ada yang hanya menggeleng, sementara yang lainnya menyunggingkan sedikit sisa senyumnya.
Dari posisi kami duduk berbincang, masih berdiri dua rumah yang masih berdiri persis di depannya, berjarak sekitar 30 meter. Lebih jauh ke depan, terlihat reruntuhan bangunan bekas pembongkaran.
Di sampingnya terpancang pagar spandek dengan pintu besi di satu sisi persis di pinggir jalan.
Di bagian kiri musala, bangunan rumah warga juga masih berdiri, lengkap dengan gantungan jemuran di bagian depan rumah tersebut.
Di antara kami, sesekali melintas warga lain dengan motor matik. Menyapa kami yang tengah berkumpul. Terasa riuh ketika ada yang melintas, semua menyaut dengan nada menggoda, walaupun mereka tengah berduka.
Dalam pertemuan perwakilan warga, pihak perusahaan, dan Pemerintah Kota (Pemko) Batam pada Jumat (10/1) pukul 14.00 WIB hari ini. Warga hanya meminta satu hal, mereka berharap tanah leluhur dengan segala situs yang mendukungnya ini tidak hilang.
*(bob/GoWestId)