SEEKOR kucing yang terbaring nyaman di keset depan rumah, menarik perhatian saya. Ketika Minggu (6/10/2024) pagi itu, sedang berjalan menuju lapangan bola SMP Jurong West untuk memotret pertandingan bola. Saya berhenti sejenak, bermain dengan kucing, ketika tiba-tiba dari jendela muncul wajah tua menyapa saya.
Oleh: Sultan Yohana
“Itu kucing saya,” dengan ramah, berbahasa Inggris yang baik, perempuan itu berucap pada saya.
Di Singapura, tak banyak orang setua dia bisa berbahasa Inggris dengan baik. Itu memandakan tingkat pendidikan dia yang baik. Rata-rata orang seusia dia, apa pun etnisnya, akan bercakap dengan bahasa Melayu jika tahu lawan bicaranya beda etnis. Orang Singapura di atas 70an tahun, rata-rata bisa berbahasa Melayu.
“Saya dulu punya banyak sekali kucing. Sekarang tinggal satu. Ini Ginger namanya,” ia menambahkan. Semula, saya yang berada tepat di depan rumahnya, bergeser mendekati dia di jendela. Ginger, kucing yang usianya terlihat tidak muda, seolah ingin nimbrung obrolan dengan tuannya. Meloncat dan duduk di bibir jendela. Dia tampak nyaman saat kepalanya saya elus-elus.
Kucing itu seperti hendak melindungi tuanya. Seperti begitu menyayangi tuannya.
Tanpa saya bertanya, perempuan tua itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Bibi Moly, usianya 80 tahun. Dari situ saya punya firasat, pagi itu Bibi Moly ingin punya lawan bicara, ingin punya kawan ngobrol. Ingin didengar. Saya kemudian memutuskan untuk mencubit waktu saya sejenak, untuk mendengarkan apa saja yang ia katakan. Dan benar, segera saja, dari balik jendela yang sedikit terbuka, ia berkisah banyak hal tentang dia dan keluarganya. Tentang anak-anaknya, tentang cucu dan cicitnya. Tentang agama Katolik yang dianutnya. Tentang keyakinannya bahwa Tuhan cuma satu. Tentang kucing-kucingnya. Tentang kebaikan yang harus terus saya lakukan dengan cara apa pun, tanpa peduli siapa pun.
Saya mendengarkannya dengan baik. Sesekali menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan pendek dan seperlunya. Saya memang cukup berpengalaman menghadapi orang-orang seperti Bibi Moly. Hehe.
Melihat Bibi Moly bicara, saya jadi ingat nenek saya, almarhumah Rafiah. Dulu, semasa saya masih tinggal bersama nenek, saya adalah pendengar terbaik dari cerita, keluh-kesah, atau apa pun curhatan nenek. Kerap di sore hari seusai asar, di kursi berbeludru hijau, satu-satunya barang berharga di ruang tamu kami, saya akan merebahkan kepala saya di pangkuannya, sembari mendengarkan nenek bercerita tentang jaman Belanda, jaman Jepang, juga jaman-jaman penuh keprihatinan semasa Soekarno menjadi presiden. Cerita-cerita nenek akan berakhir menjelang maghrib, ketika kami pergi ke surau, untuk kemudian saya meneruskan belajar mengaji di rumah tetangga.
Ingatan nenek sangat baik hingga usia senja dia. Ia bisa menceritakan banyak detil, semisal ketika ia harus menyembunyikan telur-telur ayam dari razia tantara Jepang yang bisa mengambil seenak mereka apa saja bahan makanan masyarakat. Atau bagaimana nenek mampu mendeskripsikan dengan sangat baik sosok Tuan Blanger dan Branget; dua raksasa Belanda yang baik hati dan tinggal di kampung kami.
Seperti nenek saya, begitu juga Bibi Moly. Bahasanya runut, dan ingatannya jernih ketika bercerita. Sepanjang ngobrol, ia tampak gembira luar biasa. Sepertinya, sudah lama dia tak mendapat lawan bicara yang memadai. Mungkin sudah lama tak ada seseorang yang mau mendengarkan cerita-ceritanya, hingga kemudian pagi itu bertemu saya. Orang asing yang mau mendengarkannya.
Orang-orang tua seperti Bibi Moly memang kerap merasa “dipinggirkan” oleh anggota keluarga, oleh masyarakat. Suara-suara mereka kerap tidak didengar. Keinginan mereka tak banyak diakomodasi. Mereka merasa diperlakukan seperti “maskot” yang hanya dibangga-banggakan di depan banyak orang, namun setelah orang-orang pergi, oleh keluarganya mereka kemudian ditaruh di lemari, dikunci, untuk kemudian tidak dipedulikan. Rasa sayang yang mereka terima, kerapkali mengandung motif yang “JAHAT”. Jika tidak karena urusan warisan, ya urusan kewajiban semata sebagai anak/cucu kepada anak. Anak-anak hanya takut durhaka jika tidak merawat orangtua mereka, bukan murni karena faktor kasih sayang.
Perlakuan-perlakuan demikianlah yang biasanya ditangkap oleh para orangtua, dan hal itu membuatnya sangat bersedih. Perasaan yang kemudian membuat mereka gampang uring-uringan. Marah tanpa sebab. Mudah ngambek. Semua emosi yang ditunjukkan itu itu sebetulnya adalah protes dari para orangtua pada anak-anaknya, agar mereka tidak diperlakukan sebagai “maskot” yang hanya dikeluarkan di momen-momen tertentu. Nenek saya dulu suka berbuat demikian pada anak-anaknya. Untungnya saya selalu menjadi tempat ia berkeluh-kesah.
Orangtua ingin dilibatkan dalam hal apa pun. Mereka ingin diajak bicara, diajak berdiskusi. Mereka ingin didengar suaranya. Mereka ingin dicintai sebagaimana mereka dengan tulus mencintai anak-anak mereka.
Bukan cinta palsu. Bukan cinta bermotif. Bukan cinta karena takut neraka!
Cinta demikian memang tak mudah. Tapi saya adalah orang yang percaya, ketika Anda berhasil memberikan dan sekaligus mendapatkan cinta dari orangtua Anda, terutama ibu; saya yakin hidup Anda akan mendapat “surga” di dunia, juga surga setelah kematian nanti. Anda tak butuh lagi bergantung pada cinta orang lain. Anda tak butuh cinta mursid, cinta guru, cinta kyai, apalagi cinta palsu habib-habib yang kian hari kian tak jelas itu. Sekali lagi, Anda hanya butuh menyayangi ibu dengan setulus hati. Agar cinta ibu juga sama tulusnya bisa Anda terima, Anda rasakan. Agar cinta Semesta menaungi Anda.
Orangtua, bukan maskot yang hanya diletakkan di dalam lemari!
Minggu pagi itu, saya beruntung bertemu Bibi Moly dan kucing kesayangannya, Ginger.
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id
Rubrik : Catatan Netizen jadi platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi para netizen yang gemar menulis, tentang apa saja hal positif yang bisa dibagikan melalui wadah GoWest.ID. Kirim artikel/ konten/ esai anda secara mandiri lewat cara ini ya.