Keluarga Adan pun mengucap ulang Dua kalimat Syahadat
————
Oleh : Imbalo Iman Sakti
ALI, ponakanku guru olahraga SMP 41 Batam yang selalu kuajak ke pulau-pulau dan ke pemukiman suku laut itu, di dalam mobil, sepanjang keliling Batam, kuminta mengajari dan mengulang ulang bacaan syahadatain.
Mereka bertiga ; Adan, Anil dan Ali duduk di tengah bertiga, aku nyetir dan pak Jantan duduk di depan samping kiriku.
Setengah jam sebelum pukul enam kami tiba di Gundap. Rencana, Adan sekeluarga petang itu nak disyahadatkan di surau Taqwa. Jadi isteri Adan yang bernama Abiah belum dikasih tahu.
“Nanti sudah sampai rumah saya beritahu,” ujar Adan.
Di kampung Tanjung Gundap itu ada puluhan keluarga suku laut, lima keluarga yang Islam. Sudah berkumpul semua di surau kecil itu.
“Agus dan keluarganya ke Nanga pak”, ujar Sarima isteri Susanto.
Susantonya pun tak datang ke surau. Biasanya lelaki yang bisa azan ini rajin datang bila kuajak.
Sunil yang baru masuk Islam dua pekan sebelumnya pun tak bisa datang. Begitupun anak Adan yang paling tua lelaki abang Anil tak nampak.
Tak lama datang Adan, Abiah dan tiga anak perempuannya ke surau. Ada Anil juga.
Kusapa Abiah, kutanyakan bang Adan lakinya sudah bilang apa.
Sepertinya dia masih belum mengerti akan dibawa ke surau.

Kalau empat perempuan tetangganya yang muslim sudah pakai kerudung, Abiah pula pakai baju androk biasa tak berkerudung, dan sebuah rantai cukup besar tergantung di lehernya.
Kujelaskan lagi setelah kami semua berada di dalam surau. Isteri Adan kak Abiah ini, tersenyum mengangguk setelah isteri Bakar, kak Piah menjelaskan dengan bahasa yang agak kurang kumengerti, bahasa melayu orang suku laut.
“Ikhlas, siap?” kataku mengulangi lagi.

“Suami mike nak masuk Islam, bagaimana mike?” kira kira begitu agaknya penjelasan kak Piah, perempuan Islam paling tua di kampung itu.
Kalung besar yang tadi dipakai oleh kak Abiah isteri bang Adan anak pak Jantan ini, dilepasnya sendiri. Kak Piah, memakaikan mukena telekung warnah putih pemberian kak Rianda dari Indosat.
Aku terharu melihatnya. Tiga anaknya perempuan bang Adan dan kak Abiah dipakaikan oleh kak Sarah, kak Fatiyah, kak Sarimah. Mukena kecil untuk anak anak kiriman pak Zein mantan pengurus dari LPPOM MUI jakarta.

Si Anil, anak bujang Adan dari isteri pertama yang sudah meninggal dunia, sudah bisa pakai sarung kutengok. Kain sarung sumbangan mang Taba Iskandar. Songkoknya yang tadi siang saat sholat asyar yang kuberi masih dipakainya.
Semua ibu-ibu yang hadir dapat seorang satu helai mukena.
“Iya, mukenaku digigit tikus,” ujar kak Sarima sambil tersenyum malu-malu.
Kami melaksanakan sholat magrib, setelah, sebelumnya satu keluarga itu mengucapkan Syahadatain dan artinya. Kami bersalaman, haru bercampur sendu rasanya hati ini.
“Saya tak bisa baca dan menulis tok,” kata Adan padaku, kadang dia panggil aku atok membahasakan anaknya.
Kutanya DR Zenal Satiawan, ustadz asal Bandung yang kukenal lama, alumni Al Azhar Kairo ini sedang berada di Turki memenuhi undangan masyarakat Indonesia di Turki sana.
“Iya, tulisnya.
Abiah menjadi Nurul Abiah artinya Cahaya Semangat.
Adan menjadi Muhammad Adan “Berani” dan Anil yang namanya semula berarti “Sempurna” ditambahi Muhammad. Mereka pun senang dengan nama baru itu.

“Terima kasih semua yang telah menyumbang, terima kasih ustadz Zenal Satiawan.”
Malam itu juga kukabari kepada kepada Zulkarnain Umar, Kepala Kantor Departemen Agama Batam.
“Iya bang,” ujar lelaki yang memanggil ku Abang. Sembari memberikan nomor telpon ka KUA Sagulung tempat sahabat baru itu berada.
Ujar Nuruddin Ka KUA Sagulung ;
“Mereka tak payah nak ulang nikah lagi, nanti kita berikan sertifikat muallaf mereka,” tulisnya.
Doakan saudara, semoga mereka tetap istiqomah…
(*)
Seperti ditulis Imbalo Iman Sakti di akun jejaringnya dan dikirimkan ke GoWest Indonesia