PADA 25 Februari hingga 6 Maret 1947, kota Malang yang dingin berubah menjadi panas. Sumber utamanya adalah sidang pleno kelima Komite Nasional Indonesia Poesat (KNIP) yang berlangsung di Gedung Corcodia Societeit. Dalam sidang yang berlangsung alot dan panas itu, masing-masing kubu bersikukuh dengan pendapatnya.
“Kelompok sayap kiri yang pro pemerintah mendesak kelompok oposisi untuk menerima saja Perjanjian Linggarjati. Tentu saja desakan itu ditolak mentah-mentah,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Nyatanya, perdebatan di dalam ruangan merembet hingga ke luar. Menurut kesaksian Soetomo alias Bung Tomo, ada beberapa laskar sayap kiri pimpinan Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo) melakukan teror kepada tokoh-tokoh anti-Perjanjian Linggarjati seperti Ki Hajar Dewantoro, Ali Sastroamidjojo, Wali Alfatah dan tokoh-tokoh dari Masjoemi.
Kartosoewirjo Ingin Gempur Pesindo
Aksi Pesindo itu jelas membuat kubu Hizboellah meradang. Mereka berniat akan membalas aksi teror itu dengan teror pula. Maka Kartosoewirjo, pimpinan Hizboellah dari Jawa Barat, mengirim seorang utusan kepada Bung Tomo yang merupakan koordinator gabungan laskar anti Perjanjian Linggarjati. Pesannya: dia meminta lampu hijau untuk menggempur Pesindo.
“Melihat gelagat yang sangat membahayakan tersebut, terpaksa saya menemui Kartosoewirjo pribadi,” ungkap Soetomo dalam bukunya, Sebuah Himbauan.
Bung Tomo masih ingat. Saat ditemuinya, Kartosoewirjo tengah bersiap di dekat sebuah mitraliyur milik anak buahnya. Posisi stelling mereka tak begitu jauh dari Gedung Corcodia Societeit. Sudah pasti jika perintah menembak keluar dari mulutnya, maka dipastikan perhelatan sidang KNIP itu akan berubah menjadi medan perang.
Dalam perbincangan dengan Kartosoewirjo, Bung Tomo memperingatkan jika Hizboellah nekat menyerbu orang-orang Pesindo yang berada di sekitar Gedung Concordia Societeit, itu akan menjadi efek yang buruk untuk pihak Republik Indonesia di mata internasional. Terlebih saat itu KNIP tengah bersidang.
“Saya bicara begitu karena saya tahu banyak wartawan mancanegara yang tengah meliput persidangan tersebut,” ungkap Soetomo.
Kartosoewirjo Digertak Bung Tomo
Diingatkan demikian, alih-alih menerima baik, Kartosoewirjo terlihat sangat marah. Sorot matanya yang tajam memelototi wajah Bung Tomo. Seolah menyanggah keras pendapat orang yang sejatinya adalah sekutu dia.
Tampak sikap kepala batu terbuhul dari tindak-tanduknya itu, kata Bung Tomo. Tak mau kalah gertak, Soetomo lantas mengingatkan jika Malang adalah salah satu basis terkuat laskarnya, BPRI.
Jika pertumpahan darah terjadi, dia tidak mau disalahkan karena semata-mata dia-lah yang berinisiatif mengundang Kartosoewirjo dan pasukannya datang ke Malang. “Bila sampai terjadi apa-apa di sini, nama sayalah yang akan tercoreng!” ujar Bung Tomo.
Kartosoewirjo coba menyanggah jika semua yang nanti akan terjadi merupakan tanggung jawabnya. Namun lagi-lagi Soetomo menolak keras alasan tersebut. Dia kembali mengingatkan koleganya itu akan ancaman militer Belanda yang sedang mempersiapkan sebuah serangan besar-besaran pasca Perjanjian Linggarjati disahkan oleh KNIP.
“Apakah kita akan menghadapi serangan Belanda itu nanti dalam situasi penuh perpecahan yang hendak saudara kobarkan dari kota Malang ini?!” ujarnya.
Pidato Keras dan ‘Ancaman’ Bung Hatta
Setelah perdebatan panjang, akhirnya Kartosoewirjo mau mengerti. Maka terhindarlah Malang dari banjir darah antarpendukung Republik Indonesia di awal tahun 1947 itu.
Sidang KNIP sendiri pada akhirnya ‘dimenangkan’ kubu pro Perjanjian Linggarjati. Bisa jadi hal tersebut karena pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta yang bernada keras.
Dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, sejarawan George McTurnan Kahin menyatakan ketika sadar sebagian besar anggota KNIP menolak dilangsungkannya Perjanjian Linggarjati, Hatta mempersilakan para anggota KNIP untuk mencari presiden dan wakil presiden lain.
“Dia (Hatta) dan Sukarno akan terpaksa mengundurkan diri…” ungkap Kahin.
Secara politik, Perjanjian Linggarjati sendiri didukung oleh Partai Sosialis (PS), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Boeroeh, Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katholik.
Sementara dua partai utama (PNI dan Masjoemi) menolak keras upaya diplomasi tersebut. Mereka mendapat dukungan dari Partai Moesjawarah Rakjat Banjak (Moerba), Barisan Banteng Repoeblik Indonesia (BBRI), Lasjkar Rakjat (LR), Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi (KRIS), Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI), dan Hizboellah. (*/ade)
Sumber: Merdeka.com