SEJUMLAH aktivis Papua pada Senin pekan ini, mendesak Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di pulau paling timur Indonesia itu, menyusul konflik berkelanjutan antara tentara pemerintah dan kelompok pemberontak.
NAMUN para pegiat HAM tersebut juga merasa pesimistis bahwa Pigai, orang asli Papua, dapat menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran di Papua mengingat persoalannya cukup kompleks.
Pengacara HAM Papua, Yan Christian Warinussy, mengingatkan Pigai untuk lebih berhati-hati dan bijaksana dalam merumuskan langkah-langkah strategis terkait penyelesaian dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua.
Menurut Warinussy, Pigai seharusnya lebih peka terhadap penderitaan korban pelanggaran HAM di tanah kelahirannya.
“Natalius Pigai harus ingat bahwa dia adalah seorang anak Papua yang mungkin turut merasakan penderitaan yang dialami oleh para korban pelanggaran HAM di Papua,” kata Warinussy kepada BenarNews pada Senin (11/11).
Warinussy menekankan bahwa aturan hukum terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia sudah jelas, yakni UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut dia, kedua undang-undang tersebut menyediakan dasar hukum yang kuat untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
“Dalam upaya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, rule of the game-nya sudah jelas. Aturannya sudah ada. Yang perlu dilakukan sekarang adalah merumuskan rencana kerja yang konkret. Jangan baru mulai sudah bicara soal uang,” lanjutnya.
Dalam rapat dengar pendapat bersama DPR pada akhir Oktober, Pigai mengeluh kecilnya pagu anggaran Kementerian HAM saat ini yang hanya Rp64 miliar, seraya mengaku membutuhkan anggaran hingga Rp20 triliun untuk menuntaskan isu HAM di Indonesia.
Pigai menyampaikan bahwa kementeriannya tidak memiliki program 100 hari kerja, melainkan lebih berfokus pada program dalam kondisi darurat untuk mendorong pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Moderator Dewan Gereja Papua Benny Giay mempertanyakan makna di balik pengangkatan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM, mengingat kondisi masyarakat Papua yang saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan berat.
“Pengangkatan Natalius Pigai sebagai menteri HAM itu apakah dengan maksud memperkuat masyarakat Papua, membela dirinya, mengakomodasi suara dari Papua atau dalam rangka sebaliknya, memberangus orang asli Papua?” tanya dia kepada BenarNews.
Giay menyoroti bahwa pengangkatan seorang putra asli Papua ke posisi strategis seperti Menteri HAM baru dilakukan pada saat kondisi masyarakat Papua berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
“Karena kalau kita bicara realitas saat ini, kondisi Papua sudah ‘habis-habisan’ baru kemudian seorang asli Papua diangkat menjadi Menteri HAM,” ungkapnya.
Sebagai tokoh agama dan pemimpin komunitas Papua, Giay menyatakan bahwa dirinya pesimistis Pigai dapat mengubah keadaan di Papua.
“Saya tidak terlalu optimistis, karena realitas yang ada menunjukkan bahwa orang asli Papua sudah digiring menjadi masyarakat kelas dua di tanahnya sendiri. Ini adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini,” tegasnya.
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Adriana Elisabeth menyampaikan bahwa tugas Menteri HAM harus dilihat secara nasional, bukan hanya terbatas pada wilayah Papua.
Penunjukan Pigai sebagai Menteri HAM, meskipun dianggap sebagai simbol bagi masyarakat Papua, seharusnya juga mengedepankan aspek substansi dalam promosi, proteksi, dan pemenuhan hak-hak setiap warga negara, ucap Adriana.
“Penunjukan Menteri HAM ini seharusnya bukan hanya untuk merepresentasi Papua secara simbolik,” kata Adriana kepada BenarNews pada Senin.
“Tugas utama Menteri HAM mencakup seluruh wilayah Indonesia, dengan fokus pada isu-isu yang lebih luas, seperti hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya, termasuk lingkungan hidup.”
Adriana menekankan bahwa meskipun isu-isu hak asasi manusia di Papua memerlukan perhatian khusus, tugas Pigai juga meliputi isu-isu HAM di seluruh Indonesia, yang harus dipandang secara menyeluruh.
Menurut dia, penanganan masalah HAM dapat dibedakan antara daerah konflik, seperti Papua, dan daerah non-konflik. Namun, ada satu isu yang hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, yaitu sengketa tanah adat atau ulayat.
“Masalah tanah adat atau ulayat menjadi isu krusial yang hampir dihadapi di seluruh Indonesia. Pemilik atau komunitas adat memiliki kemampuan dan kekuatan asimetris berhadapan dengan kepentingan pembangunan dan sektor swasta atau pelaku ekonomi,” ucap dia.
Adriana juga menyoroti munculnya isu baru yang semakin relevan, yaitu konflik antara ethno-development dan ethnocide di mana pembangunan kerap menggusur etnis setempat.
“Pembangunan sering kali tidak sensitif terhadap eksistensi etnis lokal, tidak hanya dalam aspek fisik, tetapi juga dalam sudut pandang masyarakat adat,” ungkap Adriana, seraya mengkritik soal permintaan tambahan anggaran oleh Pigai.
Menurut Adriana, jika mengajukan anggaran atau kebijakan terkait HAM, sebaiknya menyampaikan rencana mengenai langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan, potensi kegagalan yang mungkin dihadapi, serta cara untuk mengatasi masalah tersebut.
“Ini masalah politik anggaran, ada proses tawar-menawar. Seharusnya sampaikan hal-hal yang akan diperbaiki, bagaimana caranya, dan potensi kegagalan, baru sampaikan jumlah yang diperlukan,” ucap dia.
Sementara itu komisioner Komnas HAM Anis Hidayah enggan berbicara banyak soal penunjukan Pigai terkait upaya penyelesaian konflik di Papua.
“Bukan kapasitas kami untuk komentar ini ya,” ujar Anis kepada BenarNews.
Amnesty International Indonesia sebelumnya melaporkan sebanyak 58 orang tewas dalam pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh TNI/Polri di Papua sepanjang tahun 2023.
Menurut Amnesty, pembunuhan di luar proses hukum tersebut tsetidaknya terjadi dalam 26 insiden di Papua sepanjang tahun 2023.
Amnesty juga mencatat sebelas peristiwa pembunuhan di luar hukum lainnya terhadap 24 korban dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di Papua pada tahun lalu.
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.