“Pada tanggal 11 Jumadil awal 1246 H (13 Agustus 1830), Yang di-Pertuan Muda dan Tengku Besar membuat perjanjian baru dengan Residen Belanda. Yang di-Pertuan Muda mengirim putranya Raja Ali dan menantunya Sayid Hussain serta Tengku Erang kepada Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menjelaskan permintaan penangkapan oleh Inggris terhadap Raja Jaafar dan saudara iparnya dengan tuduhan mendukung perompakan.”
…
“Catatan terakhir tentang keberadaan Raja Issa, dilaporkan Ebernhard Hermann Rottger pada tahun 1835, setahun sebelum operasi sepihak pemberantasan perompak laut oleh Inggris dilancarkan.”
…
“Raja Yakup, anak pertama Raja Issa yang disebut sebagai ‘Engku Kelana calon pengganti Raja Muda’ oleh P.J. Begby pada 1827, mulai mengelola urusan pemerintah kesultanan Riouw Lingga untuk sebagian wilayah pulau Batam. Ia tercatat sudah mengelola wilayah tersebut dari kampung Nongsa pada tahun 1856, setelah sebelumnya, wilayah ini masih ditangani langsung oleh Raja Muda Riouw dari pulau Penyengat.”
Oleh: Bintoro Suryo
Keberatan Inggris atas Penugasan Raja Issa oleh Residen Belanda
ATAS penugasan menavigasi perairan di sekitar Nongsa, Raja Issa kemudian berhijrah dari pulau Tring (Pulo Angup pen.) dekat Singapura dan mulai tinggal di sekitar muara sungai Nungsa, di Batam. Tempat tinggalnya berjarak sekitar 0,5 mil dari perkampungan warga pesisir lainnya di pulau Batam masa itu
Secara geografis, wilayah di sekitar muara sungai Nongsa, memiliki kemiripan dengan tempat tinggal lama Raja Issa di muara sungai Muar Johor. Tempat tinggalnya terletak di mulut sungai dengan kondisi yang berlumpur. Sungai Nongsa di bagian yang menjorok ke daratan, juga berkelok dengan banyak percabangan anak sungai. (Baca : Menelusur Nongsa Masa Lalu – “Tengku H Puang, Kepala Desa Batam dan Makam Raja Isa Yang Tak Diketahui”).
Sementara di hadapannya, membentang selat Singapura yang ramai. Seperti halnya mulut sungai Muar di selat Malaka, tempat tinggalnya dulu. Banyak hilir mudik kapal-kapal dagang dari ‘Negeri di Atas Angin’.
PENUGASAN Raja Issa untuk mengamankan perairan di sekitar Nongsa dalam rangka kebijakan pelabuhan bebas Riouw masa itu, ditanggapi gelisah oleh pihak Inggris di Singapura. Mereka menilai, kesultanan Riouw Lingga, justeru memelihara para perompak dan makin mendukung aksi perompakan di sekitar selat sibuk tersebut. Arsip catatan surat dari Thomas Stanford Raffles mengkhawatirkan mereka.
Residen Inggris di Singapura kembali menyampaikan nota protes dengan menuduh kelompok bajak laut di sekitar selat Singapura, didukung oleh keluarga kesultanan Riouw Lingga. YamTuan Muda Riouw, Raja Jafar dinilai sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap hal ini. Mereka meminta pemerintah kolonial Belanda di Batavia menangkap Raja Jafar.
Karena hubungan yang baru terbangun paska terbentuknya kesultanan Riouw Lingga berdasarkan hasil perjanjian London 1824, pihak Residen Riouw di Tandjoengpinang tidak menanggapi langsung keberatan Inggris. Mereka meminta kesultanan Riouw Lingga melalui YamTuan Muda Raja Jafar, untuk menjelaskan sendiri tuduhan Inggris tersebut kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Beberapa utusan YamTuan Muda Riouw kemudian berangkat ke Batavia.
Dalam catatan Tuhfat Al Nafis ditulis:
“Pada tanggal 11 Jumadil awal 1246 H (13 Agustus 1830), Yang di-Pertuan Muda dan Tengku Besar membuat perjanjian baru dengan Residen Belanda. Yang di-Pertuan Muda mengirim putranya Raja Ali dan menantunya Sayid Hussain dan Tengku Erang kepada Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menjelaskan permintaan penangkapan oleh Inggris terhadap Raja Jaafar dan saudara iparnya dengan tuduhan mendukung perompakan.” (Tuhfat Al Nafis)
Dalam silsilah yang ditulis oleh captain P.J. Begby pada tahun 1827, selain sebagai bagian keluarga bangsawan Riouw, Raja Issa diketahui merupakan saudara ipar dari YamTuan Muda Riouw saat itu, Raja Jafar.
Dalam pertemuan di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda menerima penjelasan utusan YamTuan Muda Riouw dan mengabaikan permintaan Inggris. Para utusan bahkan dijamu dengan meriah.
Pemerintah Belanda sepertinya tidak mau gegabah menuruti saran Inggris, mengingat mereka sedang menyusun draft kesepakatan kerjasama dengan kesultanan Riouw Lingga tentang tata pemerintahan di kesultanan yang baru terbentuk itu. Kesepakatan tentang tata pemerintahan di negeri Riouw Lingga tersebut, akhirnya ditandatangani pada 29 Oktober 1830 di pulau Penyengat. Dua bulan setelah kunjungan utusan kesultanan ke Batavia.
Dalam penandatanganan kesepakatan, perwakilan Belanda diwakili oleh Residen Riouw, Elout yang sebenarnya telah mendapatkan penugasan baru di wilayah lain. (Baca : “Lintas Masa Tata Pemerintah di Negeri Riouw Lingga 1830 – 1911”).
HINGGA beberapa tahun sejak penugasan Raja Issa untuk menavigasi keamanan perairan di Pulo Nongsa dan sekitarnya, dalam catatan dokumen Hindia Belanda, aktifitas perompakan masih tetap marak. Area tambat kapal di sekitar teluk Boolan (teluk Tering, pen.) juga belum bisa menopang kebijakan perdagangan bebas di Riouw secara umum.

Di perairan sekitar Nongsa, aksi perompakan biasanya dialami oleh para pedagang China yang sedang membawa muatan dagang mereka ke Singapura. Seperti dalam catatan seorang pendeta asal Prusia yang sempat berada di kampung Nongsa sekitar tahun 1835, Ebernhard Hermann Rottger. Namun menurut Rottger, aksi yang dilakukan, sebatas pada pengambilalihan muatan kapal. (Baca : “Pulo Nongsa dan Perairan Sekitarnya“)
Pada tahun 1836, E. Netscher mencatat, kapal perang Inggris Andromache yang sedang melintasi selat Singapura, juga diserang para perompak yang biasa bermukim di sekitar Pulau Galang. Residen Inggris di Singapura kembali melayangkan nota protes kepada pemerintah kolonial Belanda dan meminta ketegasan tentang penanganan perairan dari aksi perompak laut.
Pada April 1836, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, D. J. De Eerens, akhirnya mengusulkan serangkaian tindakan baru untuk mengatasi perompakan di wilayah Kesultanan Riouw Lingga. Rencana ini melibatkan pengawasan aktif terhadap kapal nelayan dan pemberlakuan sistem paspor untuk kapal-kapal tersebut. Tugas pengontrolan akan melibatkan kepala-kepala pribumi di pulau-pulau utama yang segera ditunjuk langsung oleh pihak kerajaan.
“.. Mayor D. H. Kolff dikirim ke Sultan Lingga dengan surat dari Gubernur Jenderal yang menekankan pentingnya kerja sama untuk mengatasi perompakan. Surat tersebut menjanjikan bantuan, perlindungan, dan subsidi dari pemerintah jika Sultan Lingga bekerja sama. Selain itu, surat tersebut juga menekankan bahwa kerja sama tersebut akan membawa manfaat bagi rakyat dan negeri Sultan Lingga.” (E. Netscher, 1854)
Tindakan ini diikuti dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 22 Juli 1836 yang menyetujui nota tanggal 9 Juni 1836 tentang tindakan yang telah disepakati antara Wakil Raja Riouw dan Residen Riouw, Jhr. Cornets de Groot, serta Mayor Kolff.
Keputusan ini menetapkan bahwa semua kapal dari Lingga dan Riouw yang berlayar untuk tujuan perdagangan atau penangkapan ikan, harus dilengkapi dengan paspor yang dikeluarkan oleh Residen Riouw. Paspor tersebut akan diperbarui secara gratis setiap tahun dan akan divalidasi oleh Residen Riouw jika kapal tersebut berlayar ke selatan untuk penangkapan ikan.
PADA saat pemerintah Belanda sedang mengambil langkah-langkah efektif untuk menekan aksi perompakan di perairan Riouw Lingga, kapal perang Inggris, Andromache, muncul di pelabuhan Riouw pada Juni 1836.
“…Kapal tersebut membawa M. S. G. Bonham, seorang pejabat Inggris dari Singapura, yang menyatakan bahwa ia dikirim oleh pemerintahnya untuk mengakhiri perompakan tanpa menunggu kerja sama dengan pemerintah Belanda. Ia bahkan meminta kerja sama langsung dari pihak Belanda, mengklaim bahwa Belanda belum memenuhi ketentuan Perjanjian 1824.” (J.P. Cornets De Groot – Notices Historiques Sur Les Pirateries, 1847)
Meskipun pejabat Belanda, M. C. F. Goldman menjelaskan bahwa negosiasi sedang berlangsung dengan Sultan dan tidak memungkinkan tindakan hostil, kapal Inggris tersebut tetap berlayar ke Galang, salah satu pulau di bawah kekuasaan Sultan Riouw Lingga, dan menghancurkan semuanya. Kemudian, mereka menyisir ke pulau-pulau lain di sekitarnya, termasuk Batam.
“Kapal perang Inggris lainnya, Raleigh, kemudian tiba di Riouw pada 28 Juli 1836 dengan niat untuk pergi ke Lingga dan berbicara langsung dengan Sultan…” (J.P. Cornets De Groot – Notices Historiques Sur Les Pirateries, 1847)
Namun, setelah adanya protes dari pihak Belanda, Inggris akhirnya hanya mengirim surat kepada Sultan.
Dalam operasi sepihak oleh Inggris itu, seperti laporan E H. Rottger, semua orang yang diduga sebagai perompak serta mendukung aksi perompakan di sekitar perairan selat Singapura dan tertangkap hidup-hidup, langsung dieksekusi. Seluruhnya dijatuhi hukuman mati di tengah laut.
“Tindakan Inggris ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka akan mengganggu ketertiban yang telah dibangun oleh Perjanjian 1824. Untungnya, pihak Belanda dapat menanggapi tuntutan Inggris dengan bijak dan tidak membiarkan situasi memburuk ….” (J.P. Cornets De Groot – Notices Historiques Sur Les Pirateries, 1847)
Sementara itu, catatan E. Netscher, paska operasi sepihak oleh Inggris di sekitar perairan Riouw dekat Galang hingga Batam pada 1836; pada kenyataannya, situasi perairan menjadi lebih kondusif dan relatif sepi dari laporan aksi perompakan laut. Terutama di sekitar selat sibuk Singapura.
Setahun kemudian, pada 1837, pemerintah Belanda membentuk komisi kedua yang terdiri dari Mayor Kolff dan Residen Riouw, M. Goldman, untuk mengadakan perjanjian baru dengan Sultan Riouw Lingga dengan kerja sama dari pihak Inggris di Singapura.
Kampung Nungsa dan Raja Issa dalam Catatan E.H. Rottger, 1835
BERTAHUN setelahnya, tidak ada lagi catatan nota keberatan tentang aktifitas perompakan laut yang dilayangkan oleh pihak Inggris di sekitar selat pembagi wilayah kekuasaan mereka dengan Belanda tersebut. Begitu juga dengan kabar Raja Issa, keluarga bangsawan Riouw yang sempat diberi mandat menangani keamanan navigasi perairan di sekitar Pulo Nungsa/Nongsa dalam rangka kebijakan penetapan pelabuhan bebas Riouw.

Catatan terakhir tentang keberadaan Raja Issa, dilaporkan pendeta asal Prusia, Ebernhard Hermann Rottger pada tahun 1835. Setahun sebelum operasi sepihak pemberantasan perompak laut oleh Inggris dilancarkan.
Rotger mencatatkan pertemuan dengan Raja Issa pada suatu sore di halaman depan rumahnya, di sekitar muara Sungai Nongsa Batam. Pendeta asal Jerman itu, sepertinya kerap mengunjungi lokasi tempat tinggal Raja Issa.
Dalam dokumennya: Berigten Omtrent Indie, Gedurende Een Tienjarig Verblijf Aldaar‘, saat itu ia sedang mengamati anak-anak kampung yang sedang bermain di halaman sekitar kediaman Raja Issa. Banyak dari mereka yang menurut Rottger, tidak pernah menerima pendidikan dan tidak bisa membaca atau menulis. Termasuk anak Raja Issa. Di perkampungan tersebut menurutnya, belum ada kebiasaan dan aturan belajar untuk anak-anak warganya.
“Mereka bebas melakukan yang diinginkan, seperti bermain; siapa yang tidak ingin pergi belajar tidak dipaksa. Bahkan Raja Idris, anak Radja di kampung ini, belum menerima pendidikan pada usia sembilan tahun, dan ketika saya bertanya kepada Raja, mengapa Tunku Muda belum memiliki guru, ia menjawab: “Anak itu ingin bermain sepanjang hari dan belum memiliki keinginan untuk belajar.” Coba katakan kepadanya, kata Raja, mungkin dia akan mau melakukannya… ” catat E.H. Rottger dalam sebuah obrolan di depan rumah pria itu pada sore tahun 1835.
Ia kemudian menghampiri sang anak, Raja Idris, yang sedang asyik bermain. Ia berusaha membujuknya untuk mau belajar.
“… Ia (Raja Idris) menjawab: Pada minggu ini, yang masih memiliki tiga hari, tidak ada gunanya bagi saya untuk memulai, tapi pada minggu depan boleh lah.” Catat Rottger lagi menirukan jawaban anak Raja Issa.
Beberapa bulan berlalu sebelum akhirnya Raja Issa menemui seorang Khatib (penceramah/ guru agama di kampung) untuk mengajari anaknya belajar. (Berigten Omtrent Indie, Gedurende Een Tienjarig Verblijf Aldaar – E.H. Rottger, published 1844)
Pendeta Rottger mendeskripsikan kampung Nongsa dan penduduk yang mendiami saat itu, seperti ini:
“… Rumah-rumah mereka adalah gubuk pantai sederhana, karena tempat tinggal favorit orang Melayu adalah di tepi laut. Mereka menancapkan beberapa tiang ke tanah, membuat dinding dari rumput bambu yang panjangnya dua puluh kaki lebih dan lebar sekitar satu tangan, menjahitnya dengan rumput bambu yang terbelah dan membuat atap dari daun palem …” (E.H. Rottger, 1835)
Menurut pengamatannya, perkampungan itu terletak di jalur pelayaran yang ramai. Namun, hampir tidak ada orang pribumi yang terlibat dalam aktifitas perdagangan dengan kapal-kapal yang melintas. Rata-rata hanya beraktifitas melaut sebagai nelayan. Salah satu kegiatan lebih menguntungkan dari hilir mudik aktivitas kapal-kapal dari ‘negeri di atas awan‘ di sana menurut Rottger, adalah tawaran untuk terlibat dalam aksi perompakan di sekitar perairan sibuk tersebut.
Selain kapal-kapal dari ‘negeri di atas awan‘ perairan itu juga menjadi laluan para pedagang China; penduduk dari pulau sekitar Batam dan Singapura.
Orang laut masa itu, dikabarkan Rottger sering digunakan oleh para perompak dalam membantu aksi mereka. Pertimbangannya, dengan pola kehidupan yang selalu berada di laut, mereka sering luput dari kewaspadaan kapal-kapal dagang yang kerap melintas di perairan ini.
Para perompak laut yang biasa beraksi di sekitar perairan ini menurut pendeta itu, dipimpin oleh kepala-kepala (Panglima) yang memerintahkan armada-armada laut perompak. Bahkan menurutnya, para keturunan bangsawan di negeri ini, secara sukarela memberikan kontribusi untuk peralatan dan pemeliharaan armada para perompak, yang kemudian dikembalikan kepada mereka dengan banyak keuntungan setelah setiap penjarahan.
Hampir semua orang suku laut yang tinggal di kampung ini, dikenali oleh Raja Issa.
Pendeta Rottger mendapat kesan bahwa Raja Issa merupakan seseorang yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda di Riouw (Tandjoeng Pinang) untuk mengawasi wilayah di pulau Nongsa dan perairan sekitarnya dari ancaman perompakan.
“Sehingga jika ada kasus-kasus di mana seseorang membangun gubuk di dekat sungai, melalui orang-orang yang menetap di sana, ia dapat mengetahui apakah mereka bekerja sama dengan perompak laut, karena sering terjadi bahwa mereka menyewakan diri untuk menyerang kapal“. (E.H. Rottger – 1835)
Perompakan Reda, Desentralisasi Pemerintahan
SEMENTARA itu, seiring selesainya pembagian wilayah pemerintahan di negeri Riouw Lingga pada tahun 1838, dalam catatan seorang pegawai dalam negeri Hindia Belanda, Baron Van Hoevell, pihak kesultanan mulai menempatkan wakil mereka di pulau-pulau utama di negeri Riouw Lingga.
Seperti usulan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, D. J. De Eerens, di Batam, mulai ada kepala pemerintahan di kampung tersebut pada sekitar tahun 1856.
Raja Yakup, anak pertama Raja Issa yang disebut sebagai ‘Engku Kelana calon pengganti Raja Muda’ oleh P.J. Begby pada 1827, mulai mengelola urusan pemerintah kesultanan Riouw Lingga untuk sebagian wilayah pulau Batam. Ia tercatat sudah mulai mengelola wilayah tersebut dari kampung Nongsa pada tahun 1856, setelah sebelumnya, wilayah ini masih ditangani langsung oleh Raja Muda Riouw dari pulau Penyengat.
Aktifitasnya mengelola wilayah di bagian timur Batam saat itu, terdokumentasi, dari laporan catatan pejabat dalam negeri Hindia Belanda, Baron Van Hoevell pada 1856. Nama Raja Yakup disebutkan sebagai kepala kampung Nongsa saat terjadi konflik berdarah antar dua kelompok Cina, Moeka Mera dan Moeka Itam yang memperebutkan wilayah perkebunan di sekitar Sungai Panas, Batam. (Baca : “Tionghoa di Negeri Riouw“)
“Menurut laporan dari kepala kampung Nongsa di Batam saat itu, Raja Yakup, sudah ada 3.000 orang Tionghoa dari Singapura yang mendarat di sana. Mereka telah membagi diri menjadi tiga tempat yang berbeda di dalam sungai, yaitu Nongsa, Tanjung Bemban dan dan Muka Kuning, dengan rencana untuk menghancurkan seluruh penduduk dari kapiten orang-orang Tionghoa Kanton di Rio, yang dikenal sebagai “Kwani-Haijs” atau kelompok “Moeka Mera.” (Baron Van Hoevell, 1856)
Kondisi Wakil Pemerintah Pribumi Hingga 1851
IKHWAL penugasan Raja Issa oleh Residen Belanda untuk menavigasi keamanan perairan pulo Nongsa dalam kebijakan pelabuhan bebas Riouw 1828, bukan merintis pemerintahan pribumi di Batam, sejalan dengan keterangan pada dokumen ‘Algemeen Oversigt Van Netherlandsche, sistem pemerintahan pribumi negeri Riouw Lingga.
Hingga tahun 1851, disebutkan bahwa sistem pemerintahan pribumi di Kepulauan Batam masih terpusat secara sentralistik dan ditangani langsung oleh Yang Dipertuan Muda Riouw di pulau Penyengat.
Pada bab II : Residensi Riouw dan Wilayah Bawahannya (Tweede Hoofdstuk De Residentie Riouw En Onderhoorigieden), disebutkan bahwa wilayah kepulauan Bintan, Batam dan Karimun, masih ditangani secara langsung oleh Raja Muda Riouw di pulau Penyengat.
“Sultan dan Raja Muda, saat ini, keduanya menerima Akte Pengukuhan dari pemerintah Kolonial. Di bawah mereka, berbagai bagian wilayah ini dikelola oleh kepala-kepala sebagai berikut:
- Kelompok Riau (kepulauan Bintan, Batam) dan Karimun, masih dikelola secara langsung oleh Raja Muda (lihat halaman 745).
- Kelompok Lingga, oleh Orang Kaya Tumenggung dari Mapar, sebuah pulau kecil yang terletak di seberang ibu kota Lingga.
- Pulau Tambelan, oleh Petinggi Tambelan.
- Pulau-pulau Anambas Barat, oleh dua Orang Kaya dari Djemadja (halaman 735).
- Pulau-pulau Anambas Besar, oleh Pangeran Siantan.
- Pulau-pulau Natuna Utara, oleh Orang Kaya dari Buluh Laut.
- Pulau-pulau Natuna Besar, oleh Orang Kaya dari Bunguran.
- Pulau-pulau Natuna Selatan, oleh dua Orang Kaya dari Subi.
- Pulau-pulau Lanun, oleh dua Orang Kaya dari Serasan.
Kepala-kepala di atas diangkat oleh Raja Muda/ Wakil Sultan setelah berkonsultasi dengan Residen dan menerima Akte Pengangkatan yang ditandatangani oleh keduanya.
Pendapatan mereka berasal dari berbagai pungutan yang mereka lakukan di wilayah mereka. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membayar upeti tahunan kepada Raja Muda Riouw atau Sultan Lingga.
Mereka yang diberi mandat di masing-masing wilayah, menunjuk kepala-kepala bawahan sendiri, setelah berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, yang memiliki berbagai gelar. Di antaranya yang paling umum adalah Penghulu dan Batin.” (Algemeen Oversigt Van Netherlandsche, 1851)
PENGATURAN tentang sistem pemerintahan pribumi dan kolonial, menurut seorang pejabat administrasi kolonial Belanda di Tanjungpinang, P. Wink, resmi diberlakukan sesuai aturan, setelah pembaharuan kesepakatan kedua pihak pada 1857. Dengan pengaturan itu, posisi penguasa wilayah pribumi, khususnya untuk kelompok Riouw (Bintan, Tandjoengpinang, Batam dan Karimun) mulai ditetapkan.
“Pada masa organisasi pemerintahan pusat ini, hierarki mencapai puncaknya. Perintah penguasa mencapai rakyat biasa melalui pejabat yang berurutan; keluhan atau permintaan disampaikan melalui jalur yang sama kepada Sultan, penguasa bawahan, atau penguasa kerajaan (“berdjindjang naik, bertangga toeroen”). Melewati kepala kampung atau Orang-kaya dianggap sebagai tindakan yang patut disebut (angkara).” (Lihat P. Wink – Mededeelingen Van Deafdeeling Bestuurs Zaken Der Buitengewesten Van Het Departemen Van Binnenlandsch Bestuur, Series B No. 3, 1929)
Untuk wilayah Kepulauan Batam pada 1857, awalnya ada tiga wakil kerajaan yang ditugaskan untuk mewakili pemerintahan pribumi di bawah Yang Dipertuan Muda Riouw di Penyengat. Masing-masing adalah Raja Yakup yang menangani sebagian pulau utama Batam sebelah timur, ia tinggal di Nongsa.
Wilayah lain mulai dari bagian barat pulau utama Batam, perairan selat Bulang, pulau Bulan, Samboe, Belakangpadang dan Kepala Jeri, dikelola oleh Raja Osman, seorang wakil kerajaan dari pulau Penyengat. Ia bertempat tinggal di pulau Buluh.
Sementara wilayah perairan pulau Tjitlim, Tjombol, Sugi dan wilayah Moro hingga ke Durai – Sanglar, dipercayakan kepada wakil lain bernama Raja Husin. Saat awal menangani tugas ini, ia bertempat tinggal di pulau Terong. Namun, di akhir penugasannya, ia memindahkan pengelolaannya di kampung Soelit, pulau Sugi.
Pengaturan sistem pemerintahan ini, kemudian diperbarui kembali pada tahun 1869 dengan poin utama pemangkasan kewenangan pemerintahan pribumi untuk menangani masalah keamanan.
Raja Mahmud Memerintah dari Kampung Bagan
SEMENTARA itu, putera Radja Yakup, Raja Muhammad Saleh bin Radja Yakup bin Radja Issa, atau lebih dikenal sebagai Raja Mahmud, menggantikan tugas sang ayah pada sekitar tahun 1880. Namun, ia mengelolanya dari kampung Bagan di sekitar Tanjung Piayu, tempat tinggalnya saat itu.
“… Wilayah ini sebelumnya diberikan status apanase kepada seorang wakil raja bernama Raja Yakup yang tinggal di Nongsa. Tetapi karena usia dan ketidakmampuan, ia digantikan oleh putranya, Raja Mohammad Saleh, yang biasa disebut Raja Mahmoed. Yang bersangkutan tinggal di kampung Bagan …” (J.G. Schot, De Indische Gid – Battam Archipel, 1882)
Pada era ini, sesuai catatan J.G. Schot, Raja Osman masih mengelola wilayah pulau utama Batam di sebelah barat dan pulau-pulau kecil di sekitar selat Boelang, Samboe dan Belakangpadang, dengan pusat pengelolaan masih di pulau Buluh.
Wilayah ketiga yakni Kepulauan Soelit hingga ke Moro, Durai – Sanglar, sempat ditangani oleh Raja Haji Osman, anak Raja Husin sejak tahun 1879. Setahun kemudian, karena meninggal dunia, ia digantikan sepupunya, Raja Abdul Hadi. Raja Abdul Hadi hanya menjabat sebentar sebagai wakil kerajaan untuk wilayah ini karena keterlibatannya dalam penjualan opium secara ilegal berdasar temuan Kontrolir Belanda saat itu. Ia diberhentikan oleh Yang Dipertuan Muda Riouw di Penyengat dan digantikan oleh Raja Mat Tahir, seorang wakil kerajaan yang didatangkan dari pulau Penyengat.
SEIRING dengan pembubaran sistem pemerintahan Afdeeling (Onder) di Batam oleh pemerintah kolonial Belanda pada bulan Desember 1906 dan berlaku efektif 1 Januari 1907, wilayah kerja yang sebelumnya ditangani oleh Raja Muhammad Saleh/ Mahmud, juga ikut dihapuskan pada 1913.
Pemerintahan di bawah Afdeeling (Onder) kepulauan Batam saat itu, termasuk pulau Boeloeh, digabungkan dalam pemerintahan Afdeeling di Tandjoeng Pinang dengan penempatan seorang saja kepala District untuk menangani seluruh wilayah bekas Afdeeling (Onder) Batam, yakni di Telaga Poenggoer.
Penyusunan ulang sistem pemerintahan oleh pribumi, kemudian dilakukan lagi oleh pemerintah kolonial Belanda pada sekitar tahun 1922. (De Locomotief – 6 Desember 1906/ P. Wink – Mededeelingen Van Deaffeeling Bestuurs Zaken Der Buitengewesten Van Het Department Van Binnenlandsch Bestuur” Serie B, 1925)
RAJA Mahmud (Raja Muhammad Saleh), anak Raja Yakup dan cucu Raja Issa yang sempat mengelola pemerintahan di wilayah bagian timur pulau Batam, meninggal di kampung Bagan. Ia dimakamkan di kampung itu dengan nisan yang dikenal warga sebagai Raja Muhammad.
Makamnya terletak di sisi lapangan bola di kampung Bagan yang diberi nama sama dengannya: Lapangan sepakbola Raja Muhammad. Ada beberapa makam anak keturunan Raja Muhammad lainnya yang juga dimakamkan di sana.
Berpuluh tahun setelahnya, tidak ada lagi anak keturunan raja Mahmud/ Raja Muhammad Saleh yang berdiam di kampung Bagan. Menurut keterangan dua orang tokoh masyarakat di sana, Atan dan Jali, mereka banyak yang berpindah ke lokasi lain. Seperti kembali ke pulau Penyengat hingga ada yang bermukim di wilayah kampung Djodo serta Tanjung Uma.
“Pengelolaan komplek makam Raja Mahmud (Raja Muhammad Saleh) dan keluarga di kampung Bagan, dilakukan swadaya oleh masyarakat setempat. Juga oleh keturunannya yang sesekali berkunjung ke kampung Bagan.” (Jali, 83 tahun, Tokoh Masyarakat Kampung Bagan – 2019).
(*)
Selesai
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com


