SUARA mesin boat menderu pelan. Kami memang tidak ingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Pak Madi ingin membawa kami ke lokasi jala pantai yang dipasangnya.
Oleh : Bintoro Suryo
IA menempatkan jala sepanjang kurang lebih 30 meter di sisi hutan bakau yang masih tersisa di kawasan ini. Kondisi pasang tinggi air laut sekarang, membuat jala pantai pak Madi hanya terlihat ujung-ujungnya saja, terkait dengan tonggak-tonggak kayu yang menjaganya agar tidak hanyut.
“Jala-jala ini saya beli di Jodoh (Sei Jodoh, pen). Sekilo harganya Rp.300 ribu. Sepanjang ini butuh 10 kilo,” kata pak Madi sambil mengemudi di belakang boatnya.
Pulau Sekenah yang disebut pak Madi, sekarang dihuni 3 Kepala Keluarga (KK) saja. Sama seperti pulau Traling yang terletak di hadapan, dahulu pulau itu cukup banyak dihuni orang. 3 KK tersisa di sana sekarang, masih berkait saudara satu sama lainnya.
Ada sepasang suami istri tua berusia 85 dan 78 tahun, anak dan suaminya serta sepasang muda dengan satu anak yang merupakan cucu dan cicit dari suami istri lansia tersebut.
Menjelajahi garis tengah pulau Traling, dari satu sisi ke sisi lainnya dengan berjalan kaki, kami cuma memerlukan waktu kurang lebih 30 menit.
Di separuh ruas jalannya, sudah terbentang paving-paving blok. Namun sayang, sekarang sudah tertutup banyak ilalang. Jalan yang dibangun oleh Pemerintah kota Batam itu, tidak pernah selesai dikerjakan. Warga yang mendiami, sudah meninggalkan pulau kecil tersebut.
(*)
Selesai
Sebelumnya : Pulau – Pulau Kecil yang Ditinggalkan Penduduknya (2)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Videography : Domu, Yodha K. Nusantara
Host dalam cerita : Rizka Arsynta
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com