MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan sejauh ini kasus cacar monyet (monkey pox/mpox) yang terdeteksi di Indonesia adalah varian 2B; dan Indonesia tidak akan menutup pintu bagi pendatang.
MENTERI Kesehatan Budi Gunadi menjelaskan, varian baru cacar monyet yang menyebabkan WHO menaikkan status penyakit tersebut menjadi public health emergency of international concern adalah varian baru yang disebut varian 1B, yang memiliki tingkat fatalitas 10 persen. Sedangkan tingkat fatalitas untuk varian 2B mencapai 0,1 persen.
“Varian 1B ini belum menyebar ke mana-mana kecuali dua negara yaitu Swedia dan Thailand yang lainnya di Afrika. Kenapa? Karena mereka juga datang dari Afrika,” ungkap Menkes Budi, usai mengikuti Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (27/8).
Masyarakat diminta Budi untuk selalu waspada, namun juga tidak panik. Mengingat penularan cacar monyet ini tidak semudah COVID-19. Penularan cacar monyet ini katanya 95 persen disebabkan oleh kontak seksual dan umumnya terjadi di kelompok tertentu saja.
Untuk kondisi dan situasi di tanah air sendiri, cacar monyet sudah mulai terdeteksi sejak tahun 2022. Hingga 2024, kata Budi sudah terdeteksi sebanyak 88 kasus dengan varian 2B yang terdapat di Pulau Jawa dan Kepulauan Riau.
“Tapi paling banyak terjadi di tahun 2023 ada sekitar 73 kasus. Di tahun 2024 sendiri itu ada 14 kasus yang kita sudah konfirmasi positif dari awal tahun. Daerahnya semuanya di Jawa plus Kepulauan Riau. Tapi sejak WHO menaikkan kembali statusnya di Agustus 2024, kita ada 11 suspect tapi semuanya negatif. Jadi sesudah di tes PCR, negatif. Dari 88 kasus ini 100 persen sembuh, karena 100 persen mereka adalah variannya 2B, kita sudah genome sequencing semuanya,” jelasnya.

Khusus untuk tahun ini, pemerintah akan mendatangkan 1.600 dosis vaksin cacar monyet yang didatangkan dari Denmark. Tidak seperti vaksin COVID-19, vaksin cacar monyet memang tidak diperuntukkan bagi masyarakat umum, namun bagi kelompok yang berisiko tinggi dan membutuhkannya seperti petugas laboratorium, petugas kesehatan dan lain-lain.
“Memang vaksin ini bukan untuk masyarakat umum, karena penularannya bukan seperti ini (lewat udara) penularannya benar-benar harus ada kontak seksual 95 persen, sama seperti HIV/AIDS. Dan saya rasa tidak akan sebanyak COVID-19 karena penularannya harus ada kontak fisik. Semua yang kita temukan, di Indonesia itu disebabkan adanya kontak fisik,” tuturnya.
Pemerintah pun, katanya belum berencana melakukan pembatasan pengunjung dari negara tertentu meskipun varian 1B sudah menyebar ke Swedia dan Thailand.
“Tidak ada (pembatasan), karena memang WHO juga tidak menganjurkan adanya diskriminasi dari orang-orang yang datang, dan benar pengalaman kita kalau ditutup masuknya bisa dari titik lain juga. Lebih baik adalah surveilansnya ditingkatkan saja,” tambahnya.
Sementara itu, Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan berkembangnya penyakit cacar monyet dari endemik di Afrika menjadi epidemi disebabkan adanya pengabaian terutama dari negara maju yang seakan tidak terlalu peduli dengan penyakit tersebut. Menurutnya, hal ini harus dijadikan pelajaran oleh semua pihak.
Meski begitu, Dicky meyakini sampai saat ini potensi cacar monyet untuk bisa menjadi pandemi sangat kecil kemungkinannya.
“Tentu, kalau bicara potensi pandemi kecil karena apa? Karena ini bukan penyakit baru, vaksin pun yang efektif ada dan penularannya tidak mudah, harus ada kontak erat langsung. Berbeda dengan COVID-19 yang umumnya kalau bicara pandemi sebetulnya dalam sejarahnya kalau pandemi selain penyakitnya baru, ditularkan juga cenderung utamanya melalui udara. Selain itu ada juga yang lewat air, seperti kolera yang menjadi wabah besar,” ungkap Dicky.
Mengingat pergerakan masyarakat secara global sudah sangat masif, masuknya varian cacar monyet 1B ini tinggal menunggu waktu saja. Maka dari itu, pemerintah menurut Dicky harus melakukan berbagai langkah penting untuk mengantisipasi ini seperti menyiapkan alat deteksi, diagnosis serta penangannya dengan baik dan meresponnya dengan cepat agar tidak mudah menyebar di tanah air dan menjadi ancaman bagi kelompok yang paling rawan seperti anak dan ibu hamil.
“Meningkatkan deteksinya, meningkatkan penguatan di pintu masuk, tidak harus ditutup, tetapi juga skriningnya terutama untuk orang-orang yang datang dari negara terdampak dan tentu ini juga harus ditingkatkan dengan penguatan sistem deteksi di dalam negeri terutama pada kelompok yang masuk ke dalam kategori berisiko tinggi seperti laki-laki suka laki-laki, dan penjual dan pembeli seks termasuk ya. Supaya ini bisa menjangkau mereka sehingga tidak makin meluas dan penerapan strategi vaksinasi cincin ini juga penting,” tutupnya.
[gi/ka]