MENTERI Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia, Bahlil Lahadalia, pada konferensi pers yang diadakan pada Senin (25/9/2023) lalu, mengklaim bahwa masyarakat Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, bersedia dipindahkan ke lokasi lain di pulau yang sama secara sukarela.
Pernyataan itu bertolak belakang dengan keinginan mayoritas masyarakat di beberapa titik kampung adat di Rempang. Warga tempatan rata-rata inginkan menetap di tanah leluhur nenek moyang orang Melayu Kepri itu.
Temuan dari Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang, menunjukkan fakta sebetulnya sebagian besar masyarakat di lima kampung adat di Rempang, masih konsisten menolak pembangunan pabrik kaca milik perusahaan asal Tiongkok, Xinyi Group di atas tanah adat seluas 2.000 hektare tersebut.
Namun belakangan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menuding investasi itu belum dibekali legalitas yang jelas, seperti Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Kini, pemerintah bersama BP Batam dan instansi lainnya akan fokus pada penggusuran tahap pertama di lokasi pabrik kaca yang nantinya akan dibangun. Lokasi pertama penggusuran di Pulang Rempang berada di Kampung Belongkeng, Kampung Pasir Panjang, Kampung Sembulang Tanjung, Kampung Sembulang Hulu, dan Kampung Pasir Merah. Rencana penggusuran dan pemindahan dilakukan ke Tanjung Banun, Sembulang, Galang.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring menyatakan, masyarakat tetap menolak dan masih bertahan di kampung-kampung mereka.
“Masyarakat tetap menolak upaya penggusuran dan rencana pembangunan pabrik kaca dibatalkan. Pernyataan Bahlil telah terjadi kesepakatan dengan masyarakat merupakan informasi yang menyesatkan. Masyarakat di lima kampung tua yang menurut Bahlil menerima relokasi kenyataannya sampai hari ini masih bertahan menolak,” ujarnya, Sabtu (30/9/2023) pekan lalu.
Bahlil sebelum ini telah bertemu perwakilan tokoh masyarakat Rempang dan mendiskusikan rencana relokasi masyarakat di lima kampung yang akhirnya akan dipindahkan ke kawasan lain sejauh kurang lebih 3 kilometer. Menurut Even, Bahlil tidak boleh mengambil keputusan hanya dari satu dua orang tokoh, bahkan tokoh yang bukan berasal dari lima kampung yang akan digusur.
Selain itu, tokoh yang diklaim Bahlil malah menyatakan hal berbeda kepada masyarakat yang berada di beberapa Posko Bantuan Hukum dan Posko Kemanusiaan. Tutur masyarakat menyatakan sosok tokoh tersebut hanya mengkomunikasikan dan menyerahkan keputusan kepada warga, berbeda dengan yang disampaikan Bahlil.
“Dialog tidak pernah dilakukan, bahkan di rekaman yang beredar mengabaikan suara perempuan kampung yang protes padanya. Sikap ngotot Bahlil dan klaim-kliamnya hanya membuat luka dan suasana traumatis masyarakat dan perempuan akibat tindakan represif dan intimidasi selama ini semakin dalam. Basa-basi sebagai orang kampung, namun berpihak pada investasi, tidak mendengar, dan terus bertutur tanpa sandaran data yang jelas bukan adab timur, bukan adab orang kampung, bukan adab orang Melayu,” kata Even.
Ia juga menyampaikan, WALHI bersama tim advokasi lainnya telah bertemu dengan lebih banyak masyarakat Rempang dibanding yang dilakukan Bahlil. “Kami juga telah mengumpulkan bukti-bukti penolakan yang dibuat oleh warga yang kemudian kami sebarkan melalui akun media sosial agar pemerintah dan publik tahu bahwa masyarakat tetap ingin mempertahankan kampung-kampungnya dan menolak penggusuran,” ujar Even.
Amdal Ternyata Masih Disusun?
Negara melalui Menteri Investasi/Kepala BKPM kembali memberi klarifikasi yang keliru. Dalam suatu kesempatan ketika merespon keterlibatan WALHI, Bahlil menyatakan telah ada Amdal mengenai rencana pembangunan proyek Rempang Eco-City dan pabrik kaca.
Ia menegaskan proyek Rempang Eco-City tidak akan merugikan lingkungan sekitar. Namun, kenyataannya Dokumen Amdal baru mulai disusun. Terbukti dengan adanya surat undangan yang dikeluarkan BP Batam untuk kegiatan Penyusunan Amdal Kawasan Rempang Eco-City pada 27 September 2023.
“Penyusunan Amdal harusnya melalui proses komunikasi dan konsultasi kepada masyarakat terdampak untuk mendengarkan pendapat dan tanggapan terkait rencana proyek. Bahkan masyarakat Rempang, sampai saat ini belum pernah melihat dokumen AMDAL yang akan menggusur tempat tinggal dan pranata sosial masyarakat Rempang,” ungkap Even.
Bukan konsultasi yang dilakukan, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, pada 21 September 2023 di Kampung Pasir Panjang justru meminta masyarakat untuk memaklumi dan mendaftarkan diri sebagai tanda setuju direlokasi. Hal ini kemudian direspons dengan penolakan oleh warga.
Masyarakat mendesak pemerintah meninjau dan mengkaji kembali rencana proyek investasi Rempang Eco-City terutama dari aspek hak asasi manusia, sosial sampai lingkungan hidup berkelanjutan. “Tidak peduli dengan 16 kampung tua, Bahlil hanya khawatir dengan investasi Tiongkok di Rempang,” tutup Even.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye WALHI Nasional juga menilai pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para pejabat negara terhadap Pulau Rempang bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah keresahan di masyarakat.
“Bahkan pernyataan terakhir Menteri Investasi terhadap keterlibatan WALHI di kasus Rempang semakin menunjukkan ketakutan pemerintah pada banyaknya informasi yang disembunyikan kepada masyarakat terhadap rencana pembangunan ini,” ujar dia.
Hingga hari ini, warga tidak pernah diberikan informasi terkait dampak-dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat rencana pembangunan ini. Pemerintah hanya menyampaikan potensi lapangan pekerjaan, tapi tidak menyampaikan berapa banyak mata pencaharian, sejarah, dan hal lain yang akan hilang begitu saja.
(ahm)