PEMERINTAH menerbitkan peraturan untuk melindungi pejuang lingkungan hidup di Indonesia, serta menyatakan akan memberikan bantuan hukum seandainya mereka mendapat ancaman atau tindakan kekerasan atas perjuangannya.
Beleid yang disahkan pekan lalu tersebut juga menyatakan bahwa pejuang lingkungan hidup tidak dapat dikriminalisasi, digugat, serta ditutut secara hukum pidana maupun perdata atas aktivitas mereka menjaga lingkungan hidup.
Sebenarnya, pejuang lingkungan hidup telah mendapatkan perlindungan untuk kebal gugatan pidana maupun perdata oleh undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terbit pada 2009, namun kali ini pemerintah memperkuatnya dengan aturan tambahan.
Sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup pada Selasa (10/9) mengapresiasi keberadaan peraturan berisi 22 pasal yang diteken Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar tersebut.
Namun mereka meminta pemerintah serius dalam mengimplementasikannya agar persekusi dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup tidak terulang di masa mendatang.
Perlindungan pemerintah terhadap pejuang lingkungan tersebut, termasuk atas tindakan balasan berupa somasi, ancaman tertulis dan lisan, kriminalisasi, serta kekerasan fisik atau psikis yang membahayakan diri, jiwa, dan harta termasuk keluarga.
Sementara ketentuan tidak dapat diproses pidana maupun perdata, menyatakan, “Orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Helmy Mahendra, mengapresiasi keberadan peraturan menteri yang memperketat pelindungan dengan menyebutnya sebagai “Landasan yang baik bagi pembela hak asasi lingkungan.”
Namun, Helmy meminta pemerintah serius dan berkomitmen dalam mengimplementasikan penerapannya, bahkan tak ragu “jemput bola” andaikata telah terdapat aksi balasan terhadap upaya perjuangan lingkungan yang baik dan sehat.
“Yang paling penting adalah bagaimana implementasinya,” kata Helmy kepada BenarNews.
Begitu pula penilaian juru kampanye hutan Greenpeace, Sekar Aji Banjaran, yang menilai inisiatif menerbitkan aturan ini patut diapresiasi, karena pelaksanaan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat menantang.
“Tantangannya nanti diimplementasi, apakah aparat hukum lain mau mendengar posisi menteri lingkungan hidup?” ujar Sekar kepada BenarNews.
Terkait ketentuan pelindungan hukum bagi pejuang lingkungan, pemerintah mensyaratkan seseorang atau kuasa hukumnya harus mengajukan permohonan kepada menteri lingkungan hidup, disertai kronologis tindakan balasan yang telah diterima aktivis lingkungan.
Nantinya, menteri lingkungan hidup atas pertimbangan tim penilai akan memutus apakah pelindungan hukum akan diberikan atau ditolak.
Helmy mengatakan bahwa pemerintah semestiya resposif jika telah ada tindakan balasan, tanpa harus menunggu laporan.
“Peraturan menteri lingkungan hidup ini harus responsif ketika ada upaya pembalasan. Ketika ada tindakan balasan, mekanisme bukan lagi menunggu, tapi harus ‘jemput bola’,” kata Helmy lagi.
Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid mengatakan bahwa aturan ini sebenarnya sudah lama diminta oleh aktivis dan organisasi lingkungan, bahkan sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Menurut Khalisah, salah satu titik kritis dari aturan ini adalah hanya melindungi mereka yang menempuh jalur hukum. Padahal, dalam advokasi lingkungan hidup, dikenal strategi litigasi dan non-litigasi.
“Pejuang lingkungan hidup yang menempuh strategi non litigasi bagaimana?” ujar Khalisah.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Octania Wynn mengatakan meskipun regulasi ini adalah langkah penting perlindungan aktivis, tapi dia menyampaikan beberapa catatan.
Menurut dia, frasa “menempuh cara hukum” pada pasal 1 peraturan tersebut mempersempit definisi siapa saja yang disebut dengan pembela lingkungan. Padahal, praktik pembelaan terhadap lingkungan tidak selalu menggunakan cara hukum, kata Octania.
Dia mencontohkan kasus kriminalisasi Daniel Tangkilisan di Jepara, Jawa Tengah, seorang aktivis yang dihukum 7 bulan penjara.
Daniel dihukum karena dianggap menyebarkan kebencian yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bukan aktivis yang sedang menyelamatkan lingkungan.
“Definisi pembela HAM lingkungan memainkan peran penting untuk melindungi seseorang,” ujar Octania pada BenarNews.
Selain itu, Octania menyebut peraturan ini juga perlu mengatur mekanisme pengujian internal terkait penetapan permohonan pembalasan terhadap pembela HAM lingkungan.
Hal ini disebabkan karena ketiadaan mekanisme pengujian jika tim penilai penanganan tindakan pembalasan tidak berhasil melindungi pembela HAM lingkungan.
“Perlu juga penegasan perlindungan pada pembela HAM lingkungan perempuan, karena dampak kerusakan lingkungan tidak netral gender,” kata Octania.
Daniel Frits merupakan aktivis lingkungan teranyar yang dipidana sepanjang kepemimpinan Jokowi.
Sebelumnya pada September 2017, Hari Budiawan, aktivis yang menolak penambangan emas di Banyuwangi, Jawa Timur, dikriminalisasi dengan tuduhan menyebarluaskan paham komunisme.
Hari, yang akrab disapa Budi Pego, dituduh membentangkan spanduk bergambar serupa palu arit dalam salah satu aksi menolak tambang emas milik PT Merdeka Copper Gold lima bulan sebelumnya.
Mahkamah Agung menambah vonis Hari menjadi empat tahun, setelah sebelumnya Pengadilan Negeri Banyuwangi hanya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara.
Pada Agustus 2017, Tubagus Budhi Firbany yang ditangkap polisi Pulau Bangka usai menentang tambang timah, dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan menganjurkan orang berbuat kejahatan.
Ada pula, Muhammad Sandi yang ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik usai mengadvokasi kerusakan lingkunan menimpa warga desa di Ketapang, Kalimantan Barat pada Mei 2017.
Selain itu, polisi menangkap Jasmin pada November 2019 atas tuduhan merampas kemerdekaan seseorang karena menolak investasi tambang di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
BenarNews menghubungi sejumlah pejabat kementerian lingkungan hidup, termasuk Menteri Siti Nurbaya, terkait alasan pengetatan pelindungan pejuang lingkungan serta tanggapan para aktivis, tapi belum beroleh balasan.