WAJAHNYA familiar di layar kaca dan layar lebar dengan peran-peran antagonis yang dimainkannya.
Suaranya serak dan berat. Wajahnya garang, seakan selalu marah. Ia adalah Torro Margens, aktor yang dikenal masyarakat sebagai spesialis karakter antagonis sejak 1970-an.
Torro meninggal dunia di usia 68. Jumat (4/1/2018) pukul 00.45 WIB. Ia mengembuskan napas terakhir di RSUD Syamsudin SH, Sukabumi, Jawa Barat.
Kabar duka ini dilansir unggahan anaknya, Toma Margens, melalui akun Instagram @tomamargens seperti dilansir dari Antara.
“Minta maaf atas semua kesalahan ayah @torromargens86 ya teman-teman. Ayah jam 00.45 tadi sudah tenang dalam tidurnya, enggak ngerasain sakit lagi. Maafin atas semua kesalahannya biar beliau tenang menuju sisi-Nya. Amin,” tulis Toma.
Torro meninggal karena penyakit infeksi lambung. Jenazahnya disemayamkan di Perumahan Asri Village, Sukabumi dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Taman Bahagia, Sukabumi, pada Jumat siang (4/1).
Tentang Toro Margens
Torro lahir dengan nama Sutoro Margono di Paduraksa, Pemalang, Jawa Tengah, pada 5 Juli 1950.
Ia aktif berakting sejak remaja, bahkan turut mendirikan Teater Remaja Jakarta di Direktorat Kesenian dan Kebudayaan (Pemda DKI Jakarta) pada 1969.
Dilansir dari FilmIndonesia.or.id, Torro sudah membintangi 50 judul film. Akting pertamanya muncul dalam film Neraka Perempuan (1974) yang juga dibintangi oleh Dicky Zulkarnaen, Jeffry Sani, Tatiek Tito, Ully Artha, dan Ruth Pelupessy.
Jika membaca sinopsis film-film yang dibintangi Torro; ia kerap menjadi preman, orang dengan masa lalu kelam, dan orang bersifat kejam. Ia hampir selalu jadi musuh karakter utama; alias peran antagonis. Saking identiknya Torro dengan karakter antagonis, ia pernah dipukuli penggemarnya sendiri.
“Di mal pernah ada orang yang nyamperin saya terus nabok. Saya kaget, tapi habis itu orangnya kenalan dan foto bareng sama saya. Alasannya karena peran antagonisnya yang dia lihat dalam film bagus. Jadi kesal banget,” ujar Torro di laman Tribunnews pada 21/9/2010.
Torro menganggap hal itu sebagai pengalaman. Ia pun tak kapok menjadi orang jahat.
“Nggak apa-apa, image aku peran antagonis. Dalam film ada yang baik, ada yang jahat. Kalau baik semua, siapa yang mau memerankan yang jahat.
“Pendalaman antagonis karena jam terbang cukup lama. Sampai saya pernah dapat dua tahun berturut-turut menjadi peran antagonis,” jelas Torro.
Selain identik dengan tokoh jahat, Torro sempat beberapa kali duduk di kursi sutradara. Fillm yang pernah dibesutnya antara lain, Cinta Berdarah (1989), Prabu Anglingdarma (1990), Sepasang Mata Maut (1989) dan Saur Sepuh V (1992). Para pemain favoritnya antara lain Barry Prima, Raja Emma, Kiki Fatmala, dan Ayu Azhari.
Saat industri perfilman Indonesia mati suri pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Torro banting setir ke industri televisi. Ia membintangi berbagai sinetron seperti Cinta Tak Pernah Salah (2000) dan Bayangan Adinda (2003). Tentu saja Torro tetap memainkan karakter antagonis.
Selain antagonis, wajah garang Torro membuatnya dipercaya MNC TV (saat itu masih bernama TPI) untuk menjadi pembawa acara program uji nyali Gentayangan. Acara ini identik dengan kata Uka-uka, salah satu bagian dari Gentayangan.
Pada 2003, Torro kembali ke layar lebar lewat film gabungan animasi-live action berjudul Janus: Prajurit Terakhir. Ia kemudian vakum dari dunia layar lebar selama tiga tahun sebelum kembali dalam 9 Naga(2006).
Hingga akhir hayatnya, Torro masih aktif main film. Torro sempat bermain dalam Night Bus yang memenangi Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2017. Film terakhirnya yang sudah tayang di bioskop adalah Love for Sale.
Mengenai karier aktingnya yang konsisten dan terus eksis dalam jangka waktu panjang, Torro pernah mengatakan, “Meski sudah tua aku masih belajar akting, itulah kuncinya.”
Selamat jalan Torro, beristirahatlah dengan tenang.
Sumber : Film Indonesia / Antara / Beritagar / Tribunnews