PEMERINTAH memberikan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara kepada enam ormas keagamaan, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Hindu, dan Buddha.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, perubahan dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Enam ormas keagamaan tersebut akan mengelola lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama (MAU), PT Adaro Energy Tbk, dan PT Kideco Jaya Agung.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa pemberian IUP ini bertujuan untuk mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial ormas.
“Jadi memang ini kan upaya Pemerintah untuk bisa memberikan kesempatan kepada ormas-ormas keagamaan yang memang non-profit ya,” ujar Menteri Arifin.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menambahkan bahwa pemberian IUP ini merupakan penghargaan atas jasa ormas keagamaan dalam kemerdekaan Indonesia.
“Kita lakukan perubahan, dimana PP ini mengakomodir tentang pemberian IUPK kepada organisasi keagamaan yang mempunyai badan usaha, tujuannya apa? agar mereka punya hak,” kata Bahlil.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung melihat ini sebagai peluang bagi ormas keagamaan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui kegiatan sosial dan keagamaan.
Pihak yang menentang khawatir bahwa ormas keagamaan akan terjebak dalam politik dan konflik kepentingan, serta dampak lingkungan dari pertambangan batu bara.
Pemerintah memastikan bahwa pemberian IUP ini melalui proses yang selektif dan akuntabel.
Ormas yang mendapatkan IUP harus memiliki badan usaha yang profesional dan kredibel, serta mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masih harus dilihat bagaimana ormas keagamaan akan mengelola IUP ini dan apakah kebijakan ini akan mencapai tujuannya.
Pemantauan dan evaluasi secara berkala oleh pemerintah dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan dan akuntabilitas kebijakan ini.
(ham)