ULAR naga yang selama ini dianggap mitos, ternyata benar-benar ada di Pulau Jawa. Ular bernama Latin Xenodermus javanicus itu ditemukan tim gabungan Sanggabuana Wildlife Ranger (SWR), mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, dan Sispala Samaru SMA 1 Tegalwaru pada 29 Oktober lalu.
“Ular naga ini kami temukan di aliran sungai Curug Cikoleangkak pada malam hari saat herping (mencari amfibi atau reptil). Siangnya kami melakukan analisis vegetasi dibantu oleh teman-teman dari Fakultas Biologi Universitas Nasional dan Sispala Samaru SMA 1 Tegalwaru,” kata Deby Sugiri, perwakilan Divisi Konservasi Keanekaragaman Hayati SWR, sebagaimana diberitakan kompas.com, 1 November 2022.
Pencarian ular naga sejatinya telah dilakukan SWR sejak kurang-lebih setahun belakangan. Saat menemukan ular tersebut, tim sebetulnya sedang melakukan analisis vegetasi di lokasi. Lokasi penemuan sendiri berada di Gunung Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat.
Gunung Sanggabuana merupakan “pagar” sisi tenggara Karawang. Selain kaya fauna, wilayah gunung setinggi 1500-an meter itu juga kaya vegetasi. Kekayaan flora-fauna itulah yang agaknya menyebabkan tempat itu dipilih jadi tempat tinggal sejak lama. Di masa Tarumanegara, pohon gaharu (Aquilaria) –termasuk family Thymelaeaceae– dari Sanggabuana menjadi salah satu komoditas andalan yang diekspor hingga ke Mesir.
“Tumbuhan dari keluarga Thymelaeaceae terutama genus Aquilaria mungkin merupakan komoditas perdagangan saat itu. Thymelaeaceae adalah jenis tumbuhan gaharu-gaharuan dan di Pegunungan Sanggabuana tumbuh habitat dari genus Aquilaria yang resin atau getahnya sangat bagus untuk dijadikan dupa dan pewangi. Gaharu bagian kayu maupun resin atau getahnya telah menjadi komoditas perdagangan internasional sejak 2000 tahun silam. Komoditas ini dijual mulai dari Cina sampai ke Mesir dan Eropa Timur, dan Kerajaan Tarumanegara dengan pelabuhannya merupakan persinggahan dari para pedagang internasional,” tulis Yuda F. Silitonga, Willy Firdaus, dan Dharma Putra Gotama dari Forum Pemuda Peduli Sejarah Karawang dalam Rengasdengklok Undercover.
Namun, kehidupan di Sanggabuana telah ada sebelum Tarumanegara. Berbagai peninggalan zaman batu, seperti Situs Kebonjambe, menjadi buktinya.
“Berdasarkan periodisasinya, tinggalan-tinggalan tersebut mencirikan corak budaya prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan Kolonial. Tinggalan prasejarah tersebar tidak hanya di lingkungan dataran tinggi, tetapi juga di dataran rendah. Tinggalan di dataran tinggi umumnya merupakan bangunan megalitik, sarana pemujaan terhadap arwah leluhur. Di dataran rendah, tinggalan prasejarah terdapat di wilayah Batujaya berupa kubur-kubur manusia di bawah percandian Hindu-Buddha. Salah satu di antaranya di bawah Candi Blandongan, berupa kubur dengan batu datar pada tubuh candi dan di bagian bawah candi,” demikian diungkap buku yang dieditori Retno Handidi dan Sugeng Riyanto, Karawang dalam Lintasan Peradaban: Seri Pertama Monografi Workshop-Penelitian 2015.
Sanggabuana pula yang dijadikan basis gerilya oleh badan perjuangan bernama Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) –kemudian berkembang menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat, sering disebut sebagai Laskar Rakyat saja– ketika para pejuang di Jakarta menyingkir ke timur akibat kondisi kota semakin tidak kondusif pada akhir 1945. Mereka berhasil menguasai Karawang hingga terus membesar. Namun usai penculikan Suroto Kunto, komandan Resimen Cikampek, dan adanya upaya penertiban organisasi militer oleh Komandan Divisi Siliwangi Kolonel Nasution, Laskar Rakyat “dibereskan” pasukan Siliwangi. Mereka yang tersisa lalu berpencar.
“Jatuhnya Karawang benar-benar menghancurkan hegemoni LRJR di dataran Karawang. Struktur komando organisasi terlalu rapuh dengan dasar ekonomi terlalu lemah dan reputasinya terlalu buruk bila digabungkan. Tidak semua komponen LRJR dihilangkan ataupun diterima tentara. Lemah dan kehilangan semangat, unit-unit yang tercerai-berai ke wilayah-wilayah terpencil untuk melanjutkan perjuangan. banyak juga yang menuju lereng Gunung Sanggabuana di selatan Karawang,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Ketika para pejuang Kiblik mesti keluar dari wilayah dalam Garis Van Mook usai Perjanjian Renville (1947), sebagian anggota Laskar Rakyat tetap tinggal di Sanggabuana untuk melancarkan gerilya. Maka begitu ibukota Yogyakarta diduduki Belanda dalam Agresi Militer Belanda II (1949), Chairul Saleh –tokoh pemuda yang berperan mendesak Sukarno-Hatta secepatnya memproklamasikan kemerdekaan, ikut mengungsi ke Yogyakarta bersamaan dengan pindahnya pusat pemerintahan pada 1946– memilih kembali ke Jawa Barat untuk bergabung bersama rekan-rekannya di Sanggabuana guna melancarkan perang gerilya.
“Kita harus kembali ke pos kita masing-masing. Pos perjuangan kita adalah Krawang, Jawa Barat. kumpulkan dan siapkan pasukan, kita harus secepatnya berangkat. Kumpulkan kawan-kawan, kumpulkan senjata yang ada. Hari ini juga kita meninggalkan Yogya lewat Krawang, Purwakarta menuju Sanggabuana,” kata Chairul, dikutip Irna HN Soewito dalam biografi berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial.
Rombongan Chairul akhirnya mencapai Desa Sirna di Sanggabuana setelah berhari-hari jalan kaki dari Yogyakarta. Chairul berhasil bergabung kembali dengan Laskar Rakyat, yang oleh Mabes Tentara RI ditetapkan sebagai TNI Brigade Bambu Runcing. Di Sanggabuana pula badan perjuangan itu mengadakan rapat kepemimpinan.
“Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa pimpinan lama, yaitu Wahidin Nasution, Samsudin Can, Sidik Samsi dan Mangilap, menyerahkan jabatan mereka kepada Chairul Saleh. Adapun susunan jabatan pimpinannya dilengkapi serta dibagi dalam beberapa batalyon,” sambung Irna.
Di tangan Chairul, organisasi laskar dan taktik gerilya dibenahi. Antara lain dengan pembagian ke dalam beberapa batalyon.
“Para gerilyawan disebar meluas, supaya dapat bergerak lincah dan efektif. Kursus kader politik diadakan, PD (Pertahanan Desa) digalakkan kembali. Pemantauan perkembangan politik diadakan sebagai bahan informasi pimpinan di Sanggabuana dan kemudian dikembangkan mendasari strategi dan taktik perjuangan selanjutnya,” sambung Irna.
Dari Sanggabuana, personel-personel Laskar Rakyat menyusup ke wilayah-wilayah sekitar seperti Bogor dan Jakarta. Guna mengkoordinir serikat buruh-serikat buruh, Laskar Rakyat mengirim Kusnandar menyusup ke Jakarta. Komunikasi dilakukan Kusnandar dengan Chairul lewat tiga kurir yang –mayoritas perempuan dengan bekal berupa surat nikah palsu untuk menyiasati pemeriksaan– rutin dikirim saban tiga hari.
Lawan yang dihadapi Laskar Rakyat namun bukan hanya pasukan NICA. Para kombatan DI/TII juga kerap clash dengan kombatan Laskar Rakyat. Usai Perjanjian Roem-Royen, lawan Laskar Rakyat bertambah dengan Batalyon Kian Santang di bawah pimpinan Mayor Sambas Atmadinata dari Divisi Siliwangi yang sudah pulang dari “hijrah”.
Perselisihan dengan Batalyon Sambas dipicu oleh beda pandangan Laskar Rakyat dan Batalyon Sambas dalam merespon ketentuan cease fire yang dihasilkan dalam Perjanjian Roem-Royen. Chairul dan Laskar Rakyat, yang Murbais, tak sedikit pun mengindahkan cease fire lantaran perjanjian itu dibuat tidak adil.
Dalam pandangan Tan Malaka, yang dianut Chairul, Indonesia baru mau berunding setelah merdeka 100 persen. Artinya, Belanda mesti angkat kaki terlebih dulu dari Indonesia baru perundingan bisa dilaksanakan. Padahal faktanya, perundingan diadakan saat Belanda masih mengagresi Indonesia.
Sementara, Sambas sebagai kesatuan di Siliwangi hanya bisa menjalankan perintah dari pusat. Sebagai tentara republik, Siliwangi harus mengikuti keputusan politik yang diambil pemerintah.
Maka kendati telah ada kesepakatan “main mata” antara Chairul dan Sambas untuk menghadapi NICA, clash-clash akibat kesalahpahaman di kalangan prajurit membuat Chairul mesti mengambil sikap. Ia akhirnya membawa pasukannya pindah ke Banten Selatan. Tamatlah cerita gerilya di Sanggabuana.
(*)
Sumber: historia.id