NAMA Ratna Asmara, sutradara perempuan pertama Indonesia menjadi salah satu nama penghargaan pada gelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2022. Penghargaan Ratna Asmara diberikan untuk pemenang Kategori Film Pilihan Penonton. Malam Anugerah Piala Citra FFI 2022 sendiri digelar pada Selasa, 22 November 2022.
“Sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia, sosoknya menginspirasi banyak sineas saat ini. Ia menunjukkan bahwa di zaman apapun, perempuan berhak untuk bebas berkarya,” tulis akun Instagram resmi FFI, @festivalfilmind.
Sebagai sutradara perempuan, nama Ratna Asmara memang cenderung dilupakan oleh insan perfilman. Ratna Asmara lahir dengan nama Suratna pada 1913 di Sawah Lunto, Sumatra Barat. Sejak bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), Ratna telah memiliki bakat sandiwara.
Ratna kemudian bergabung dengan grup tonil pada 1928. Permainannya mendapat sambutan baik dari penonton. Namun, menjadi pemain tonil ternyata bukan hal yang mudah bagi Ratna. Ia mendapat tentangan dari keluarganya.
Menurut majalah Minggu Pagi, 31 Agustus 1952, keluarga Ratna bahkan menghalangi Ratna agar tidak meneruskan menjadi pemain tonil.
“Dan pernah pula Ratna berhubungan dengan kepolisian hingga tiga kali sebagai tindakan yang diambil oleh sanak saudaranya. Tetapi polisi memutuskan bahwa Ratna telah cukup dewasa untuk menentukan langkah-langkah mana yang akan diambilnya,” tulis Minggu Pagi.
Pada 1930, Ratna mendirikan Suhara Opera. Suhara Opera kemudian mengadakan pertunjukan-pertunjukan keliling Jawa. Ketika tampil di Gombong, ia bertemu dengan Abisin Abbas, pemimpin Dardanella, yang lebih dikenal sebagai Andjar Asmara. Andjar menginisiasi penggabungan Suhara Opera dengan Dardanella.
Ratna setuju untuk meleburkan Suhara Opera dan Dardanella. Pemain-pemain Suhara Opera pun bergabung dengan Dardanella namun tetap menggunakan nama Dardanella. Ratna kemudian juga menikah dengan Andjar pada 7 April 1931 dan namanya menjadi Ratna Asmara.
Menurut pengamat film Umi Lestari dalam Ratna Asmara/Suska, Liarsip, dan Saya, pada pertengahan 1930-an, pasangan Ratna dan Andjar mendirikan Bolero. Kemudian bergabung dengan The New Java Industrial Film pada 1940-an dan mendirikan kelompok sandiwara Cahaya Timur pada masa pendudukan Jepang. Pada 1951, mereka mendirikan Asmara Films.
“Petualangan Ratna sebagai pemain sandiwara, pemain film, hingga sutradara film terbentang dari tahun 1950-an. Saat bersama Dardanella, ia kerap membawakan tarian daerah seperti Golek, Serimpi, Penca Minangkabau hingga tarian Papua. Saat bersama Bolero, ia menjadi Sri Panggung,” tulis Umi Lestari.
Pada 1940, Ratna mulai membintangi film. Ia menjadi tokoh utama film Kartinah (1940) dan Ratna Moetoe Manikam (1941). Ia juga membintangi film Noesa Penida (1941), Djauh di Mata (1948), dan Dr. Samsi (1952).
Sebagai sutradara, Ratna mengerjakan film pertamanya, Sedap Malam pada 1950. Sebuah film Indonesia pertama tentang solidaritas eks jugun ianfu, yaitu perempuan yang dipaksa melayani tentara Jepang. Berturut-turut ia kemudian menyutradarai Musim Bunga di Selabintana (1951) dan Dr. Samsi (1952).
Pasca bercerai dengan Andjar Asmara, Ratna menikah dengan Suska, seorang petinggi di kementerian. Ia kemudian mendirikan Ratna Film.
“Ia berkolaborasi dengan Mochtar Lubis dalam film Nelayan, dan ditugaskan oleh Perusahaan Film Nasional untuk membuat film Dewi dan Pemilihan Umum, sebuah komedi namun terselip tata cara untuk memilih sebagai jalan penerangan menuju Pemilihan Umum 1955,” tulis Umi Lestari.
Film Sedap Malam (1950) menjadikannya sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia. Hingga akhir abad ke-20, hanya terdapat empat sutradara perempuan. Tiga lainnya adalah Chitra Dewi, Sofia W.D., dan Ida Farida. Ratna Asmara meninggal dunia pada 10 Agustus 1968.
(*)
Sumber: historia.id