Dalam catatan seorang pengusaha etnis Tionghoa bernama Tong Djoe, ia memperoleh mandat dari pemerintah Indonesia untuk menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok di wilayah perairan Kepulauan Riau pada masa pemerintah orde baru berkuasa, sekitar akhir dekade 1970-an.
Oleh : Bintoro Suryo
CARANYA dengan membuat toko terapung bergerak untuk penyaluran bahan kebutuhan pokok masyarakat di pulau-pulau sekitar perairan Kepulauan Riau, khususnya di sekitar perairan Batam dengan sentra di pulau Buluh.
Ia mengunakan kapal motor ukuran 200 dwt bantuan pemerintah dengan suplai barang dari negeri tetangga, Singapura.
Dalam sebuah catatannya ia menyebut penduduk di sekitar perairan Batam pada akhir dekade 70-an telah mencapai 22.263 jiwa. Ia menyalurkan beras sebesar 222.640 kg., garam 6.679 kg., gula sebanyak 26.718 kg., minyak goreng sebanyak 4.452 kg., ikan asin sebanyak 11.132 kg., sabun cuci batang sebanyak 66.722 batang, minyak tanah sebanyak 133.584 liter, bahan tekstil kasar sepanjang 267.268 meter dan batik kasar sepanjang 44.526 meter.
————
Seruas jalan yang tidak terlalu lebar di pulau Buluh ini jadi saksi tentang peran tata pemerintahan dan sentra ekonomi di pulau kecil ini pada masa lalu. Kota tua dengan deretan bangunan – bangunan tua. Kebanyakan dimiliki oleh warga etnis Tionghoa.
Sebuah bangunan yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an, masih berdiri kokoh di salah satu ruasnya.
“Itu bangunan sejak zaman Belanda. Untuk administrasi pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini dimiliki warga pulau Buluh dari etnis kita Tionghoa. Masih dirawat”, kata Ambar, seorang warga asli pulau Buluh.
Rizka tertarik menghampirinya. Ia bertanya beberapa hal yang mengganjal di kepala saat melihat kota tua ini.
“Dulu di sini ada bioskop juga, seperti twenty one, gitu. Namanya Capitol. Jadi, selain sebagai sentra ekonomi, pulau Buluh juga jadi pusat keramaian dan hiburan bagi warga pulau di perairan sekitar Batam”, lanjutnya.
Kedua tungkai kaki pria itu tidak sempurna. Mengecil, seperti bekas terkena polio. Walau begitu, ia tetap bersemangat mendorong gerobak berisi bungkusan sate-sate ayam dan beberapa makanan lainnya.
Ambar ternyata seorang pedagang makanan keliling di kota tua pada pulau kecil ini. Menurutnya, saat ini pulau Buluh sudah jauh tertinggal dibanding Batam yang mulai dibangun sejak awal dekade 70-an. Listrik misalnya. Di pulau Buluh sampai saat ini, warganya masih lebih banyak mengandalkan aliran listrik yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Aliran listrik PLN sudah masuk ke pulau ini. Namun hanya mengaliri kebutuhan listrik warga mulai malam hingga pagi hari.
“Itu juga bukan dari PLN Batam. Tapi dari PLN Tanjungpinang (PT. PLN Persero, pen)”, terangnya.
Aliran listrik dari PT. PLN Persero Tanjungpinang juga menyuplai beberapa pulau kecil lain di sekitar Batam. Seperti di Bulang Lintang, Sambu dan Belakangpadang.
Kondisi seperti itu cukup menyulitkan aktifitas warga di sini. Terutama untuk pelayanan fasilitas umum seperti Puskesmas. Untuk pelayanan kesehatan termasuk di unit Gawat Darurat, pengelola Puskesmas terpaksa menggunakan mesin genset sendiri.
“Di sini pelayanan listrik bukan dari PLN di Batam, tapi dari PLN Tanjungpinang. Pakai mesin diesel. Tapi kekuatannya tidak besar, jadi hanya hidup pada malam hari dan hari Minggu. Justeru saat Puskesmas tidak beroperasi “, kata kepala Puskesmas di pulau Buluh, drg Nicko Pramudya sambil tersenyum kecut.
Untuk operasional harian Puskesmas di sini, pihaknya terpaksa mengoperasikan mesin diesel sendiri secara 24 jam.
Pulau Sarat Sejarah
DARI dokumentasi foto dan video dari udara yang direkam rekan saya, Domu, terlihat pulau ini sebenarnya kecil sekali jika dibandingkan Batam. Dari ujung ke ujung, kerapatan rumah warga dan bangunan-bangunan lainnya juga sudah lumayan padat. Hampir tidak ada hutan yang tersisa.
Secara tata pemerintahan saat ini, pulau Buluh berstatus sebagai ibukota kelurahan dari beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Seperti pulau Boyan, pulau Teluk Sepaku, pulau Tengah dan pulau Bulat. Luas wilayah daratannya sebagai kelurahan sekitar 2,187 km2 dengan luas lautan sekitar 3, 335 km2. Ada 11 RT DAN 3 RW yang ada di sini.
Dinamikanya sebagai sentra ekonomi, sosial dan pemerintahan di wilayah perairan Batam tempo dulu juga bisa disimak dari keberadaan masjid Jami’ Nurul Iman yang sudah dibangun sejak abad 18 silam. Rumah ibadah umat Islam ini diperkirakan berdiri pada tahun 1872. Konstruksi aslinya sudah tidak kelihatan.
Walau begitu, ada dua buah tiang utama di sisi belakang masjid yang dianggap sebagai bagian yang masih tersisa. Sementara bentuk kubahnya, walau mirip dengan Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat yang dibangun tahun 1832,, namun bukan merupakan konstruksi asli. Masjid Jami’ Nurul Iman ini telah mengalami berbagai perombakan dan penambahan luas hingga saat ini.
Kami juga melihat peninggalan lain berupa sumur tua di pulau ini. Dari dindingnya, tertulis bahwa sumur itu dibangun pada tahun 1911 dan sempat menjadi sumber air utama warga di sini. Namun sayang, walau masih ada airnya, sumur itu sudah tidak digunakan lagi oleh warga. Sampah-sampah terlihat di bagian dalamnya.
Sumur tua ini terletak di dalam halaman SMAN 11 pulau Buluh yang dulunya merupakan sebuah sekolah Tionghoa. Sekolah khusus bagi warga Tionghoa di pulau Buluh itu, kabarnya dibangun pada tahun 1937.
Rizka dan Domu sempat berkeliling di lokasi yang kini berubah jadi gedung SMAN 11 tersebut. Sementara saya yang kelelahan, memilih beristirahat sambil minum kopi di sebuah kedai tua milik warga Tionghoa, tak jauh dari lokasi.
Yang tertinggal dari bangunan sekolah Tionghoa tersebut menurut mereka hanyalah tangga utama sepanjang enam tingkat dengan lebar lebih kurang 30 meter di dekat bangunan baru yang dioperasikan sebagai SMAN 11 tersebut.
Oh ya, kami juga mengunjungi lokasi klenteng tua yang katanya dibangun sejak abad ke-18, sama dengan masjid Jami’ Nurul Iman di pulau ini.
Bangunannya sudah megah sekarang karena mengalami beberapa kali pemugaran.
“Umur klenteng ni sama dengan pohon Ketapang tu”, kata Ayong, orang yang dipercaya menjaga bangunan peribadatan warga Tionghoa tersebut.
Ada sebuah batu besar di bagian dalam bangunan yang disebut merupakan batu yang sama saat awal klenteng itu dibangun ratusan tahun lalu.
Rumah ibadah yang sekarang bernama vihara Samudera Bhakti itu, terletak di pinggir laut. Dari halamannya, kami bisa melihat gunung Bulan yang terletak di pulau hadapannnya. Itu adalah daratan tertinggi yang ada di wilayah perairan Batam dan sekitarnya. Gunung kecil itu berada di pulau Bulan yang kini dikelola secara khusus untuk penangkaran Buaya dan Babi oleh perusahaan grup Salim.
(*)
Bersambung BAGIAN TIGA : Pulau Kecil di Seberang Buluh
Sebelumnya BAGIAN SATU : “Sentra Masa Lalu, ke Kota Tua Bersama Anak Muda”
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com