PEMERINTAH Kota Surabaya membuka kembali Kya-Kya sebagai kawasan wisata kuliner malam di Jalan Kembang Jepun. Ini seharusnya juga menjadi bagian dari upaya revitalisasi kawasan Kembang Jepun yang masih dipenuhi bangunan cagar budaya. Sangat disayangkan kalau kawasan dengan bangunan-bangunan lama nan eksotik ini dibiarkan lengang pada malam hari, padahal selain memiliki nilai sejarah juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi apabila dikelola dengan tepat. Contohlah pemerintah Pulau Penang Malaysia yang berhasil mengelola kawasan kota tua mereka sehingga menjadi heritage UNESCO yang mendunia dan menjadi magnet bagi wisatawan.
Revitalisasi Jalan Kembang Jepun membutuhkan narasi yang tepat kenapa ruas jalan ini penting untuk dijadikan kawasan pusaka (heritage) Surabaya. Narasi yang berkembang selama ini adalah nama Kembang Jepun selalu dikaitkan dengan para pelacur dari Jepang atau karayuki-san yang konon dahulu bekerja di tempat-tempat hiburan malam di kawasan ini. Karena itulah kemudian berkembang sebuah teori bahwa nama Kembang Jepun disematkan pada kawasan itu karena terkenalnya para “kembang dari Jepang” itu.
Narasi tersebut disuburkan oleh beberapa karya sastra yang menjadikan Kembang Jepun sebagai latar yang dibangun terkait kehidupan para pelacur Jepang tersebut. Sebut saja Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Juga Remy Silado dalam Kembang Jepun dan Lan Fang dalam Perempuan Kembang Jepun.
Akira Nagazumi dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang menulis bahwa sejak tahun-tahun awal Zaman Meiji banyak orang Jepang yang bermigrasi ke wilayah Hindia Belanda. Mereka datang dengan beragam profesi, termasuk sebagai pelacur dan germo untuk mengadu peruntungannya di sini.
Zaman Meiji berlangsung dari tahun 1868 hingga 1912, tetapi belum jelas kapan para pelacur itu tiba dan menetap di sini. Sri Pangastoeti dalam “Dari Kyuushuu ke Ran’in: Karayuki-san dan Prostitusi Jepang di Indonesia (1885–1920)”, tesis di jurusan sejarah Universitas Gadjah Mada tahun 2007, meneliti keberadaan para pelacur Jepang di wilayah Hindia Belanda tahun 1885 hingga 1920 berdasarkan arsip yang ada. Jadi, tampaknya baru sekitar tahun 1885 itulah para pelacur Jepang itu mulai menetap.
Sri Pangastoeti merujuk pada sebuah catatan dari Muraoka Iheiji, seorang “penyuplai” para pelacur Jepang ke Asia, yang menulis bahwa tahun 1894 ia membawa sekitar 7 atau 8 orang perempuan ke Banjarmasin untuk bekerja di salon potong rambut yang juga menjadi rumah bordil sebagai usaha sampingan, lalu lima bulan kemudian membawa sebagian dari mereka ke Surabaya untuk menjadi penunggu tamu di kedai kopi yang ia bangun di sana.
Ia juga mencatat bahwa sampai tahun 1889 di Surabaya tidak ada rumah bordil Jepang yang resmi, hanya ada 3 orang Jepang yang membuka rumah bordil berkedok kedai kopi dan salon, yaitu Uchida Nanigashi yang mempekerjakan 3 orang karayuki-san, Nampo Nanigashi yang mempekerjakan 4 orang karayuki-san, dan Ito Nanigashi yang mempekerjakan 4 orang karayuki-san. Jadi, sampai tahun 1889 operasi karayuki-san di Surabaya tidaklah semasif yang dituturkan dalam karya-karya sastra sebelumnya, yang seakan-akan menggambarkan Kembang Jepun sebagai Red-light District di Surabaya.
Sementara itu, peta resmi Kota Surabaya yang dibuat tahun 1866 mencantumkan nama Handel Straat sebagai nama jalan yang masih bertahan dalam peta tahun 1905. Tetapi, dalam peta Surabaya tahun 1930 ruas jalan itu sudah dituliskan sebagai Handelstraat Kembang Jepun. Bahkan, dalam peta tahun 1934 hanya nama Jalan Kembang Jepun yang tertulis, begitu juga peta tahun 1935 hingga sekarang.
Nama Handel Straat (Jalan Perniagaan) memang layak disematkan untuk ruas jalan ini. Selain dikenal sebagai kawasan Pecinan, kanan kiri jalan dipenuhi oleh bangunan toko, bank, dan kantor. Semua pelancong yang melewati kawasan ini pasti kagum dengan kesibukan perdagangan sejak dari Jalan Panggung yang dipenuhi dengan aktivitas para pedagang Melayu, Arab, India, dan Tionghoa lalu lanjut ke Handel Straat yang dipenuhi oleh aktivitas para pedagang Tionghoa dan pengusaha Eropa. Inilah penanda dan ciri khas Handel Straat atau Kembang Jepun.
Menariknya, peta Surabaya tahun 1866 yang dibuat oleh T.W.A. Roessner itu secara jelas sudah menulis nama Kembang Djepoen. Yaitu sebagian area Chinesche Kamp di sebelah selatan Handel Straat, sekarang daerah Slompretan dan Bongkaran yang dibatasi oleh Jalan Gula. Artinya pada tahun 1866 nama Kembang Djepoen sudah eksis di sana, padahal Zaman Meiji baru dimulai dua tahun kemudian, apalagi masa datangnya para pelacur Jepang itu diperkirakan baru sekitar tahun 1885.
Informasi lebih tua mengenai nama Kembang Djepoen berasal dari penjelajah terkenal Inggris, Alfred Russel Wallace. Dalam bukunya yang terkenal, The Malay Archipelago, ia menulis bahwa setelah 20 hari berlayar dari Singapura dengan menumpang kapal Kembang Djepoon (Rose of Japan); sebuah kapal milik pedagang Tionghoa, diawaki oleh kru Jawa dan dinakhodai oleh seorang kapten Inggris; maka pada tanggal 13 Juni 1856 kapal berlabuh di Buleleng, Bali. Digunakannya nama Kembang Djepoen sebagai nama kapal milik pedagang Tionghoa memberikan indikasi kuat bahwa nama Kembang Djepoen atau Kembang Jepun memang sudah dikenal luas di tahun 1856, bukan sebagai kawasan hiburan malam dengan pelacur Jepangnya (karena mereka belum bermigrasi ke Surabaya di tahun itu), tetapi sebagai kawasan perdagangan, perbankan, dan jasa yang sangat ramai di masanya.
Bukti tertua yang penulis temukan berasal dari sebuah rancang bangun kota dan lingkungan Surabaya yang dibuat pada Agustus 1821. Rancangan NV Moorberge itu jelas mencantumkan nama Kembang Jepon untuk daerah Pecinan di sebelah timur Jembatan Merah (Roode Brug) di Kali Mas. Jadi, alih-alih terkait dengan pelacur Jepang, nama Kembang Jepun ternyata sudah eksis di tahun 1821.
Mengapa nama Kembang Jepun sudah ada jauh sebelum para pelacur Jepang itu beroperasi di Surabaya? Siauw Giok Tjhan dalam memoarnya Lima Jaman menulis dengan kebanggaan bahwa ia berasal dari daerah Kapasan. Sebagaimana toponimi khas nama-nama wilayah di Indonesia yang terinspirasi oleh tanaman endemik atau kekhasan yang dimilikinya, wilayah itu bernama Kapasan karena dulu banyak tumbuh pohon Kapasan atau Randu.
Daerah Kapasan berlokasi dekat dengan Kembang Jepun. Karena itu, dengan menggunakan logika yang sama, maka penulis menduga bahwa nama Kembang Jepun juga diambil dari nama tanaman yang dulu banyak tumbuh di daerah itu. Tanaman itu bernama Kembang Jepun atau Nerium Oleander, sebuah tanaman dari Afrika Utara yang indah dan cantik tetapi juga mematikan karena getahnya mengandung racun sehingga sampai sekarang masih banyak dipakai orang untuk melakukan bunuh diri.
Lalu apabila asal-usul nama Kembang Jepun sesederhana itu tanpa ada cerita sensasional yang mengaitkannya dengan para “kembang dari Jepang” itu, apakah berarti benar-benar tidak ada karayuki-san di Kembang Jepun?
Ketika meneliti koran-koran berbahasa Belanda akhir abad 19 dan awal abad 20, penulis tidak menjumpai ada artikel yang mengaitkan Kembang Jepun dengan pelacur Jepang. Mereka rata-rata memberitakan ramainya aktivitas bisnis di kawasan tersebut pada siang hari dan ramainya jalan tersebut dengan aktivitas kuliner sebagai hiburan di malam harinya. Bisa jadi karena saat itu masalah pelacuran masih tabu untuk diberitakan, atau praktiknya ada tetapi tidak terang-terangan atau mendominasi di kawasan Kembang Jepun.
Koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 1 Maret 1899 menulis artikel berjudul “De Chineezen te Soerabaja”. Dalam salah satu bagiannya, ia melaporkan, “Siapa pun yang berjalan di Petjinan Koelon (Chineesche voorstraat), Pasar Bong, Bongkaran (Heerenstraat), Panggoeng (Smokkelsteeg), Kembang Djepoen, Singoyoedhan dan Tjantian akan melihat betapa ramainya aktivitas bisnis dan hiburan para Tionghoa di sana dengan banyaknya kantor dan toko, baik kecil, menengah maupun besar yang menjual barang apa saja dengan harga murah sehingga mereka sibuk melayani pembeli bahkan sampai malam.”
John Ingleson dalam bukunya, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (2013) memang secara terang-terangan menulis bahwa Surabaya sebagai kota besar dan kota pelabuhan tentu saja juga bergelut dengan persoalan pelacuran, tetapi ia tidak mencantumkan nama Kembang Jepun sebagai salah satu kawasan pelacuran di Surabaya. Nama-nama kawasan yang disebutnya adalah Banyu Urip, Tandes, Kremil, Bandaran, Sawahan, dan Nyamplungan.
John Ingleson hanya menyebut bahwa memang ada rumah-rumah bordil di pusat kota yang dimiliki oleh orang-orang Cina dan Jepang, mengutip laporan ahli dermatologi Batavia, R.D.G.Ph. Simon, mengenai prostitusi di Hindia Belanda tahun 1939. Tetapi, ia tidak menyebut nama Kembang Jepun di dalamnya. Begitu juga dengan Terence H. Hull, Endang Sulistyaningsih, dan Gavin W. Jones juga tidak menyebutkan nama Kembang Jepun dalam bukunya, Pelacuran di Indonesia: Sejarah danPerkembangannya (1997).
Menariknya, Sri Pangastoeti menulis ada sumber yang mencatat bahwa pada tahun 1894–1895 sudah terdapat rumah-rumah tinggal yang dihuni oleh karayuki-san, yaitu berada di sekitar pelabuhan Tanjung Perak. Tidak semua karayuki-san itu mendapat perlakuan yang buruk, ada pula yang mendapatkan perlakuan relatif baik karena menjadi gundik atau istri simpanan orang Belanda atau Cina. Apalagi ketika pemerintah Hindia Belanda pada 1899 mengeluarkan aturan kependudukan yang menyatakan bahwa penduduk bangsa Jepang sejajar dengan bangsa Eropa di lapis pertama, secara sosial para karayuki-san itu naik kasta.
Berdasarkan laporan tahun 1913, karayuki-san itu akhirnya juga bersikap diskriminatif terhadap para pelanggannya, terutama yang ingin menjadikannya sebagai gundik. Mereka menjadikan orang Eropa sebagai prioritas pertama, lalu orang Cina dan yang terakhir adalah laki-laki pribumi. Seiring dengan pembangunan citra Jepang sebagai negara maju yang sejajar dengan bangsa kulit putih maka pemerintah Jepang menghentikan praktek karayuki-san pada tahun 1920 karena dianggap aib dan mencoreng nama bangsa Jepang.
Hanya Olivier Johannes Raap yang menulis dengan tegas kaitan nama Kembang Jepun dengan pelacur Jepang, dalam bukunya Kota di Djawa Tempo Doeloe (2015). Dengan merujuk pada buku Soerabaja: Beeld van een stad (1994) yang disusun oleh A.C. Broeshart, J.R. van Diessen, R.G. Gill, dan J.P. Zeydner, ia menulis bahwa istilah Kembang Jepun mengacu pada para geisha di sana, karena memang pada awal abad ke-19 banyak pelacur dari Jepang yang bekerja di sekitar daerah sana. Ia juga menulis bahwa di timur Kembang Jepun juga terdapat daerah Cantian, nama geografis yang berkaitan dengan penampilan para pekerja seks yang cantik. Ia merujuk pada buku Oud Soerabaia (1931) tulisan G.H. von Faber bahwa pada 1864 diterapkan sebuah peraturan yang melarang prostitusi di sana.
Von Faber dalam kedua bukunya, baik Oud Soerabaia (1913) maupun Niew Soerabaia (1913) sebenarnya tidak menyebutkan Kembang Jepun sebagai kawasan pelacuran. Tulisan Von Faber menjadi salah satu referensi tulisan John Ingleson bahwa Kampung Bandaran dekat pelabuhan dan di luar benteng Prins Hendrik adalah wilayah pelacuran. Lalu mereka dipindahkan ke wilayah Cantian Lor, Cantian Kidul, Sambongan, Kampung Blakang, Pengampon, Jagalan, Gili, Klimbongan, dan Pabean. Tetapi harap diingat bahwa itu terjadi di tahun 1864 di mana tidak ada hubungannya dengan pelacur Jepang yang baru datang 20-an tahun kemudian. Jadi nama Cantian sebenarnya juga sudah eksis lebih dahulu dan tidak terkait dengan para pelacur yang kemudian dipindahkan di sana pada tahun 1864 itu. Sayangnya, tulisan Broeshart dan kawan-kawan yang kemudian menjadi rujukan Olivier untuk mengaitkan Kembang Jepun dengan para pelacur Jepang itu tidak menunjukkan sumber yang jelas dari mana klaim itu berasal.
Penulis berusaha melacak apakah ada memori kolektif dari para sesepuh di Surabaya mengenai kaitan Kembang Jepun dengan pelacur dari Jepang. Kebetulan ada tetangga penulis yang sudah lanjut usia, mantan pedagang India peranakan kelahiran Bangil tahun 1941 dan sejak remaja pindah ke Surabaya untuk menjalankan usaha toko emas di Jalan Panggung dekat Kembang Jepun. Ia mengatakan bahwa ia sama sekali tidak pernah mengetahui dari orangtuanya atau mendengar informasi dari para pedagang Tionghoa senior di Jalan Panggung bahwa Kembang Jepun dulunya adalah tempat hiburan malam dengan pelacur Jepang sebagai primadonanya. Ia baru mendengar informasi tersebut dari penulis.
Memang masih tidak tertutup kemungkinan bahwa, sebagaimana di kawasan lain di Surabaya, bisa saja ada tempat hiburan malam di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya. Tetapi sampai ditemukan data dan bukti baru yang lebih sahih, maka narasi umum yang mengaitkan nama Kembang Jepun dengan keberadaan para pelacur Jepang tampaknya perlu ditinjau kembali. Bukan karena faktor moral atau hipokrisi, ketimbang membuat narasi yang sensasional walau tidak berdasarkan pada fakta sejarah yang kuat, lebih baik membangun narasi terkait program revitalisasi Kembang Jepun bahwa kawasan itu merupakan pusat perdagangan, perbankan, dan jasa yang ramai di masa lalu dan masih terpelihara sampai masa kini.
Sebagai penutup, penulis menemukan hanya satu iklan di koran yang mengaitkan Kembang Jepun dengan Jepang, yaitu sebuah iklan di Soerabajasch Handelsblad edisi 14 Juni 1882. Iklan itu menyebutkan bahwa toko So Bing Tien di Kembang Jepun menjual boneka Jepang dan kipas khas Jepang. Itu saja.
(*)
Sumber: historia.id