DENGAN semangat yang tak sepertinya tak pernah habis, Naomi, pemandu kami menjelaskan tempat berikutnya yang akan dituju, yakni kuil Van Thuy Tu di Bình Thuận, Vietnam, Juni 2025 lalu.
Oleh: Sultan Yohana
SEBUAH kuil yang keberadaanya setera dengan Gunung Kawi, di Malang. Kuil yang dipercaya banyak orang, menjadi tempat mujarab bagi terkabulnya doa. “Di sana, Anda bisa berdoa minta apa saja. Minta kaya, minta sehat, dan jangan lupa setelah berhasil, harus datang lagi ke sini untuk memberi sesuatu,” begitu jelas Naomi. Narasi itu, benar-benar mirip sebagaimana Gunung Kawi diperkenankan.
Tapi bahkan, saya yang asli Malang, tak pernah datang atau tertarik berkunjung ke Gunung Kawi.
Setiba di kuil, saya tak masuk. Saya memilih mencari rindang pohon yang sejuk, merokok. Melepas sedikit ketegangan. Di rombongan kami, selain saya, istri dan Zak, ada sepasang orang Prancis, sepasang orang Srilanka, serta kemanten baru asal Philipina. Satu lagi, seorang pria asal India yang sepertinya asyik bepergian seorang diri. Tidak lama di “kuil pesugihan” itu, sekitar sepenghabisan batang rokok. Di van yang kami tumpangi, Naomi berkelakar, di kuil tadi dia berdoa agar jalanan tidak macet. Agar rombongan bisa sampai Ho Chi Min tepat sampai tujuan.
Tapi, doa Naomi tak terkabul.
Sekitar 30 kilo dari kota, macet parah kami hadapi. Jalanan macet-cet. Saya melihat, bahkan para sopir, banyak yang ke luar mobil, merokok. Meninggalkan mobil mereka dengan mesin yang masih menyala. Saya membayangkan, berapa banyak bensin yang terbuang percuma. Dari ratusan ribu kendaraan yang terjebak macet. Bensin yang notabene disubsidi pemerintah. Subsidi yang seharusnya bisa dipakai untuk sekolah dan kesehatan gratis. Subsidi yang bisa dipakai untuk memajukan negara.
Pada akhirnya, mobil yang kami tumpangi terpaksa cari jalan lain sebagai alternatif. Melewati jalan-jalan makadam, kampung-kampung kumuh, dan berakhir di penyebrangan feri Sungai Dong Nai. Tapi bagi saya, yang gemar memperhatikan sekeliling, kemacetan ini menunjukkan banyak hal. Menunjukkan tata kelola kota yang amburadul. Menunjukkan kondisi nyata kehidupan masyarakat Vietnam, dari pelosok desa hingga kota.
Di desa, sebagian besar rumah di depannya dijadikan usaha. Berjualan apa saja. Ini menunjukkan, susahnya penduduk mendapatkan lapangan pekerjaan. Di kota, pengemudi Grab menjamur. Kakilima di mana-mana, bahkan di depan kantor-kantor atau gedung mewah. Pemulung, juga orang gila berkeliaran. Bocah-bocah dan gadis-gadis remaja menjadi pengecer rokok. Pria-pria banyak yang menawarkan menyemir sepatu.
Kembali ke kemacetan. Naomi menyebut, baru kali itu, sepanjang ia menekuni profesi pemandu, rombongannya memakai jasa penyeberangan ferry. Itu karena macetnya yang naudzubillah. Ehhh, begitu kelar menyebrang, kendaaraan masih juga terjebak macet. Kali ini di kota. Jarak yang sekitar lima kilometer, tertempuh selama hampir dua jam. Kemacetan di Ho Chi Min memang mengerikan sekali.
Sebagaimana masalah di kota-kota di Indonesia, kemacetan di Vietnam tersebab buruknya transportasi umum, serta murahnya kendaraan bermotor. Dua itu, adalah kombinasi yang “mematikan”. Kombinasi yang MEMISKINKAN. Kombinasi yang menyesengsarakan.
Kondisi Vietnam yang setali tiga uang dengan kondisi Thailand dan Indonesia; memberikan kesimpulan bagi saya, satu-satunya syarat sebuah negara menjadi maju, adalah MENGEREM KEINGINAN MEMILIKI/MEMAKAI KENDARAAN PRIBADI! Agar transportasi publik bisa berkembang baik.
Meski terlambat, Vietnam sepertinya menyadari itu. Mereka baru saja membuka sebuah jalur MRT di kota Ho Chi Min, dan berencana segera menambah jalur-jalur MRT secara massif. Saya sempat menikmat MRT di sana, dengan penduduknya yang sangat antusias menyambut, memperlakukan seolah-olah “barang baru” yang patut dirayakan. Mungkin mereka sudah bosan dengan kemacetan parah tiap hari.
BTW, foto-foto ini oleh-oleh dari saya selama delapan hari blakrak’an di Vietnam, pada Juni 2025 lalu. Semoga bisa dinikmati! Semoga bisa direnungi!
(*)

























Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id