Air laut bisa diubah menjadi air tawar dengan menggunakan teknologi desalinasi. Sebetulnya ini solusi yang bisa menyelesaikan masalah krisis air bersih di dunia.
—————
TAPI kenapa belum banyak negara menggunakannya? Apa pula yang jadi kendalanya?
Seperti kota urban lain di dunia, Batam memiliki grafik pertumbuhan penduduk yang tinggi dari masa ke masa. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) kota Batam yang dirilis pada 2 Maret 2021, jumlah penduduk di kota pulau ini sudah mencapai 1.196.396 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduknya dalam satu dasawarsa terakhir sekitar 2, 32 persen. Kota Batam, meskipun luas geografisnya hanya sebesar 11,71 persen wilayah propinsi Kepri, namun Kota ini dihuni sekitar 57,95 persen dari total penduduk di propinsi Kepulauan Riau.
“Sedangkan, sebaran penduduk terbesar ke-2 berada di Kabupaten Karimun dengan jumlah penduduk sebanyak 0,25 juta orang atau sebesar 12,28 persen,” kata Kepala BPS Provinsi Kepri, Agus Sudibyo dalam rilisnya kepada media, Senin (25/1/2021) lalu.
Batam tidak memiliki sumber air baku. Tapi, pulau ini menarik untuk didatangi dan didiami karena terletak di wilayah yang strategis. Berada di dekat Selat Malaka dan Selat Singapura.
Wilayah yang dimekarkan oleh pemerintah Indonesia sejak era 90-an ini mengandalkan suplai air bersih dari keberadaan waduk atau dam salah satunya yang terbesar adalah DAM Duriangkang.
Keberadaan infrastruktur DAM Duriangkang sendiri telah dibangun sejak 1995.
Kondisi dan jenis tanah di Batam yang sebagian besar tidak bisa menyerap air secara maksimal, menjadi salah satu penyebab sulitnya sumber air tanah.
Ketika di daerah lain bisa mendapatkan sumber air bersih dengan pengeboran tanah dengan dalam sekitar 15 meter, Batam hanya mengandalkan waduk atau DAM untuk memenuhi pasokan air bersih lantaran air hujan sulit terserap dan langsung mengalir ke laut maupun ke waduk.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis geolistrik yang dilakukan peneliti dari Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTL-BPPT) di beberapa tempat mengungkapkan bahwa sebagian air tanah di Batam sudah menjadi payau atau bahkan asin dan sebagian lain terkontaminasi oleh limbah industri dan air rawa.
Selain Waduk Duriangkang, Batam juga memiliki beberapa waduk buatan lain yaitu waduk Sei Ladi, Sei Harapan, Muka Kuning, Sei Tembesi, Nongsa, Sei Rempang, Sei Baloi, dan Sei Gong. Namun, waduk Sei Baloi tidak bisa digunakan sebagai pemasok sumber air bersih karena alasan kualitas air yang buruk.
Dari masa ke masa Batam mengalami peningkatan jumlah penduduk. Hal itu juga memengaruhi kebutuhan suplai air baku untuk hajat hidup penduduk.
Agar tetap tercukupi, Badan Pengusaha (BP) Batam sebagai pengelola waduk-waduk di Batam menyiapkan beberapa alternatif pengembangan. Salah satunya adalah desalinasi air laut atau pentawaran air laut.
Konsep Desalinasi Air Laut di Batam, Apakah Memungkinkan?
SALAH satu wacana yang mengemuka untuk mengatasi kebutuhan sumber air baku Batam di masa depan adalah dengan mengubah air laut menjadi air tawar melalui proses Desalinasi. Apakah bisa dilakukan?
Menurut Direktur Utama PT. Adhya Tirta Batam – mitra BP Batam dalam pengelolaan air baku selama 25 tahun – Benny Andriyanto, konsep teknologi desalinasi sudah banyak diterapkan di banyak wilayah dan negara.
Tapi yang jadi pertanyaan adalah, apakah memungkinkan dilakukan di Batam? Menurut Benny, tinjauan pertama adalah dari biaya investasi pembangunan instalasi Desalinasi.
Ia mencontohkan proyek desalinasi air laut yang dilakukan di San Diego, California, Amerika Serikat. Menurut Benny, curah hujan di kota berpenduduk lebih kurang 1,3 juta jiwa itu sangat rendah. Hanya sekitar 300 mm sampai 400 mm pertahunnya. Ini setara dengan Kenya yang hanya 200 mm – 600 mm.
Perubahan iklim akibat pemanasan global memperparah situasi. Intensitas curah hujan menjadi semakin sedikit. Sehingga sungai kering, mata air hilang, sumur tak berair lagi. Praktis sumber-sumber air kota tersebut menghilang. Menurutnya, San Diego membangun Desalination plant dengan kapasitas 69 juta meter kubik setahun dengan biaya USD 1 milliar.
“Mau tahu produksi air ATB (saat mengelola sumber air baku di Batam, pen) setahun? Kita produksi 100 juta meter kubik, ini lebih besar dari San Diego. Jadi setidaknya butuh USD 1,4 Milliar, hampir 20 triliun rupiah,” katanya.
Sebuah perusahaan penyedia jasa pengolahan dan penyaringan air asal Belanda pernah membuat kajian mengenai komponen-komponen biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah instalasi Desalinasi. Ternyata, biaya investasi pembangunan instalasi hanya 14 persen dari total biaya keseluruhan.
“Anda tahu komponen apa yang menduduki porsi paling besar? Energi listrik. Proporsinya sekitar 41 persen. Hampir 3 kali lipat dari biaya yang dibutuhkan untuk investasi,” lanjut Benny.
Penggunaan energi listrik untuk sistem desalinasi menurutnya bisa mencapai 10 kali lipat dari energi listrik yang dibutuhkan oleh sistem konvensional.
Sebagai pembanding, ia mengambil sebuah contoh.
Saudi Arabia memiliki sebuah fasilitas Desalinasi bernama Ras Al Khair dengan kapasitas 1 juta meter kubik perhari atau sekitar 360 juta meter kubik setahun. Untuk operasionalnya, Ras Al Khair membutuhkan sekitar 2.400 MW energi listrik.
Penggunaan energi listrik untuk sistem desalinasi bisa mencapai 10 kali lipat dari energi listrik yang dibutuhkan oleh sistem konvensional.
Dari data yang dimilikinya, kapasitas produksi air di Batam saat ini sekitar 100 juta meter kubik setahun, atau 25 persen produksi di Ras Al Khair.
Jika menggunakan Desalinasi, maka energi listrik yang dibutuhkan juga akan sebanding dengan 25 persen dari energi listrik yang dibutuhkan oleh Ras Al Khair. Sekitar 600 MW!
Berapa ketersediaan listrik kota Batam saat ini? Sekitar 400 MW. Tidak sampai 600 MW.
“Apa gak tumbang satu kota Batam hanya untuk Desalinasi? Kita semua bisa hidup dalam kegelapan hanya untuk mengolah air laut menjadi air tawar,” katanya.
Menjaga lingkungan dan ekosistem baginya masih menjadi pilihan yang terbaik untuk menjaga kelestarian air di masa depan untuk kota Batam. Itu jauh lebih baik daripada terpaksa harus tergantung pada sistem Desalinasi. Membangun bendungan baru masih merupakan solusi yang lebih efektif.
“Kami sangat berharap, bahwa Kita harus memikirkan kelestarian ketersediaan air. Mari Kita berbuat sebelum terlambat,” ajak Benny.
Melihat Proses Desalinasi Yang Sudah Berjalan
INI tentang teknologi desalinasi dan bagaimana dunia bisa mendapatkan air bersih dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
(*/nes/GoWestID)
Sumber : ATB BATAM | DW INDONESIA