SEPEKAN terakhir, topik joki skripsi ramai diperbincangkan di jagat maya usai seorang warganet mengungkapkan keterkejutannya saat mengetahui banyaknya orang yang menganggap wajar praktik tersebut. Kegagalan pendidikan karakter disebut pengamat jadi biang kerok normalisasi perjokian.
“Satu hal yang belakangan ini gue syok banget dan jujur baru tahu, itu betapa dinormalisasinya joki.”
Video ungkapan rasa frustrasi Abigail Limuria terhadap praktik joki skripsi yang disebutnya semakin dinormalisasi masyarakat telah disaksikan sedikitnya 10,9 juta kali di X yang sebelumnya bernama Twitter, TikTok dan Instagram, sejak diunggah pertengahan Juli lalu.
“Jadi aku syok banget, ternyata mereka tuh yang pakai jasa joki atau yang kasih jasa joki nggak sadar bahwa itu salah, nipu, bohong,” ungkap Abigail saat dihubungi VOA, Rabu (24/7).
Ia terkejut melihat orang-orang yang terlibat dalam praktik joki secara terang-terangan menceritakan pengalaman mereka di media sosial. “Udah kayak bisnis normal aja,” kata salah satu pendiri platform kurasi berita berbahasa Inggris What Is Up Indonesia? (WIUI) itu.
Definisi joki menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang.
“Apakah kita mau hidup di negara, di mana dokter-dokter kita, insinyur-insinyur kita yang bangun bangunan, pembuat kebijakan publik kita, semuanya tuh sebenarnya pakai joki? Kan nggak mau dong,” imbuh Abigail.
Para Pembela Joki
Dalam kolom komentar Abigail di TikTok, salah satu warganet menulis, “Ini cuma bisnis, ada permintaan, ya gue pasok. Motif dia pakai jasa gue [buat] apa, ya bukan ranah gue lagi.”
Pengguna TikTok lain mengatakan, “Emang Mbaknya mengerjakan murni 100% sendiri? Nggak dibantu teman? Nggak dibantu dosen? Nggak dibantu Google? Sama aja itu joki, bedanya ada yang bayar, ada yang gratis.”
Sementara itu, seorang warganet lain menanggapi, “Memang kenapa kalau joki? Joki itu kan penjual jasa aja, nggak ada bedanya sama penjual jasa lain,” yang kemudian direspons warganet lainnya, “Setuju, Kakak.”
VOA pada Selasa (23/7) menghubungi enam akun Instagram yang menawarkan jasa joki skripsi, yaitu @jokiskripsionline, @joki_skripsiku, @jokitugas.gazz, @pembimbingskripsi.id, @jokiskripsi.nya, dan @jokitugas_jogja, dengan akumulasi jumlah pengikut mencapai sedikitnya 103.100 akun, untuk memahami lebih jauh bisnis yang mereka jalankan. Hanya tiga yang menanggapi pesan VOA, meski tak satu pun yang bersedia diwawancara.
Akun @jokiskripsionline sempat mengatakan, “Kita kasih pendampingan lewat Zoom atau datang langsung ke rumah.” Setelah itu, admin akun tersebut tidak responsif. Akunnya tidak dapat ditemukan per hari Minggu (28/7).
Akun @jokitugas.gazz, yang poster “Melayani Joki Tugas Kedokteran”-nya ditampilkan Abigail untuk dikritisi di Instagram story-nya, sempat berinteraksi dengan VOA untuk menanyakan kritik yang disampaikan warganet terhadap jasa yang ditawarkannya, sebelum berhenti menanggapi pertanyaan VOA. Poster itu, serta beberapa postingan lain di akunnya, tidak dapat ditemukan lagi saat berita ini diturunkan.
Sementara akun @jokitugas_jogja langsung menolak diwawancara, “Maaf belum bisa ya.”
Sedangkan tiga akun lainnya sama sekali tidak menanggapi pesan VOA, dan salah satunya, @pembimbingskripsi.id, sudah tidak dapat ditemukan di Instagram saat berita ini terbit.
Tidak Berintegritas
Praktik joki tugas atau skripsi sudah menjadi rahasia umum, tapi dulu aksi itu masih kental dianggap aib, kata pemerhati sekaligus konsultan pendidikan Ina Liem.
“Paling nggak bedanya dulu itu orang yang pakai joki pasti malu, disembunyi-sembunyikan, karena tahu sebetulnya tidak berintegritas,” ungkap Ina kepada VOA melalui sambungan telepon (24/7).
Pembiaran dan kegagalan pendidikan karakter menjadi penyebab utama merajalelanya joki skripsi, katanya. Mental menerabas, di mana untuk mendapatkan sesuatu seseorang menggunakan jalan pintas, masih sering ia temukan, termasuk dalam praktik “jual-beli kursi” di sekolah favorit, tutur Ina. Keterpaparan secara terus-menerus terhadap praktik curang dapat membuat aksi culas lama-kelamaan terasa lumrah.
Selain itu, sistem pendidikan yang berorientasi pada capaian nilai alih-alih penguasaan ilmu turut memperburuk masalah.
“Pada prinsipnya kan di dunia kerja itu pemberi kerja tidak peduli apa yang kamu ketahui, mereka hanya peduli pada apa yang bisa kamu lakukan. Jadi, percuma hanya nilainya tinggi, tapi begitu diterapkan di dunia kerja dia nggak paham,” lanjut Ina.
Skripsi atau tugas akhir pada esensinya menjadi ajang bagi mahasiswa untuk membuktikan kompetensinya atas bidang yang ia tekuni, dengan mendesmonstrasikan kecakapan menganalisis masalah, menguji teori yang dipelajari, berpikir kreatif, hingga menyusun dan mengomunikasikan gagasan serta solusi, kata pakar pendidikan Totok Soefijanto.
“Nilai yang lebih penting menurut saya adalah etos untuk menghargai kerja keras dan kejujuran, itu sebenarnya,” ungkap Totok kepada VOA, Jumat (26/7). “Kalau nilai kejujuran ini diterabas, misalnya dengan joki tadi, itu kan seperti dia tidak menampilkan dirinya sesuai dengan apa yang ada, kan? […] Memalsukan kompetensi dirinya, memalsukan kemampuan dirinya.”
Langgar Etika dan Hukum
Abigail “mencolek” akun X Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi setelah videonya viral. Akun @Kemdikbud_RI pun lantas membalasnya dengan menyatakan bahwa “Civitas academica dilarang menggunakan joki (jasa orang lain) untuk menyelesaikan tugas dan karya ilmiah karena melanggar etika dan hukum.”
Kementerian mengatakan, penggunaan joki tergolong sebagai plagiarisme, yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika plagiarisme dilakukan untuk memperoleh gelar akademik, selain pencabutan gelar, pengguna jasa joki juga terancam pidana penjara paling lama dua tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta.
“Civitas academica harus menggunakan daya kemampuannya sendiri dalam menunjukkan kapasitas akademiknya,” lanjut akun Kemdikbudristek pada postingan berikutnya. “Bagi warganet yang menemukan praktik plagiarisme/kecurangan akademik, laporkan ke ult.kemdikbud.go.id atau posko-pengaduan.itjen.kemdikbud.go.id @Itjen_Kemdikbud.”
Akun itu menambahkan bahwa beberapa laporan dan aduan terkait praktik perjokian sudah ditangani dan sedang diselidiki Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek.
Sementara itu, dalam artikel HukumOnline Februari lalu, pakar pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menyebut pemberi jasa joki skripsi dapat dijerat Pasal 263 KUHP lama tentang pemalsuan surat, atau Pasal 391 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku tahun 2026, karena skripsi dianggap sebagai surat yang memiliki nilai dan menimbulkan hak baru.
Opsi Selain Skripsi
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Diktiristek Sri Suning Kusumawardani mengatakan fenomena joki skripsi harus dicegah dan tidak dinormalisasi.
“Kita perlu kembali kepada asas penyelenggaraan pendidikan tinggi yang ada pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, bahwa pendidikan tinggi berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan dan keterjangkauan,” ungkap Sri kepada VOA, Sabtu (27/7).
Selain memperkuat penghayatan integritas akademik dalam proses pembelajaran, bentuk evaluasi belajar selain skripsi juga disarankan, kata Sri. Hal itu sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, yang berbunyi, “(a) pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok; atau (b) penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.”
“Kita perlu menguatkan inovasi terhadap tugas akhir dan metode asesmennya,” tambah Sri.
Totok Soefijanto, rektor Akademi Televisi Indonesia yang mengantongi gelar doktor dalam bidang pendidikan dari Boston University, berpandangan serupa. Menurutnya, seiring perkembangan teknologi, mahasiswa mengalami pergeseran karakteristik, seperti pola pikir yang tidak lagi linear, daya konsentrasi yang semakin singkat, sehingga penyesuaian pola pembelajaran seharusnya dilakukan pendidik, bukan pelajar. Harapannya, mahasiswa lebih siap menjalani proses evaluasi belajar apa pun bentuknya.
“Jadi, dari sisi akademia, saya pikir adalah para dosen, profesor itu perlu unlearn dan relearn. Jadi, unlearn praktik-praktik lama, dibuang, nggak belajar itu lagi, tapi relearn, atau [pelajari] nilai-nilai baru, cara-cara baru, teknologi baru, untuk mendeteksi ataupun mengukur kompetensi anak didik,” ungkap Toto.
Sementara langkah-langkah itu dijalankan, Abigail meminta semua pihak agar tidak ragu menegur orang-orang yang terlibat dalam perjokian.
“Soalnya, menurut aku, ketika orang-orang yang waras diam dan ‘ya udah deh,’ itu tuh yang menyebabkan praktik ini jadi semakin dianggap wajar,” pungkasnya.
[rd/ab]