Dengan mengakses situs GoWest.ID, anda setuju dengan kebijakan privasi dan ketentuan penggunaannya.
Setuju
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
    ReportaseSimak lebih lanjut
    Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Gagalkan Keberangkatan Calon Pekerja ke Singapura
    2 jam lalu
    12
    8 Sapi, 23 Kambing di Bida Asri 1 Batam
    3 jam lalu
    Walikota Serahkan Sapi Presiden Prabowo ke Panitia Qurban Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah
    7 jam lalu
    Gandeng BPS RI, BP Batam Upayakan Penyajian Data Akurat dan Berkualitas
    7 jam lalu
    Remaja Perempuan Jadi Korban Asusila di Bintan, Tersangka Pelaku Ditangkap di Batam
    20 jam lalu
  • Ragam
    RagamSimak lebih lanjut
    Perpustakaan dan Pajak Kita
    4 hari lalu
    Pengumuman Kelulusan Siswa SD dan SMP Tanjungpinang Dilakukan Daring
    6 hari lalu
    Bantai Inter Milan 5-0, PSG Raih Gelar Pertama Liga Champions
    6 hari lalu
    Seragam Sekolah Gratis untuk Siswa Baru di Batam
    6 hari lalu
    Digitalisasi Pendidikan: Aplikasi Guru Pintar Mempermudah Belajar di Era Modern
    1 minggu lalu
  • Data
    DataSimak lebih lanjut
    Pulau Combol (Tjombol)
    4 hari lalu
    Pulau Basing, Tanjungpinang
    1 minggu lalu
    Tari Persembahan: Simbol Kehormatan dalam Budaya Melayu
    1 minggu lalu
    Pulau Pemping, Batam
    1 minggu lalu
    Firman Eddy (Bupati Ke-5 Kepulauan Riau)
    2 minggu lalu
  • Program
    ProgramSimak lebih lanjut
    “Segudang Masalah Nelayan di Perairan Teluk Belian” | NGOBROL EVERYWHERE (Full)
    6 bulan lalu
    17
    Ngobrol Everywhere | Nelayan Bengkong dan Segudang Masalahnya
    6 bulan lalu
    Hunting Photo Malam di Washington, DC
    11 bulan lalu
    “Monumen Iwo Jima”
    11 bulan lalu
    #Full “Berkah Qurban di Kandangberkah.id ” | NGOBROL EVERYWHERE ❗
    12 bulan lalu
  • Sudah Punya Akun?
TELUSUR
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Menyimak: Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (XI – XII Selesai)
Sebar
Notifikasi Simak lebih lanjut
Aa
Aa
GoWest.IDGoWest.ID
  • Reportase
  • Ragam
  • Program
  • Data
  • Reportase
    • Artikel
    • Serial
    • In Depth
    • Berita Video
    • Cerita Foto
    • Live!
  • Ragam
    • Budaya
    • Pendidikan
    • Lingkungan
    • Sports
    • Histori
    • Catatan Netizen
  • Data
    • Infrastruktur
    • Industri
    • Statistik
    • Kode Pos
    • Rumah Sakit
    • Rumah Susun
    • Tokoh
    • Wilayah
    • Situs Sejarah
    • Seni
  • Partner
    • VOA Indonesia
    • BenarNews.org
  • Yang Lain
    • Tentang Kami
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Media Siber
Sudah Punya Akun di GoWest.ID? Sign In
Ikuti Kami
  • Advertorial
© 2016 - 2024 Indonesia Multimedia GoWest. All Rights Reserved.
Histori

Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (XI – XII Selesai)

Admin
Editor Admin 2 hari lalu 209 disimak
Sebar
Ilustrasi, © bintorosuryo.comDisediakan oleh GoWest.ID
302
SEBARAN
ShareTweetTelegram

“Jika kita melihat bahwa Sultan dan Raja Muda, dalam kapasitasnya sebagai kepala negeri, adalah pemilik tanah, maka kita akan memahami, mengapa anggota keluarga kerajaan tidak dapat memiliki hak atas tanah. Kecuali jika mereka mengikuti aturan yang sama seperti penduduk pribumi biasa lainnya (rakyat) dan membayar pajak yang ditentukan kepada kepala negeri.”

Daftar Isi
Bagian XIBagian XII

…

Aktifitas ekonomi darat penduduk pribumi di pulau utama seperti Batam, Rempang dan Galang masa itu, lebih banyak dilakukan untuk eksplorasi hasil hutan, mengingat kepadatan penduduk yang jarang.

…

“Penduduk di Selatan pulau Batam dan Kasoe hidup terutama dari keuntungan agar-agar dan penangkapan teripang.” (J.G. Schot, Indische Gids – De Battam Archipel XI – XII, 1883)

Oleh: Bintoro Suryo


PADA dua bagian akhir catatan J.G. Schot tentang Kepulauan Batam yang terbit di majalah Indische Gids 1883, ia mengupas secara khusus aktifitas dan hak-hak ekonomi penduduk pribumi yang ada di wilayah ini. Seperti misalnya tentang hak kepemilikan tanah oleh rakyat pribumi, dan aktifitas ekonomi mereka.

Wilayah pulau-pulau di sekitar pulau utama Batam, Rempang, Galang hingga Bulang, tercatat memiliki dinamika kehidupan penduduk pribumi yang lebih ramai dibanding pulau utama yang didominasi hutan belantara.

Seperti misalnya aktifitas pertanian padi oleh penduduk pribumi, ditemukan Schot telah dilakukan penduduk di sekitar Tjombol dan pulau Sugie (saat ini masuk dalam wilayah kabupaten Karimun). Sementara perkebunan dan aktifitas pengolahan sagu rakyat dilakukan di wilayah pulau Bulang dan sekitar Kateman dekat pesisir timur Sumatera (saat ini masuk dalam wilayah inderagiri).

Aktifitas ekonomi penduduk pribumi di pulau utama seperti Batam, Rempang dan Galang masa itu, lebih banyak dilakukan untuk eksplorasi hasil hutan, mengingat kepadatan penduduk yang jarang.

Sedikit aktifitas mandiri perkebunan oleh penduduk pribumi yang dicatatkan Schot di pulau Batam adalah perkebunan kelapa yang terdapat di beberapa sisi pesisirnya, serta perkebunan nanas yang diupayakan oleh kelompok pribumi asal Bugis. Sementara perkebunan seperti karet, kakao dan kopi, diupayakan oleh orang Eropa dengan mempekerjakan pribumi sebagai penggarap. Penduduk pribumi di wilayah ini, lebih banyak melakukan aktifitas ekonomi di wilayah perairan sebagai nelayan.

Untuk jelasnya, silahkan disimak dua bagian terakhir dari catatan J.G. Schot yang menjabat sebagai Kontroleur wilayah kepulauan Batam masa itu yang dirangkum dalam dua edisi majalah Indische Gids tahun 1882 dan 1883.


Bagian XI

SEKARANG, kita akan membahas tentang pertanian dan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduk Melayu/Pribumi. Pertama, kita perlu memperhatikan hak-hak atas tanah yang dijalankan oleh mereka di wilayah ini.

Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, Sultan dan Raja Muda adalah pemilik tanah, sebagai kepala negeri pribumi. Mereka juga bertindak sebagai pemilik tanah sekaligus pemberi sewa terhadap pihak ketiga. Seperti misalnya kepada orang Cina. Penjualan tanah kepada pihak ketiga tidak pernah dilakukan di negeri ini.

Jika kita melihat bahwa Sultan dan Raja Muda, dalam kapasitasnya sebagai kepala negeri, adalah pemilik tanah, maka kita akan memahami, mengapa anggota keluarga kerajaan tidak dapat memiliki hak atas tanah. Kecuali jika mereka mengikuti aturan yang sama seperti penduduk pribumi biasa lainnya (rakyat) dan membayar pajak yang ditentukan kepada kepala negeri.

Sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari sewa tanah dan ganti rugi untuk penebangan kayu, serta pajak yang harus dibayar oleh penduduk sebesar 1/5 dari pendapatan mereka, sebenarnya digunakan untuk membiayai kepentingan dan kebutuhan kerabat Sultan/Raja Muda dan juga untuk banyak hal yang melibatkan mereka sebagai pribadi.

Namun, hal seperti ini tidak terlalu mengejutkan bagi kita. Di negeri Timur, besar atau kecil, Sultan/ Raja harus dianggap sebagai tokoh politik dalam semua gerakannya. Seperti halnya di Eropa pada masa lalu.Ketika tidak ada perbedaan yang jelas antara pengeluaran yang dilakukan oleh Sultan untuk kepentingan negara atau kepentingan pribadi dan untuk bersenang-senang dari pajak yang dibayarkan rakyat.

Sama seperti di Eropa pada masa lalu, semua pengeluaran tersebut diambil dari apa yang disebut “kas negara”, yaitu kas negara pribumi.


Sekarang, kita kembali ke masalah tanah. Meskipun penduduk pribumi memiliki hak yang sama atas tanah, ada beberapa formalitas yang harus diikuti agar hak abstrak yang relatif tidak terbatas ini menjadi hak konkret. Yaitu hak yang dapat dijalankan dan diakui secara umum.

Pertama-tama, hak atas tanah atau bagian tertentu darinya harus diketahui oleh seluruh masyarakat atau perwakilan mereka. Jika A, B, C, dan seterusnya memiliki hak atas sebidang tanah, maka tidak mungkin bagi A untuk mengambil sebagian tanah tersebut sebagai miliknya sendiri tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari yang lain, karena hal ini akan mengurangi hak-hak mereka.

Namun, hak-hak tersebut tidak akan berkurang jika B dan C dan seterusnya secara sukarela melepaskan hak-hak mereka untuk kepentingan A. Misalnya karena mereka tidak menggunakan tanah tersebut.

Sebagai ganti hak-hak yang dilepaskan, A perlu membayar sejumlah uang yang kita sebut pajak. Aturan yang sama berlaku jika seseorang yang ingin memiliki sebidang tanah sebagai miliknya sendiri tidak memberitahukan langsung kepada publik, tetapi kepada kepala pemerintahan pribumi, yaitu Sultan/Raja Muda atau perwakilannya. Ini adalah kasus di sini.

Setiap rencana pemisahan untuk kepemilikan oleh penduduk pribumi, harus diberitahukan kepada pemerintah pribumi, sehingga mereka dapat melakukan pemeriksaan tentang hak-hak khusus yang mungkin diinginkan oleh orang lain atas tanah tersebut.

Jika terbukti bahwa tidak ada orang yang secara khusus memperhatikan tanah tersebut karena tidak ada kepentingan, maka kepada penduduk yang mengajukan hak, diberikan surat bukti yang menyebutkan ukuran dan lokasi tanah yang dipilihnya. Surat bukti ini diberikan secara gratis.

Dengan surat bukti ini, pemilik tanah yakin bahwa haknya sah dan dapat dialihkan atau diwariskan. Tanah tersebut dapat menjadi “warisan” kepada anak dan cucu.

Namun, hak kepemilikan seperti itu dapat hilang jika penduduk pribumi tidak membayar pajak atau tidak menjalankan hak tersebut selama beberapa tahun, minimal 3 tahun. Sehingga, tanah tersebut menjadi tanah yang tidak terurus dan kembali menjadi milik umum.

Selain itu, seseorang juga bisa kehilangan hak atas tanah warisan dan tanaman jika mereka pindah ke wilayah lain dan tidak kembali dalam waktu setengah tahun serta meninggalkan tanah tersebut tanpa pengawasan.

Namun, jika pemilik tanah memiliki pohon buah-buahan yang ditanam di atas tanah yang dimilikinya, ia tetap memiliki hak atas tanah tersebut selama pohon buah-buahan tersebut masih hidup. Meskipun tanaman tersebut menjadi hutan belantara karena tidak dirawat. Pengolahan bersama atas tanah yang dimiliki bersama tidak terjadi di sini.

Oleh karena itu, status kepemilikan tanah di wilayah ini hanya ada dua; tanah warisan atau tanah yang haknya dijalankan atas nama pemerintah oleh kepala negeri, yaitu Sultan/Raja Muda.

Mengenai pohon buah-buahan yang tumbuh liar di hutan atau yang tumbuh secara alami, ada semacam hak pengamanan, yaitu orang yang pertama kali menemukan pohon tersebut berbuah dalam satu musim, dapat memiliki hak atas buah-buahan tersebut. Hak ini dapat berpindah ke orang lain setiap tahun karena sepenuhnya tergantung pada siapa yang pertama kali melihat bunga atau buah dan kemudian memasang pondok pengaman di sekitarnya.


KAMI telah menyebutkan sebelumnya tentang pajak yang terdiri dari 1/5 dari produk yang diperoleh. Pajak ini memiliki kesamaan dengan zakat dalam Islam karena besarannya. Tapi, sebenarnya praktik pajak di negeri ini telah ada sejak sebelum era Islam. Kemungkinan besar, prosentase besar pajak yang sebelumnya sudah ada, disesuaikan dengan aturan Islam menjadi 1/10.

Kami juga telah membahas tentang kerja paksa pada bagian sebelumnya. Kerja paksa ini tidak terkait dengan tanah dan tidak sama untuk setiap orang.

Kerja paksa yang diberlakukan di sini, sudah ada sejak lama. Terdapat penyimpangan yang tampaknya dari aturan pajak sebesar 1/10 di wilayah Sumatra yang termasuk dalam Kepulauan Batam, yaitu di distrik Mandah, Gaoeng, Igal, dan Anak Serka yang terletak di Teluk Amphitrite. Di wilayah ini, Raja Muda memiliki hak untuk membeli sagu dan memotong nilai yang diperkirakan sebesar hampir 1/3 dari pendapatan sebagai pendapatannya. Namun, penyimpangan ini tampaknya hanya bersifat sementara karena penduduk di sini juga membayar 1/5 dari pendapatan mereka sebagai pajak dan juga membayar sejumlah uang sebagai sewa tanah yang digunakan.

Sangat mungkin bahwa kita di sini berhadapan dengan pengenaan pajak Kharaj, yang dalam hukum Islam merupakan sewa tanah yang harus dibayar untuk penggunaan tanah.

Wilayah Kateman adalah wilayah yang ditaklukkan pada masa ketika Islam belum dianggap, namun telah menyebar di sana, sehingga ada alasan untuk menerapkan sistem pengenaan pajak Kharaj. Penduduk di sana harus membayar pajak ganda, yaitu pajak Kharaj dan pajak lainnya.


SEJAUH menyangkut pertanian, kami telah menyebutkan pada bagian sebelumnya, bagaimana penduduk pribumi menanam gambir dan padi. Kemudian, lahan pertanian mereka hampir sepenuhnya digantikan oleh perkebunan gambir oleh orang Cina.

Mengenai ini, kondisi yang sebenarnya terjadi adalah karena lahan yang ditanami padi oleh penduduk pribumi, tidak bisa terlalu diharapkan. Hasilnya relatif rendah. Sebagian karena irigasi yang tidak memadai dan sebagian karena cara pengolahan yang kurang baik.

Saat ini, di bagian utara Tjömbol dan pulau Soegie, padi masih ditanam di bukit-bukit rendah yang dekat dengan laut. Tetapi karena pengolahnya tidak memilih benih padi yang baik, tidak mengolah tanah dengan baik, dan bergantung sepenuhnya pada hujan, membuat hasil panen maksimal hanya sekitar 10-12 pikul.

Cara pengolahan mungkin tidak berbeda dari sebelumnya. Awalnya lahan yang akan digunakan, dibersihkan dahulu dengan cara membakarnya. Kemudian, benih akan disebar. Tidak ada pembibitan khusus yang dilakukan.

Di sepanjang sungai Kateman di wilayah kepulauan Soelit, terdapat beberapa penanaman padi. Terutama di daerah hulu. Di sana, hasil panen lebih baik. Tetapi, produktifitas padi tidak dapat bersaing setelah penduduk mulai memahami bahwa sagu lebih produktif, lebih mudah diolah, dan harga jualnya lebih baik.

Dengan cepat, penanaman dan ekspor padi menurun, digantikan oleh penanaman sagu dan ekspor sagu.

Di pulau-pulau di kepulauan Soelit, penanaman sagu juga semakin meningkat. Tanaman yang berharga ini telah ditanam dalam jumlah relatif besar di dataran rendah dekat Telok Batoe Tongkoe dan Tjitirim.

Penanaman juga telah dilakukan di dataran rendah dekat Gunung Boelang, di pulau Loemba, Pemping, Sangla, dan tempat-tempat lain di mana rumbia sudah ada. Jumlah tanaman ini dengan cepat meningkat. Sagu menjadi bahan makanan penting. Misalnya, di kampung Gara di pulau Loemba.

Di pulau Pemping, penduduknya bahkan dapat mengirimkan sejumlah sagu ke pulau-pulau lain di sekitarnya. Di tempat lain, seperti di sekitar Gunung Bintan, penanaman sagu juga dilakukan, baik dengan membuat penanaman baru atau memperluas penanaman yang sudah ada.

Tidak dapat disangkal bahwa pohon rumbia menjadi salah satu sumber penghidupan utama bagi penduduk di kepulauan ini. Kemudahan penanaman, termasuk di dalam hutan belantara, membuat tanaman ini dibudidayakan oleh penduduk pribumi.

Di wilayah Kateman, batang sagu dipotong di hutan dan dibagi menjadi silinder-silinder dengan panjang sekitar tiga kaki karena tempat pencucian sagu terletak di dekat kampung. Hal itu dilakukan untuk memudahkan batang-batang sagu saat dibawa ke sungai. Potongan-potongan itu kemudian diikat dengan rotan sehingga membentuk rakit dan dibawa ke tempat pencucian. Di sini, batang-batangnya kemudian dibelah. Isi yang berserat dipukul dan dicuci.

Saat ini, ekspor sagu dari sungai Kateman hampir mencapai 50 koin per bulan dengan berat 40 pikul. Ekspor dari wilayah ini terus meningkat dari waktu ke waktu.

Hak Raja Muda sebagai pembeli tunggal sagu diberikan kepada mereka yang menawarkan harga tertinggi di atas harga yang dibayarkan kepada penduduk. Saat ini, misalnya, di Kateman, seorang Cina yang menyewa hak ini membayar $39 per koin, di mana penduduk menerima $26,65.

Sekarang, karena bahan baku sagu semakin banyak dijual ke pasar Singapura, dan mungkin juga ke wilayah lainnya, pemerintah pribumi telah berpikir untuk tidak memperbarui kontrak sewa kepada penduduk setelah masa kontrak berakhir. Mereka akan mengelola dan kemudian memprosesnya sendiri untuk pasar yang lebih besar.

Saat ini, mereka telah mulai membangun pabrik pencucian sagu besar di sekitar Selat Boelang di pulau Batam. Lokasinya berada di seberang pulau Bojan, di antara sungai Samak dan Sungai Lekop. Jika keuntungan yang baik diperoleh, harga beli yang dibayarkan kepada penduduk akan meningkat.

Terkait dengan kegiatan ini, di bagian Selatan pulau Batam, ada rencana untuk memulai penanaman besar-besaran oleh penduduk lokal untuk produk-produk yang dipasarkan ke pasar Eropa. Seperti kopi, kakao, dan sejenisnya.

Beberapa waktu lalu, penanaman kakao telah dimulai di pulau Bassing dekat Tanjung Pinang oleh seorang Eropa yang bekerja sama dengan Raja Muda Riouw. Tetapi sebenarnya, hampir seluruhnya dibiayai oleh raja tersebut. Aktifitas penanaman kakao di sana masih berjalan baik sampai saat ini.

Dan jika kita mempertimbangkan bahwa tanah di Selatan Batam jauh lebih baik daripada tanah di pulau Bassing, maka kita berharap rencana untuk menciptakan penanaman yang lebih intensif akan bisa berhasil.

Sebagai catatan, ada juga usaha pertanian murni Eropa yang telah berdiri cukup lama di Tanjung Pinang, yang didirikan oleh seseorang bernama Tuan Kassei. Usaha ini lebih lama daripada yang ada di pulau Bassing serta menjanjikan banyak hal untuk masa depan. Tidak ada sistem kerja sama dengan pemerintah pribumi, sehingga merupakan awal yang baik untuk pembentukan usaha pertanian Eropa yang solid.

Sementara di Tanjung Pinggir, Batam, kopi Liberia dan kakao juga ditanam dengan sistem konsesi.

Untuk pertanian yang dilakukan penduduk pribumi, selain penanaman sagu yang lebih banyak terdapat di sekitar daratan Sumatra, tidak banyak yang bisa dikatakan atau diperhatikan tentang pertanian yang dilakukan oleh orang Melayu/ pribumi.

Sebenarnya, hal ini tidak mengherankan kita. Karena saat ini, sebagian besar penduduk pribumi masih banyak yang menjalani pola hidup berpindah-pindah. Sementara transisi dari kehidupan nomaden ke kehidupan pertanian terkadang membutuhkan waktu yang lama.

Saat ini, penduduk pribumi juga masih banyak yang enggan untuk memulai aktifitas pertanian yang membutuhkan perawatan kontinyu. Mereka lebih suka memancing dan mengupayakan Kelong di laut. Atau bahkan memilih bersantai, tidak melakukan apa-apa. Mereka melihat aktifitas pertanian hanya sebagai beban. Penduduk pribumi belum bisa menilai manfaatnya karena terbiasa berpikir manfaat jangka pendek. Sementara aktifitas pertanian baru bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang, beberapa tahun kemudian.

Namun, tidak dapat dikatakan bahwa mereka malas. Penduduk pribumi di sini terlihat malas karena kebodohan dan ketidaktahuan. Mereka melihat bersantai sebagai kesenangan. Karena ketidaktahuan, mereka sering melebih-lebihkan nilai kesenangan itu.

Jika saja mereka mendapatkan bimbingan untuk memiliki pengetahuan yang lebih baik, mereka tentu akan bertindak berbeda. Pengetahuan yang diasah dengan pendidikan, dapat membuat mereka berubah. Dengan wawasan, penduduk pribumi akan dapat menilai dan menghargai manfaat dari suatu aktifitas menanam, yang meskipun manfaatnya tidak langsung, akan dapat mereka rasakan suatu saat nanti.

Dengan pengetahuan, penduduk pribumi akan bisa dialihkan ke cara hidup yang lebih menetap dan melakukan aktifitas bertani.

Singkatnya, penduduk pribumi di Kepulauan Batam saat ini, belum cukup berkembang secara intelektual. Mereka lebih memilih keuntungan kecil yang ada di depan mata dan tidak mau memikirkan keuntungan yang jauh lebih besar yang ada di kejauhan.

Keadaan ini menyebabkan mereka hampir selalu membatasi diri hanya pada kegiatan penanaman kebun buah-buahan. Sebagian besar adalah pisang. Atau, penanaman dan pemeliharaan tanaman kelapa yang sudah ada. Penanaman pisang dan kelapa tidak merepotkan bagi mereka.

Atau misalnya menanam buah cempedak, nangka serta durian Biji-bijian dari buah-buahsn tersebut yang mereka konsumsi, bisa dilemparkan begitu saja dan kemudian tumbuh sendiri. Selanjutnya, mereka tidak terlalu memikirkan lagi tentang perawatannya. Dengan demikian, mereka memiliki banyak waktu luang untuk memancing dan menjalani kegiatan hiburan lainnya.

Tebu biasanya juga ditanam di sini oleh penduduk pribumi. Biasanya di pekarangan rumah dalam jumlah kecil untuk digunakan sendiri. Batangnya digunakan sebagai camilan. Mereka tidak mengupayakan untuk memproduksi gula karena ketidaktahuan. Padahal, tanaman tebu tumbuh dengan baik di sini.

Saya yakin, seandainya ada industri gula di wilayah ini, tanaman tebu pasti akan dibudidayakan di perkebunan-perkebunan besar di Kepulauan Batam ini.

Hal yang sama juga terjadi pada aktifitas penanaman ubi kayu dan sejenisnya oleh penduduk pribumi.


MANFAAT yang bisa diperoleh pemilik kebun buah-buahan yang diupayakan dengan budidaya serius, sebenarnya sangat terbuka. Terutama di pulau Batam karena kedekatan dengan Singapura. Penanaman nanas sebagai industri perkebunan, biasanya dijalani oleh pendatang dari Bugis.

Di mana pun ada penanaman nanas, biasanya milik orang Bugis. Area yang luas di bagian utara pulau Batam dan Kasoe, dipenuhi dengan tanaman ini. Buah-buahannya dijual secara teratur di Singapura dengan harga ¾ atau 2 sen dolar. Sayang, tidak ada pekerjaan yang dibuat untuk membuat serat dari daun nanas di wilayah ini. Padahal, bahan baku untuk itu cukup tersedia.

Penjualan buah-buahan dari perkebunan yang dikelola satu keluarga Bugis, dapat memenuhi kebutuhan dari keluarga tersebut. Jika ditambah dengan pemanfaatan daun-daunnya dengan baik, maka akan meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan.


SEMENTARA itu, penanaman kelapa dapat ditemukan di mana-mana di sepanjang pantai di wilayah ini. Di beberapa tempat, kelapa juga ditanam hingga di pedalaman, meskipun dalam jumlah yang sedikit.

Buah-buah yang sudah matang, biasanya dijual kepada pedagang kecil Cina yang menetap di wilayah sekitarnya. Para pedagang Cina dengan senang hati membeli produk ini seharga 1 atau 2 sen dolar per buah. Di bandar Tanjung Pinang maupun di Singapura, kelapa bisa dijual tidak kurang dari 2 sen dolar.

Namun, banyak juga buah kelapa yang dibeli oleh pedagang Cina untuk kemudian dikeringkan sebagai kopra. Produk ini kemudian dikirim dalam kantong untuk kepentingan pedagang kopra di Singapura.

Beberapa kali, orang pribumi Melayu coba melakukan proses ini sendiri. Tetapi, tampaknya mereka sering kali ditipu di Singapura. Mereka sering dianggap orang asing di Singapura yang didominasi orang Cina dan harus melakukan banyak pengeluaran harian yang lebih banyak daripada di kampung mereka sendiri.

Pedagang pembeli di Singapura, biasanya meminta mereka untuk menjual barang kopra mereka dengan harga murah dan cepat, karena jika tidak, mereka harus menunggu lama, dan ini membuat keuntungan dari harga yang baik menjadi tidak menguntungkan lagi bagi mereka.

Hal serupa juga dilakukan oleh pedagang pembeli kayu gelondongan. Buah pinang juga dibeli dan diekspor dari wilayah ini. Tetapi jumlah ekspor tidak dapat ditentukan, seperti halnya dengan kelapa atau kopra.Namun, jumlah ekspor kopra cukup besar dibandingkan buah pinang.


MINYAK kelapa tidak dibuat di sini, kecuali oleh beberapa orang dan hanya untuk digunakan sendiri. Namun, gula kelapa dibuat dari getah bunga kelapa yang dilukai, tetapi tidak dalam jumlah yang cukup untuk konsumsi umum.

Prosesnya adalah sebagai berikut:

Ketika bunga kelapa (mayang) keluar, kemudian diikat dan diarahkan ke arah bawah dalam bentuk busur. Setelah sekitar sepuluh hari, maka sudah cukup besar dan siap untuk proses selanjutnya.

Untuk itu, sedikit ujungnya dipotong; baru pada potongan kedua di hari berikutnya, cairan manis mulai menetes (nira) yang ditampung dalam tabung bambu yang dipasang di ujung mayang dan diikat dengan tali.

Cairan ini dikumpulkan setiap hari. Kadang-kadang dua kali sehari, pemotongan diulangi. Cairan yang ditampung dapat bertahan selama dua hari tanpa rusak. Pengumpulan biasanya dilakukan jika jumlah yang dikumpulkan dalam satu hari dianggap terlalu sedikit untuk diolah. Getah yang diperoleh, kemudian dimasak untuk menghilangkan kelebihan air dan mendapatkan warna coklat karena pembakaran.

Setelah penguapan yang cukup, getah dituangkan ke dalam cetakan yang sederhana. Papan dengan beberapa silinder kayu kecil tanpa dasar yang tingginya dua hingga tiga sentimeter, digunakan sebagai cetakan.

Pendinginan gula yang meleleh terjadi cukup cepat, sehingga setelah pengisian sekitar lima puluh cetakan, cairan gula yang sudah jadi, dapat diambil dan diganti dengan yang baru.

Gula jenis ini sangat disukai oleh orang Melayu dan dijual dalam bungkusan dengan daun kelapa atau sagu.

Setiap ikat berisi sekitar delapan hingga sepuluh gula padat dan disebut “toeroes goela”. Harga per toeroes bervariasi dari tiga hingga empat sen dolar.

Seperti yang diketahui, kulit luar kelapa yang berserat dapat juga digunakan untuk membuat tali dan anyaman. Namun, penduduk membiarkannya terbuang sia-sia.

Bagian XII

LEBIH penting daripada pertanian yang diupayakan kelompok pribumi yang masih dalam tahapan awal, aktifitas pengumpulan agar-agar, teripang, dan gamat, dll, lebih banyak dilakukan mereka.

Dapat dikatakan bahwa, aktifitas ini dilakukan penduduk pribumi di hampir seluruh wilayah, kecuali di daerah Kateman, di mana hampir tidak ada penangkapan ikan yang dilakukan. Tiga perempat penduduk di Kepulauan Batam hidup dari hasil laut.

Penangkapan ikan dengan pancing atau tali panjang tidak kita bahas di sini karena dalam banyak kasus, ini lebih merupakan hobi. Namun, orang harus memiliki kesabaran yang besar untuk mau duduk berjam-jam di bawah sinar matahari atau angin dan hujan sebelum akhirnya berhasil menangkap beberapa ikan.

Pemancing seperti ini memiliki banyak kesamaan dengan pemancing di Belanda. Di antara alat tangkap ikan yang menggunakan kait adalah katjar, yaitu kait yang diikatkan pada tali pendek sekitar dua kaki panjangnya, yang digunakan untuk menangkap sembilang.

Pada malam hari dan saat air pasang, nelayan biasanya berada di atas perahu kecil di sepanjang tepi hutan laut dan memancing tanpa umpan, tetapi memastikan kait terus bergerak.

Penangkapan ikan yang sebenarnya dilakukan dengan menggunakan alat tangkap ikan seperti kelong atau bubu, atau jaring dengan berbagai jenis.

Ada dua jenis kelong, yaitu kelong biasa dan kelong batawi. Kelong biasa cocok untuk tempat-tempat dangkal yang kering saat air surut, sedangkan kelong batawi dapat ditempatkan di air sedalam hingga sembilan depa.

Secara umum, kelong dapat dibandingkan dengan bubu besar yang terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait, yang hanya dibatasi oleh dua sisi dengan anyaman bambu, dan bagian bawahnya tertutup oleh dasar laut di mana alat tersebut dipasang, dan bagian atasnya muncul di atas permukaan air.

Untuk anyaman bambu, digunakan resam yang telah disebutkan sebelumnya, yang diikatkan pada tiang-tiang kayu yang ditanam di tanah dalam bentuk tikar.

Bukaan kelong menghadap ke darat, sehingga ikan yang berkumpul di karang saat air naik akan masuk ke dalam kelong saat air surut, dan perlahan-lahan terkumpul di bagian belakang yang menghadap ke laut dalam, Ikan yang tertangkap, kemudian diambil menggunakan alat penyaring (tanggok).

Proses pengambilan ikan ini disebut “mentjédok kélong” (menyelam, menukik), karena pengumpul harus turun ke dalam kelong untuk mengambil ikan.

Kelong batawi, yang hanya terdiri dari dua bagian, memiliki struktur yang sedikit berbeda karena ukurannya yang lebih besar.

Gambar di samping dapat membantu memperjelas hal ini.

Desain Kelong yang digambarkan oleh J.G. Schot pada majalah Indische Gids tahun 1883. © Universiteit Leiden/koleksi pribadi

Ukuran-ukurannya biasanya sebagai berikut:

A a = 1/4 depa
AB = 3 1/2 depa
BC = 1 depa
CD = 1/2 depa,
CE = 7 1/2 depa
EF = 1 depa
H I = 125 depa

Bukaan Dd dipertahankan terbuka oleh tali yang diikatkan pada ABab. Selain itu, di dasar ruang AB terdapat saringan yang disebut sisir, yang dapat diangkat jika perlu. Empat tali digunakan untuk itu. Ujung-ujungnya diikatkan pada sudut A, B, a, dan b.

Untuk mengumpulkan ikan, yang tidak perlu menunggu air surut pada jenis kelong ini, jaring yang diikatkan pada dua tiang panjang diturunkan pada EFGHfg, yang menutup jalan keluar.

Dua orang yang memegang ujung atas tiang kemudian bergerak dari E ke C, dan dari c ke e. Mereka akan menggulung jaring di sekitar tiang, sambil dibantu oleh dua penyelam yang mendorong tiang dari bawah.

Setelah proses ini, ikan terkumpul di ruang terakhir, dan bukaan Dd ditutup. Kemudian, saringan diangkat dan ikan yang terkumpul diambil. Jaring yang disebutkan di atas disebut “pengimbang” dan dapat dianggap sebagai perangkap yang dapat dipindahkan.

Untuk ruang tertutup, digunakan anyaman rotan yang terbuka, dengan setiap tikar memiliki panjang sekitar 2 1/2 depa, sedangkan untuk pagar HJ digunakan anyaman yang lebih kasar, dengan setiap tikar memiliki panjang lima depa.

Dalam banyak kasus, biaya pembuatan kelong terlalu besar bagi nelayan, sehingga mereka meminjam uang dari pedagang Cina. Terutama yang berbisnis membeli produk laut. Uang sebesar 20 atau 30 dolar diberikan sebagai pinjaman tanpa bunga, dengan syarat bahwa peminjam harus menjual semua ikan yang diperolehnya kepada pemberi pinjaman.

Namun, harga yang diperoleh sangat rendah sehingga dapat diasumsikan bahwa jika kelong berdiri selama beberapa waktu, uang yang dipinjamkan, sebenarnya sudah lebih dari cukup dibayar kembali.

Selain itu, jumlah pinjaman dikembalikan secara bertahap tanpa disadari oleh nelayan, dengan menambahkan sedikit demi sedikit pada hutang yang dibuat karena pembelian kebutuhan pokok. Namun, hutang asli tetap ada dan harus dibayar kembali ketika nelayan tidak lagi ingin menjual ikannya kepada pemberi pinjaman dan ingin mempertahankan peralatan kelong.

Hanya jika kelong menjadi tidak layak karena usia tua, hutang tersebut dianggap lunas, karena dianggap tergantung pada kelong.

Lebih murah daripada kelong adalah bubu yang dilengkapi dengan satu atau dua bukaan dan ditempatkan di antara karang, sehingga sepenuhnya tertutup.

Ikan melihat bukaan bubu sebagai lubang karang biasa dan bersembunyi di dalamnya, tetapi tidak dapat keluar lagi. Salah satu cara penangkapan ikan dengan kelong adalah penggunaan “belat” atau “belat batu”. Ini terdiri dari tanggul karang rendah yang dibangun di ujung area karang besar, dengan bukaan kecil yang dilengkapi dengan jaring kecil. Seluruh belat juga dilengkapi dengan pagar rendah yang terbuat dari anyaman bambu.

Dengan cara ini, seperti yang dapat dipahami, terkadang kelompok besar ikan terkumpul. Namun, proses ini tidak dilakukan terlalu sering di area karang yang sama.

Di antara jaring, ada beberapa jenis yang dapat dibedakan, yaitu jala lempar (djala), jala tarik (pukat), jala silang atau jala serok (tangkos), jaring biasa (jaring), dan jaring teripang (tripang jaring), yang digunakan tanpa belat batu di teluk dan lekukan. Ikan kemudian biasanya muncul saat air surut.

Ukuran mata jaring dan benang yang digunakan untuk membuat jaring berbeda-beda tergantung pada jenis ikan yang ingin ditangkap. Misalnya, ada jala biasa dan jala udang dengan mata jaring yang lebih kecil, serta jaring belanak dan jaring troeboek dengan ukuran yang berbeda.

Jaring juga dapat dibedakan berdasarkan penggunaan pemberat logam atau batu, atau cangkang kerang yang berfungsi sama. Jaring yang menggunakan cangkang kerang disebut “jaring katak”. Jaring yang digunakan untuk menangkap ikan kecil seperti teri memiliki mata jaring yang sangat kecil karena digunakan untuk menangkap apa saja yang bisa didapatkan.

Tangkos juga memiliki modifikasi tergantung pada apakah digunakan di tepi atau di laut lepas. Kadang-kadang, tangkos hanya memiliki satu lengan, seperti yang sering terlihat di Belanda. Yang lebih besar, diangkat oleh dua orang dan memiliki dua lengan. Satu di kiri dan satu di kanan.

Dalam penangkapan ikan dengan menggunakan perahu, digunakan jaring kecil yang disebut “sondong” yang dipegang dengan tangan. Selama musim utara, laut sempit di bagian utara kepulauan ini, biasanya dipenuhi dengan ikan-ikan kecil.

Penangkapan ikan-ikan kecil pada musim Utara, biasanya dilakukan pada sore dan malam hari. Apa saja yang bisa membantu digunakan dalam proses ini. Setiap perahu kecil atau “sampan” atau “golek” (kolek) diawaki oleh beberapa orang.

Ketika tiba di tempat penangkapan, hanya pengemudi perahu yang menggerakkan perahu dengan dayung kemudi, sementara yang lain memegang obor yang menarik perhatian ikan, sambil menggunakan jaring kecil untuk menangkapnya.

Terkadang, jumlah ikan yang ditangkap sangat banyak sehingga perahu harus kembali ke rumah beberapa kali dalam satu malam untuk membongkar muatan. Ikan-ikan kecil itu, kemudian dibeli oleh pedagang Cina yang memasaknya terlebih dahulu sebelum mengeringkannya untuk dijual, atau langsung diasinkan dan dicampur dengan zat pewarna merah sebelum dibawa ke bandar di Tanjungpinang atau Singapura. Setelah pewarna meresap ke dalam ikan dan garam, ikan tersebut dijual sebagai ikan merah dan menjadi bagian yang lezat bersama hidangan nasi.

Selain alat tangkap ikan yang telah disebutkan, digunakan juga tombak lempar yang disebut serampang. Yakni, tombak dengan tiga mata yang dilengkapi dengan kait. Jika ukurannya cukup besar disebut torah, dan memiliki gagang yang terpisah.

Ada juga tombak dengan satu mata dan tempuling yang sedikit lebih besar, serta serawai yang digunakan untuk menusuk penyu.

Nelayan pribumi biasanya juga menggunakan akar tuba yang dicampur dengan ikan yang dihancurkan untuk menarik perhatian ikan-ikan yang akan ditangkap . Umpan-umpan tersebut kemudian dibuang ke laut. Mereka kemudian tinggal menunggu sampai ikan yang terkena tuba muncul ke permukaan air, lalu diambil dengan tanggok (saringan) atau serampang.


DARI kegiatan pengumpulan produk laut tersebut, kita akan membahas tentang penangkapan teripang dan pengumpulan agar-agar serta sangoe secara singkat. Kita akan mengikuti kebiasaan yang ada, yaitu atoeran troeboek dan atoeran agar-agar yang dibuat oleh penguasa pribumi.

Pengumpulan agar-agar dan sangoe, yang mirip dengan agar-agar tetapi memiliki struktur yang lebih halus, dilakukan sekitar bulan Oktober hingga Juli. Pada periode ini, sebagian hasil tangkapan dianggap sebagai hasil wajib, yang dikenai pajak. Pajak tersebut diberlakukan kepada kelompok masyarakat dari empat suku, yaitu Trong, Kasoe (suku Selat), Soegie, dan Moro.

Pada awal kegiatan, semua laki-laki yang sudah menikah dari empat suku tersebut dihitung. Mereka harus menyerahkan dua pikul agar-agar mentah kepada penguasa tanpa biaya. Hasil ini diperkirakan pada tahun 1298 Hijriyah (1880-1881 Masehi) sebesar 45 bahara atau 540 pikul produk yang tidak murni. Ini dianggap sebagai rata-rata pajak sebesar sepersepuluh.

Terkadang jumlahnya lebih besar atau lebih kecil tergantung pada jumlah agar-agar yang dikumpulkan oleh penduduk. Namun, total jumlah yang dikumpulkan tidak mengubah rata-rata pajak yang telah ditetapkan setiap tahun.

Semua yang dikumpulkan oleh penduduk harus diserahkan kepada penguasa melalui kepala-kepala wilayah yang ditunjuk. Ini adalah pengiriman wajib, tetapi dibayar. Siapa saja yang menyerahkan produk kepada orang lain akan dikenakan hukuman, meskipun masih banyak yang menjual produk kepada orang lain secara diam-diam.

Laki-laki yang sudah menikah berusia 70 tahun atau lebih, dibebaskan dari pajak 2 pikul. Begitu juga dengan mereka yang sudah memiliki tiga anak laki-laki yang sudah menikah dan membayar pajak.

Pada tahun yang telah disebutkan, rata-rata pajak dibagi sebagai berikut: untuk Kasoe 5 bahara, untuk Soegie dan Moro masing-masing 10 bahara, dan untuk Trong 20 bahara produk yang tidak murni, total 45 bahara yang diperkirakan berkurang menjadi 40 bahara karena kerusakan.

Agar-agar yang dikumpulkan harus diterima oleh Batin Trong dan Batin Soegie, yang kemudian bertanggung jawab untuk membersihkan agar-agar, sehingga jumlah pajak berkurang menjadi 20 bahara agar-agar yang sudah dibersihkan.

Sisa agar-agar yang dikumpulkan oleh penduduk dari empat suku tersebut dibeli dengan harga 8 dolar per pikul atau 14,40 dolar per bahara produk yang sudah dibersihkan. Sedangkan Batin menerima harga yang lebih tinggi untuk agar-agar yang mereka kumpulkan sendiri, yaitu 8 dolar per bahara untuk Batin Trong dan Kasoe, dan 21 dolar per bahara untuk Batin Soegie dan Moro.

Harga-harga ini dianggap sebagai harga minimum yang dapat meningkat jika agar-agar mencapai harga yang lebih baik di pasar. Harga yang digunakan penguasa untuk menyewakan agar-agar yang sudah dibersihkan saat ini sekitar 29-30 dolar per bahara.

Bahara setara dengan 12 pikul, dan pikul dibagi menjadi 8 soekatan besar. Soekatan besar adalah keranjang rotan bundar dengan dasar persegi. Panjang dan lebarnya 14 inci Inggris, tinggi 13 inci, dan lingkar atas lebih dari 75 inci. Semua dalam ukuran Inggris.

Berat isi agar-agar dalam keranjang ini sekitar 14 kati pikul. Sebenarnya dihitung dengan soekatan, yang bisa disebut pikul besar, seperti yang digunakan sebelumnya untuk kopi Preanger.

Pada tahun yang telah disebutkan, sebanyak 150 bahara agar-agar yang sudah dibersihkan diperoleh. Namun, jumlah untuk seluruh Kepulauan Batam jauh lebih banyak karena penduduk yang tidak termasuk dalam empat suku tersebut, seperti mereka yang tinggal di sekitar Samboe, dekat pulau Temojong dan Stoko, Tandjong Sau, dan tempat lain, juga mengumpulkan agar-agar yang mereka jual di mana saja yang mereka inginkan.

Rencananya adalah untuk menerapkan aturan yang sama dengan rata-rata pajak pada agar-agar yang sudah ada di selatan, karena berbagai cara digunakan untuk menghindari pajak.

Sebagai catatan, kita sebutkan bahwa pulau-pulau kecil seperti Plampong, Pecong, Lioeng, dan pulau Nipa, yang merupakan barisan paling barat laut dari kepulauan ini, biasanya tidak berpenghuni. Tetapi, selama musim pengumpulan agar-agar, wilayah-wilayah itu menjadi tempat tinggal sementara. Biasanya dihuni oleh orang-orang dari Kasoe, kampung Toedjoe, Trong, dan beberapa tempat lain. Warga biasanya membangun rumah-rumah sederhana tanpa dinding di sana.

Ada kegembiraan yang menyenangkan di sana. Beberapa waktu lalu (lihat Ind. Gids, tahun 1880 – Agustus – halaman 332 dan 333), dikatakan secara tidak benar bahwa area penangkapan teripang hanya ada di Selat Brouwer, dan bahwa beberapa teripang yang ditemukan di bagian barat kepulauan (yaitu Riouw-Lingga-Karimon) memiliki telur yang tidak berkembang dengan baik atau sakit.

Jelas bahwa penulis pernyataan ini, Tn. Gramberg, diberi informasi yang salah oleh orang-orang yang tidak tahu, karena sedikit yang dia tahu bahwa penangkapan teripang telah menjadi salah satu sumber penghidupan utama penduduk di selat-selat selatan dan perairan Kepulauan Batam sejak zaman kuno. Teripang yang ditangkap di sini, baik jantan maupun betina, lebih besar daripada yang ada di Siak, dan telur teripang tidak berbeda dengan yang ada di Siak.

Penangkapan ikan ini terjadi sekitar sembilan dari dua belas bulan dalam setahun, yaitu dari November hingga Agustus, dan dilakukan setiap bulan dari kuartal ketiga hingga kuartal pertama, yaitu selama bagian gelap bulan, karena saat itulah ikan paling banyak ditangkap. Tidak ada perayaan seperti yang ada di Siak, yaitu ritual teripang. Penguasa menerima satu dari setiap sepuluh ikan, dan 70 sen dolar per jaring per kepala keluarga. Jaring-jaring tersebut memiliki ukuran yang cukup besar, yaitu 50 hingga 65 depa panjang dan 5 depa dalam. Jumlah jaring, sejauh yang kita bisa lihat, adalah tiga jaring (peias) untuk kampung kecil Sangla; 32 untuk Rnjoeop Soegie Bawa; 21 untuk Bëloekar; 18 untuk Poelan Bau; 28-30 untuk Soegie Boeloek; dan 8 jaring untuk Tengajong.

Kami tidak bisa menunjukkan berapa banyak jaring yang digunakan di Karimun, tetapi kami pikir sudah cukup jelas bahwa kita berhadapan dengan penangkapan ikan besar-besaran. Biasanya, nelayan bekerja untuk pembeli Cina, dan pembeli ini harus menyediakan perahu dan jaring; pembeli juga harus menyediakan apa yang dibutuhkan untuk pemeliharaan. Jika nelayan tidak ingin lagi terikat dengan pembeli, dia harus mengembalikan perahu dan jaring kepada pembeli. Selain teripang, ikan lain juga ditangkap.

Harga yang ditetapkan oleh pembeli yang harus dibayar adalah: per 100 teripang yang mengandung telur, masing-masing sekitar 2 kati berat (sekitar 1,23 kilogram) $3 Per 100 teripang jantan dan teripang tanpa telur (troebogk kirrip), masing-masing sekitar 1 kati berat $2,50 ^ 100 tenggiri tonda seberat 4 kati $12 — ^ 100 tenggiri tokok seberat 2 kati $5 — ^ 100 ikan parang seberat sekitar 2 kati $4.—

Aturan yang berlaku adalah bahwa dua ekor ikan berukuran sedang atau tiga ekor ikan kecil dihitung sebagai satu. Selanjutnya, ikan harus dibeli oleh pembeli, meskipun jumlah teripang yang ditangkap sangat banyak sehingga tidak dapat disimpan atau diasinkan.

Yang sering terjadi; pembeli juga harus membelinya jika nelayan terlambat kembali karena cuaca buruk dan ikan menjadi busuk. Dan jika karena cuaca buruk perahu dan jaring hilang, nelayan tidak bertanggung jawab atas penggantian kerugian tersebut.

Sebaliknya, jika pekerja nelayan terbukti malas, pemberi kerja dapat, dengan persetujuan pemerintah setempat, memaksanya untuk mengganti kerugian yang timbul akibat kelambanannya. Untuk mengetahui berapa banyak teripang dan ikan lain yang diekspor, baik dalam bentuk asin maupun sudah dikeringkan, tidaklah mungkin, karena pembeli tidak memberikan informasi yang cukup.

Namun, jika kita melihat bahwa di Sangla ada satu pembeli, di Pinjoe ada tiga, di Bloekar ada dua, di Fau ada satu, di Soegie dan Boeloeh ada empat, dan di Tengajong ada satu (jadi totalnya ada dua belas), dan kadang-kadang jika ada banyak ikan, massa besar ikan dijual kepada pedagang Cina dan pemilik toko yang tinggal di di sekitar Soengei, maka kita pasti tidak akan meremehkan jumlah tersebut.

Di Pinjoe, Bloekar, Soegie, dan tempat lain, pembeli Cina biasanya memiliki tiga kuli, kadang-kadang lebih. Yang menerima gaji 4, 5, atau 6 dolar per bulan dan makanan; ini tidak menghalangi pembeli untuk membuat keuntungan bersih tahunan sekitar 200-400 dolar atau lebih setelah dikurangi semua biaya dan pengeluaran.

Penduduk di Selatan pulau Batam dan Kasoe hidup terutama dari keuntungan agar-agar dan penangkapan teripang.

Setelah penangkapan ikan, kegiatan yang paling penting adalah perdagangan kayu. Namun, kita telah membahas hal ini sebelumnya di bab lain. Demikian pula, kita dapat melewatkan pengumpulan kulit kayu, meskipun jumlah yang diekspor cukup besar. Jenis-jenis yang dikumpulkan adalah kulit lawak, kulit bakan gelikup, dan kulit njirik. Di Singapura, kulit-kulit ini digunakan sebagai bahan pewarna, dan sebagian besar kulit lawak yang diimpor kemudian diekspor ke Cina. Kualitas terbaik adalah kulit lawak.

Jadi, kita masih memiliki beberapa catatan tentang pengumpulan produk hutan, khususnya tentang getah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, getah yang berasal dari tanaman hidup adalah tahar, soendie, getah perca, dan getah jelutung.

Dari jumlah tersebut, taban dan pertja tumbuh di tanah yang lebih tinggi, yaitu tanah perbukitan. Sedangkan yang lain tumbuh di tanah dataran rendah. Semua tanaman ini menghasilkan buah dan dapat dibudidayakan.

Sayangnya hal ini belum dilakukan di sini. Oleh karena itu, jumlah tanaman ini yang sebelumnya banyak, terutama untuk memenuhi permintaan besar dari Singapura, telah menurun drastis.

Taban sudah dapat menghasilkan sekitar 2 kilogram getah karet pada tahun ke-8, tetapi ketika sudah dewasa atau berusia 20 tahun, dapat menghasilkan sekitar 30 kilogram atau lebih. Saat ini, getah ini masih dikumpulkan dalam jumlah kecil oleh orang suku utan dan beberapa orang Melayu dan dijual dengan nilai 60-70 dolar per pikul.

Pertja, yang menghasilkan banyak getah tetapi dengan harga yang lebih rendah, tidak lagi ditemukan di sini.

Namun, Taban dan Pertja ditemukan di daerah Kateman yang lebih tinggi. Getah soendi tidak lagi ditemukan di Kepulauan Batam, tetapi ditemukan di daerah aluvial besar di Kateman. Namun, sedikit yang dikumpulkan di sana. Setiap tahun, sekitar 30-40 pikul diekspor oleh orang Cina yang membeli produk ini dari penguasa dengan harga 7-8,70 dolar per pikul. Getah soendi menghasilkan sekitar 1,5 kilogram getah perca pada tahun ke-8, tetapi pada usia 15-20 tahun dapat menghasilkan 40-50 kilogram. Sedangkan getah jelutung tidak lebih baik daripada getah taban. Setidaknya dalam kualitas sama dengan getah taban. Getah girih juga memiliki kualitas yang sama dengan getah taban.

Selama pengumpulan, sedikit garam digunakan untuk membuat cairan mengental, yang dicampur dengan getah. Getah sirih adalah tanaman merambat yang ketika memiliki ketebalan 7-8 sentimeter dalam diameter, dapat menghasilkan sekitar 15-20 kilogram getah sepanjang 10 depa. Getah jelutung dewasa menghasilkan sejumlah besar getah dengan kualitas terbesar sekitar 60 kilogram atau lebih. Para pembeli membayar 6-8 dolar per pikul untuk getah ini. Hingkue dan jenis ficus seperti ara hitam dan ara putih menghasilkan getah yang sering digunakan oleh pengumpul untuk mencampur dengan getah soendi.

Sementara sekarang, karena perlakuan yang tidak tepat terhadap tanaman berharga ini dan kerusakan yang disebabkan oleh petani Cina di hutan, Kepulauan Batam telah kehilangan salah satu produk alam yang paling penting.

Namun, hutan yang belum terjamah di distrik Kateman masih memiliki banyak sumber daya ini. Kita berharap bahwa upaya yang dilakukan di tempat lain, seperti di India Britania, untuk menciptakan budaya getah yang spesifik juga akan diikuti dan ditiru di daerah ini. Jika hanya karena kesesuaian tanah di daerah ini untuk ditanami tanaman penghasil getah ini, kita harus menganggap pulau-pulau dan dataran rendah Kateman ini sangat penting bagi setiap pelaku industri dan pedagang yang memiliki sumber daya dan energi yang cukup. Terutama bagi orang Belanda.

(*)

Selesai

Catatan : Wilayah Kepulauan Batam yang dideskripsikan oleh J.G. Schot pada masa itu meliputi pulau-pulau utama dan penyangga. Mulai dari kelompok Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kelompok Bulang (termasuk Sambu, Belakangpadang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), hingga kelompok kepulauan Soelit (Tjombol, Sugi, Tjitlim) dan Kateman di pesisir pantai Timur Sumatera.

Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography. 
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com 

Pilihan Artikel untuk Anda

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Gagalkan Keberangkatan Calon Pekerja ke Singapura

8 Sapi, 23 Kambing di Bida Asri 1 Batam

Walikota Serahkan Sapi Presiden Prabowo ke Panitia Qurban Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah

Gandeng BPS RI, BP Batam Upayakan Penyajian Data Akurat dan Berkualitas

Remaja Perempuan Jadi Korban Asusila di Bintan, Tersangka Pelaku Ditangkap di Batam

Kaitan batam, bintan, dulu, History, karimun, kepri, kepulauan riau, masyarakat, pemerintahan, penduduk, Rhio, riau, Riouw, sejarah, tanjungpinang
Admin 5 Juni 2025 5 Juni 2025
Apa yang anda pikirkan
Suka sekali1
Sedih0
Gembira0
Tal peduli0
Marah0
Masa bodoh0
Geli0
Artikel Sebelumnya Wali Kota Batam Tanggapi Pandangan Fraksi DPRD Terkait APBD 2024
Artikel Selanjutnya Polisi Bongkar Minilab Narkoba di Batam, Sita Ribuan Obat Keras
1 Komentar
  • Ping-balik: Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian X) - GoWest.ID

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

APA YANG BARU?

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Gagalkan Keberangkatan Calon Pekerja ke Singapura
Artikel 2 jam lalu 58 disimak
8 Sapi, 23 Kambing di Bida Asri 1 Batam
Cerita Foto 3 jam lalu 61 disimak
Walikota Serahkan Sapi Presiden Prabowo ke Panitia Qurban Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah
Artikel 7 jam lalu 62 disimak
Gandeng BPS RI, BP Batam Upayakan Penyajian Data Akurat dan Berkualitas
Artikel 7 jam lalu 61 disimak
Remaja Perempuan Jadi Korban Asusila di Bintan, Tersangka Pelaku Ditangkap di Batam
Artikel 20 jam lalu 100 disimak

POPULER PEKAN INI

Ada Bahagia dan Kepedulian, 120 Tenda Hadir di Camping Bareng Ultah CAF Batam Ke-7
Artikel 4 hari lalu 353 disimak
Tabrakan Kapal Niaga di Perairan Batam: Bakamla Tindak Cepat
Artikel 6 hari lalu 250 disimak
Gerakan Pangan Murah, Warga Antusias Memenuhi Kebutuhan Pokok
Artikel 4 hari lalu 244 disimak
Fenomena Bunga Bangkai di Teluk Bintan Menarik Perhatian Warga
Artikel 4 hari lalu 228 disimak
Pengumuman Kelulusan Siswa SD dan SMP Tanjungpinang Dilakukan Daring
Pendidikan 6 hari lalu 214 disimak
- Pariwara -
Ad imageAd image
about us

Kami berusaha menjadi CITIZEN yang netral dan objektif dalam menyampaikan pandangan serta pikiran tentang apapun di dunia ini.

  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Ikuti Kami
© Indonesia Multimedia GoWest 2025. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?