ANGIN Utara yang berhembus cukup kencang membawa kesulitan tersendiri bagi aktivitas nelayan masyarakat di pesisir Batam. Kondisi tersebut diperparah dengan mulai munculnya limbah minyak hitam yang mengotori laut, bahkan sampai ke kampung-kampung yang ada di pesisir Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) ini.
Di perairan Kelurahan Rempang Cate sendiri, limbah dalam bentuk gumpalan minyak hitam yang mengapung dan menempel di alat tangkap nelayan hingga sampai ke bibir pantai di pemukiman ini mulai terlihat sejak tiga hari belakangan. Kondisi ini menghambat ruang gerak nelayan yang memang sudah kesulitan dengan kondisi cuaca di musim Utara yang kurang bersahabat.
“Sejak tiga hari sudah banyak minyak hitam, kita ke laut pasti kena minyak hitam, kotor semua pokoknya. Ikan tak ada karena laut banyak minyak, kelong (alat tangkap) rusak juga karena minyak hitam lekat di jaring,” kata Jupri, warga Kampung Monggak, Kelurahan Rempang Cate saat ditemui di kampungnya pada Selasa (4/2).
Minyak hitam yang menghantui nelayan dan masyarakat pesisir kali ini, diakui Jupri, terlihat cukup banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan lebih buruk lagi, mengingat hembusan angin Utara masih akan terus terjadi hingga akhir Februari 2020 mendatang.
Ia dan nelayan lain, hanya bisa pasrah dan membersihkan limbah ini seadanya. Sambil berharap tidak ada lagi limbah minyak susulan yang tentu akan sangat merugikan nelayan dan lingkungan laut, tempat masyarakat bergantung untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Berharap Dukungan Pemerintah
Afrizal, nelayan lain di Kelurahan Rempang Cate, berharap pemerintah bisa turun langsung untuk menghadirkan kemudahan bagi masyarakat, paling tidak bersama-sama masyarakat membersihkan limbah yang telah menghitamkan bagian-bagian pantai.
Ia juga berharap kondisi ini bisa mendapat perhatian lebih karena kejadian ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun, walaupun memang intensitas limbah yang memberi dampak kepada masyarakat tidak sama setiap tahunnya. Akan tetapi, dampak hadirnya limbah ini tetap mengakibatkan kerugian yang waktu pemulihannya tidak sebentar.
“Kalau sudah sampai di dekat rumah begini, itu di laut pasti lebih banyak lagi, yang sudah lekat itu lama baru bisa hilang. Pertama keras, lama-lama jadi cair dan kotor, kalau kena baju tak bisa hilang,” kata Afrizal.
Pantauan di lapangan, limbah minyak hitam yang telah menggumpal, menyatu dengan dedaunan dan sampah lainnya terlihat di sepanjang bibir pantai di kampong Monggak ini. Gumpalan-gumpalan minyak yang mengental setebal sekitar 2 sampai 3 Centimeter ini tertahan di bebatuan, beberapa diantaranya ada yang mulai mencair karena terkena panas matahari. Limbah yang telah meleleh ini kemudian memenuhi bagian lain kawasan hingga menempel di bagian bebatuan yang lebih kecil dan padat.
Warga yang beraktivitas, tidak bisa menghindar. Bagian kaki, tangan, dan pakaian mereka pasti akan menjadi hitam ketika mereka melaut di saat limbah-limbah ini menghampar di wilayah kerja mereka tersebut.
“Mau macam mana lagi, tiap turun ke laut pasti kotorlah, pas pulang baru bersihkan pakai minyak (Solar),” kata Bakri, nelayan Kampung Monggak yang terpaksa tetap melaut meskipun kawasan laut di wilayahnya terdampak limbah minyak hitam.
*(bob/GoWestId)