KRISIS menciptakan kreatifitas. Mungkin bisa begitu logikanya untuk apa yang dilakukan seorang pria di pulau Bintan, Kepulauan Riau ini.
Rosman, 40 tahun, warga Kampung Sei Datok, Kijang – Bintan, Kepulauan Riau. Pria itu menciptakan becak motor (bentor) sebagai alat atau angkutan untuk melayani jasa antar jemput anak sekolahan di lingkungan tempat tinggalnya di Kecamatan Bintan Timur (Bintim), Kabupaten Bintan.
Bentor yang diciptakan dari tangan ayah dua anak ini berasal dari penggabungan dua unit angkutan barang bekas. Di antaranya Motor Kawasaki Kaze R yang dibelinya seharga Rp 700 ribu dari penampung barang bekas dan becak mini bekas angkutan barang sembako yang dibelinya seharga Rp 2 juta.
“Saya yang rakit sendiri motor dan becak ini. Jadi bentor ciptaan saya ini hanya satu-satunya yang ada di Bintan,” ujar Rosman ketika sedang menunggu anak-anak sekolahan di SDN 001, Jalan Trikora, Kampung Pisang, Kijang, Kecamatan Bintim, Selasa (20/9), seperti dikutip dari batampos.co.id.
“Bentor ini saya gunakan untuk antar jemput anak sekolah saja. Tapi kalau ada yang carter untuk jalan-jalan, saya layani juga,” tambahnya sambil tersenyum.
Sebelum jadi penarik becak motor di Bintan, pria itu sempat bekerja sebagai operator alat berat salah satu pertambangan bauksit terbesar di Kabupaten Bintan.
Saat masih bekerja sebagai operator, ia bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp 6-8 juta per bulan. Hidupnya bersama istrinya, Marni, 43, serta kedua anaknya, Sumilah, 21, dan Juhariyah, 17, bisa dikatakan berkecukupan.
Tapi kondisi itu tak bertahan lama. Tahun 2013 lalu, perusahaan pertambangan tempatnya bekerja tutup total. Dari 2013-2015, lanjutnya, ia bersama keluarganya hidup dengan uang sisa tabungan dari hasil kerjanya itu.
Karena uang tabungannya berangsur-angsur menipis, anak pertamanya, Sumilah memilih bekerja ke Malaysia untuk menambah keuangan keluarga dan membiayai adiknya.
Penghentian Ekspor Bauksit
BAUKSIT merupakan hasil tambang idola di pulau Bintan. Selama bertahun-tahun sejak zaman Belanda, pulau ini memberi kontribusi besar terhadap hasil tambang bauksit. Bauksit Bintan diekspor keluar negeri sebagai bahan dasar pembuatan aluminium.
Bauksit telah lama diekploitasi di pulau ini. Sejak zaman penjajah Belanda seperti perusahaan NV. Nibem dan PT Aneka Tambang, Tbk. Di situs antam.com dijelaskan, Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di Kijang, pulau Bintan, di provinsi Kepulauan Riau. Bahan galian yang terdapat di pulau ini seperti dilansir kidnesia.com diperkirakan sebesar 15.000.000 ton. Bauksit-bauksit tersebut merupakan sisa dari deposit bauksit yang tersebar di Kecamatan Bintan Timur.
Bauksit yang berasal dari Bintan telah ditambang dan diekspor sejak tahun 1935. Pada tahun 1968, pengelolaan tambang diserahkan kepada PT. Antam. Hal ini menjadikan PT. Antam sebagai perusahaan produsen bauksit tertua di Indonesia. ANTAM mengekspor bauksit ke produsen alumina di Jepang dan China. Tahun 2009, perusahaan itu memutuskan untuk menutup kegiatan tambang di Bintan karena kandungannya yang mulai menipis.
Kegiatan tambang kemudian diteruskan oleh perusahaan-perusahaan lokal di Bintan. Pada Januari 2014, pemerintah memberlakukan undang-undang larangan ekspor bahan mineral dan batu bara, termasuk Bauksit. Kondisi ini membuat hampir seluruh usaha penambangan bauksit yang ada di Pulau Bintan tidak beroperasi. Kendala yang dihadapi, para pengusaha tidak bisa langsung menjual bauksit ke luar negeri.
Imbasnya, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap para karyawan yang bekerja di industri ini.
Gadai Motor Untuk Beli Motor
KONDISI memperihatinkan membuat Rosman harus putar kepala. Dengan keahlian yang dimiliki sebagai mantan operator sebuah perusahaan tambang bauksit, ia berkeinginan membuka usaha baru sebagai tukang ojek yang melayani antar jemput anak sekolahan. Dari keinginannya itulah tercipta satu unit bentor yang dihiasi dengan pernak pernik lampu kelap-kelip.
“Sisa tabungan ada Rp 2 juta. Lalu saya gadaikan surat motor Honda Supra untuk mendapatkan uang Rp 3 juta. Dengan uang itu saya beli motor dan becak seken. Kemudian merakitnya sendiri menjadi sebuah bentor. Alat inilah yang digunakan untuk ojek antar jemput anak sekolahan,” bebernya.
Dengan hadirnya bentor ini, biaya untuk memenuhi kehidupan keluarganya bisa tercukupi. Selain mendapatkan 20 pelanggan tetap untuk antar jemput anak-anak sekolahan, ia juga melayani jasa keliling Kawasan Bintim.
Biasanya wisatawan lokal yang menggunakan jasa keliling bentornya untuk melihat lokasi-lokasi peninggalan sejarah dan tempat rekreasi.
Untuk anak sekolahan, sambungnya, ia hanya memungut Rp 2 ribu untuk sekali antar jemput. Sehingga ia bisa mengantongi pundi-pundi rupiah dari 20 pelanggan tetapnya sebesar Rp 960 ribu perbulan.
Sedangkan untuk jasa keliling melihat lokasi-lokasi peninggalan sejarah dan tempat rekreasi hanya dipatok Rp 5 ribu per orang. Sehingga dalam satu bulan ia bisa meraup keuntungan sebesar Rp 1-1,5 juta dari jasa keliling tersebut.
“Kalau dilihat dari hasilnya memang tidak sebanding dengan kerja di tambang bauksit. Tapi saya tetap bersyukur dengan hasil yang diperoleh dari bentor ini. Bentor inilah yang menyelamatkan hidup kami dari krisis keuangan,” ungkapnya. ***