“… Raja Issa kemudian tinggal di muara sungai Nungsa, berjarak sekitar setengah mile dari perkampungan warga lain yang telah ada di pesisir Utara Batam masa itu.“
…
Sementara di hadapannya, membentang selat Singapura yang ramai. Seperti halnya muara sungai Muar di selat Malaka, tempat tinggalnya dulu. Banyak hilir mudik kapal-kapal dagang dari ‘Negeri di Atas Angin’ di hadapannya.”
Oleh: Bintoro Suryo
RAJA Issa ibn Raja Ali YamTuan Muda Riouw, disebut tinggal di kampung Nungsa/Nongsa, di sisi utara Batam. Ia kemudian dimandatkan memegang kuasa atas Nongsa dan rantau sekitarnya melalui surat dari Residen Belanda, C.P.J. Elout atas sepengetahuan Sultan Riouw Lingga pertama, Abdurrahman I Muazzam Shah.
Surat bertarikh 18 Desember 1829 tersebut, di kemudian hari, dipahami sebagai pengangkatannya untuk membuka negeri dan merintis sistem pemerintahan baru di wilayah pulau Batam dan rantau sekitarnya masa itu.
Pemahaman yang bertabrakan dengan perjanjian besar dua pihak, pemerintah Kolonial Belanda – Kesultanan Riouw Lingga yang sebenarnya baru menyepakati bentuk pemerintahan mereka di negeri bekas pecahan kerajaan Johor Pahang Riouw Lingga pada 29 Oktober 1830? (Baca : Lintas Masa Tata Pemerintahan di Negeri Riouw Lingga).
Apakah ada kesalahan interpretasi di masa sekarang tentang surat tugas yang diberikan padanya oleh Residen Belanda kala itu?
Lantas, bagaimana Raja Issa bisa tiba di Batam? Apakah benar, ia lahir dan besar di Nongsa?
Untuk memahami gambaran yang lebih utuh, kita perlu menggali bahan sumber lain dari yang sudah dipaparkan selama bertahun-tahun ini. Fakta tentang latar belakang Raja Issa, peristiwa yang terjadi pada masa-masa awal setelah perjanjian London 1824 antara Belanda – Inggris, serta situasi sebelum surat tugas tersebut diberikan.
Tulisan ini memberi paparan beberapa fakta baru tentang aktifitas dan latar belakang Raja Issa sebelum berhijrah ke Nongsa di Batam. Sosok yang selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, dianggap sebagai perintis yang membuka wilayah Batam dan meletakkan dasar sistem pemerintahan di pulau ini.
Raja Issa’ di Muar Johor
SEBUAH dokumen catatan perjalanan kuno yang dibuat oleh J.H. Moor, seorang editor peneliti dari ‘Malacca Observer’ di Singapura: ‘Notice of The Indian Archipelago‘, membuka jejak Raja Issa sebelum bertempat tinggal di Nongsa, Batam. Dokumennya diterbitkan tahun 1837 dan merupakan bagian catatan perjalanannya pada rentang 1824 – 1827.
Moor yang sempat melakukan perjalanan ke negeri-negeri semenanjung Malaya pada masa setelah perjanjian London 1824, sempat menyinggahi muara sungai Muar di Johor pada 1826.
Catatan Moor tentang tempat tinggal Raja Issa dan keluarga di sana :
“.. Air sungai itu lebih keruh daripada air Sungai Lingie, yang mungkin disebabkan oleh banjir dari bukit-bukit. Hanya sedikit lahan yang bisa ditanami untuk pertanian, penduduknya juga jarang. Hampir tidak ada perahu dagang dan bahkan perahu nelayan yang mau melintas di sungai tersebut. Tidak bisa tidak, kondisi yang seperti itu juga akan terlihat oleh pengamat lain, termasuk yang paling ceroboh sekalipun …”
“Navigasi sungai ini sebelumnya berada di bawah kendali seorang kepala Bugis bernama Ungku Klana, yang menetap di mulut sungai. Setelah itu, di bawah kendali putranya Raja Issa. Namun, ketika Raja Issa kembali ke Rhio pada tahun 1826, kendali navigasi sungai itu kembali ke Temenggung secara langsung …” (J.H. Moor – Notice of The Indian Archipelago, 1837)
Mengapa Raja Issa tinggal di Muar?
Dalam dokumen catatan pemerintah kolonial Inggris, Raja Issa tinggal di mulut sungai di tepian selat Malaka itu, bersama keluarga dan saudaranya yang lain. Termasuk Raja Basuk, Raja Idris dan Raja Hamid. Mereka mengikuti perpindahan sang ayah, Raja Ali, dari Sambas di Kalimantan ke muara sungai Muar sekitar tahun 1790.

Muara sungai Muar menjadi tempat tinggal Raja Ali beserta keluarga, setelah sebelumnya berada dalam pengasingan di Sambas, Kalimantan, usai kalah dalam konflik melawan VOC Belanda di Ulu Riouw (Tandjoeng Pinang) pada tahun 1787.
Kisah Pelarian Raja Ali dan keluarga
SEBELUM tinggal di Muar, Raja Ali, ayah Raja Issa yang menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda Riouw menggantikan Raji Haji Fisabilillah, diketahui sempat melarikan diri bersama keluarga ke Sambas, Kalimantan. Ia kemudian bergabung dengan kelompok bajak laut pimpinan Sultan Sambas paska perang Riouw 1787.
“Raja Ali bersama anak-anaknya, kemudian ikut mengendalikan navigasi pelayaran di sana dan melakukan sejumlah aksi perompakan laut bersama para perompak asal Sambas dan kelompok lanun asal Mindanao yang dikenal ganas.” (Kumpulan Memoar Raffles – 1830)

SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES, F.R.S. &c., 1830. © JOHN MURRAY, ALBEMARLE STREET.
MDCCCXXX.
Beberapa tahun usai penumpasan aksi bajak laut di Sambas oleh Belanda, Raja Ali kemudian meminta perlindungan Sultan Mahmud di Lingga agar bisa kembali ke Riouw bersama keluarga. (Verslag reis na Riouw van Albert Spengler, 1785).
Dalam pengungsian dari Sambas, keluarga Raja Ali sempat tinggal di pulau Siantan. Ia juga meminta bantuan Sultan Ibrahim dari Selangor yang masih kemenakannya untuk membujuk Belanda dengan maksud sama.
Catatan surat Sultan Ibrahim dari Selangor kepada Residen Belanda di Malaka yang meminta agar Raja Ali diizinkan kembali ke Riouw:
“Janganlah Anda memiliki pikiran bahwa ia pergi ke Riouw untuk menimbulkan masalah dan perselisihan. Karena kondisi terpisah ini, baik Raja Ali maupun Sultan Mahmud mengalami kehancuran, maka saya akan menjadi yang rugi. Saya akan menjelaskan tentang suksesi saudara-saudara saya di negara Johor, di mana Raja di masa lalu adalah seorang Bugis. Negaranya direbut oleh Raja Menangkabau dan Siak. Raja Melayu meminta bantuan dari seorang leluhur saya, yang kemudian memberikan bantuan tersebut, dan merebut negara tersebut dari orang-orang Menangkabau, mengikuti jalur sungai baru yang bernama Calna Jie Pootra. Kemudian, mereka membuat perjanjian dengan Raja Melayu, dan keduanya bersumpah untuk mematuhinya. Mereka hidup dalam hubungan persahabatan yang sangat baik, yang kemudian diteruskan oleh para penerus mereka selama banyak generasi, dan suksesi ke jabatan Yang Dipertuan Muda, Bandhara hingga Tamungong berlangsung secara teratur, dan tidak pernah berubah.
Sekarang, Yang Dipertuan Muda adalah seorang Raja Melayu, dan Raja Ali adalah Raja Bugis. Menurut kebiasaan di antara orang-orang Bugis, bahwa yang tertua selalu menjadi Raja Muda. Jika Raja Ali tidak ada, maka saya akan menjadi Raja Johor, karena baik Sultan Mahmud maupun ayahanda Raja Ali adalah kerabat saya. Ibu Raja Ali dan ibu saya adalah saudara perempuan. Ibu Sultan Mahmud adalah saudara perempuan ayahanda saya. Ini adalah hubungan di antara kami. Tentu saja Anda tidak akan memisahkan yang putih dari yang hitam, daging dan darah. Tidak masuk akal untuk mencegahnya pergi ke Riau. Raja Bandahara yang berada di Pahang, dan Encik Muda di Bulang, bersama dengan Rajah Indra Bongsu, berada di bawah Sultan Mahmud. Rajah Ali adalah Raja untuk Melayu dan Bugis di negeri tersebut. Seperti suami dan istri, – Raja Melayu seperti istri, dan Raja Bugis seperti suami. Karena Raja Bugis lah yang membuat Sultan Mahmud menjadi Sultan. Seorang Raja Melayu menciptakan Raja Bugis, dan mereka memerintah bersama-sama; Saya mengerti bahwa Encik Muda Muhammad telah mengambil alih pemerintahan Riau, dan perubahan pemerintahan ini adalah penyebab dari semua gangguan.” (Surat Sultan Selangor kepada Residen Belanda di Malaka).
Sementara itu, dalam catatan Elisa Netscher, sekitar tahun 1790, Gubernur Belanda di Malaka akhirnya memberi jawaban atas permintaan Sultan Selangor untuk Raja Ali. Ia dapat mengizinkan Raja Ali kembali ke Riouw. Namun, tempat tinggal yang diperbolehkan sementara waktu adalah di wilayah Muar, Johor. Raja Ali kemudian membawa keluarganya yang saat itu dalam pengungsian di pulau Siantan untuk tinggal di mulut sungai Muar.
Ikhwal ini menurut Netscher, kekuasaan Belanda yang saat itu masih berada di perusahaan dagangnya (VOC), tidak ingin hubungan mereka dengan Sultan Selangor menjadi rusak jika menolak permintaannya. Pada tahun tersebut, mereka sedang mengajukan proposal untuk mendapatkan hak konsesi pengelolaan tambang di wilayah kesultanan Selangor.
Perseteruan Raja Ali dan Engku Muda Muhammad
DARI Muar, ayah Raja Issa, Raja Ali mulai memperjuangkan kembali jabatannya sebagai Yang Dipertuan Muda Riouw yang lepas paska perang Riouw melawan VOC Belanda di 1787.
Pada rentang waktu 1790 – 1800, kekuasaan jabatan Yang Dipertuan Muda di Penyengat masa itu secara de facto, telah dialihkan kepada putera Temenggung Abdul Jamal dari Bulang, Engku Muda Muhammad. Ia memegang kuasa penuh atas wilayah di sekitar perairan selat Bulang hingga Johor (kekuasaan Ketemenggungan) dan perairan selat Riouw (kekuasaan Yang Dipertuan Muda). Engku Muda Muhammad juga telah memindahkan pusat kekuasaannya dari pulau Bulang ke Penyengat masa itu.
Raja Ali sempat mempertanyakan hal itu kepada Sultan Mahmud di Lingga, yang dijawab, sesuai catatan E. Netscher seperti berikut:
“Tiada sesiapa yang mengganti Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda Riouw” (Catatan E. Netscher, 1854)
PADA tahun 1800, dalam sebuah konflik kepentingan dengan Engku Muda Muhammad yang berkuasa di Riouw, Raja Ali mendeklarasikan jabatan YamTuan Muda Riouw kembali sekaligus mengambil alih kekuasaan Engku Muda Muhammad di pulau Penyengat. Engku Muda Muhammad yang kalah dalam konflik, kemudian menyingkir kembali ke pulau Bulang.
Namun, perebutan kekuasaan dan jabatan ‘Yang Dipertuan Muda’ Riouw masih terus terjadi antara kelompok Raja Ali yang didukung saudaranya Daeng Kraing dengan pasukan Engku Muda Muhammad pada rentang tahun 1801 – 1804.
Sampai akhirnya Sultan Johor Pahang Riouw Lingga kala itu, Sultan Mahmud resmi menabalkan Raja Ali sebagai YamTuan Muda Riouw pada tahun 1804 untuk meredakan konflik. Raja Ali ditabalkan kembali oleh Sultan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Muda Riouw pada 21 Desember 1804.
“Sultan yang tidak ingin konflik berkepanjangan, akhirnya memberi mandat resmi kepada Raja Ali untuk menjadi YamTuan Muda Riouw seumur hidup, tapi tidak diperkenankan mewariskan jabatan ke anaknya.” (Catatan Elisa Netscher – 1854).
Ia diberi kuasa resmi mengelola kembali wilayah perairan selat Riouw. Sementara perairan selat Bulang hingga Johor menjadi wilayah kekuasaan Engku Muda Muhammad dalam jabatannya sebagai Temenggung penerus sang ayah, Temenggung Abdul Jamal. Kebijakan Sultan ini ditolak Engku Muda Muhammad.
Dalam Tuhfat Al Nafis diceritakan :
“Jadi pada hari Senin, 16 Jemadi’l-awal 1218, Sultan datang dan menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan Riau kepada Raja Muda Ali. Engku Muda memiliki pangkat Temenggong dan memerintah Riau dan Johor, namun menolak gelar Temenggong.”
Selanjutnya, dalam Tuhfat Al Nafis, Engku Muda berkata kepada Engku Abdurrahman, keponakannya:
“Jika saya tidak bisa menjadi YamTuan Muda, saya tidak ingin memiliki gelar. Tapi semua pulau dan pulau kecil dan Johor berada di bawah saya dan tentu saja Pahang milik ‘keluarga’ saya, Dato’ Bendahara Abdu’l-Majid. Karena hari ini Sultan tidak lagi memperhatikan orang Melayu, tetapi tinggal di Lingga dan memberikan Riau kepada Raja Muda (Raja Ali). Lihatlah kasus kita. Kita seharusnya memiliki negeri ini karena kita adalah pewaris bersama (sa-pusaka) dengan Sultan. Mengapa dia bisa berbuat semaunya? Seperti dia, kita keturunan dari Sultan Abdu’l-Jalil (Mahrum-Kuala Pahang) dan adat menetapkan kita memerintah negara ini dan bagaimana dia bisa menghentikan kita? Meskipun saya tidak diangkat, siapa yang akan menentang pemerintahan saya? Jika Engku Abdu’r-Rahman ingin disebut Temenggong, biarlah dia mencari dukungan di Lingga (tempat tinggal Sultan). Saya tidak akan! Jika saya mati, kamu, Engku (Abdu’r-Rahman), akan memerintah pulau-pulau dan tidak akan kehilangan Johor karena menurut saya, jika Sultan berperilaku seperti ini, kita harus menjaga diri kita sendiri atau akan kalah …” (Tuhfat Al Nafis: Raja Ali Haji/ R.O. Winstedt – 1932)
Walau menerima niat baik sultan Mahmud untuk menikahkan puteranya dengan putrinya, Encik Puan Bulang, Engku Muda Muhammad tetap berkeras menolak jabatan Temenggung lagi. Ia kemudian memilih berhijrah ke Singapura dan memberikan mandat kuasa Temenggung kepada keponakannya, Abdurrahman.
Tiga tahun setelah penabalan secara resmi Raja Ali sebagai YamTuan Muda Riouw (pada 1804, pen), Abdurrahman resmi dilantik sebagai Temenggung menggantikan Engku Muda Muhammad pada tahun 1807. Namun, ia akhirnya mengikuti Engku Muda Muhammad ke Singapura dan memindahkan pusat kekuasaannya dari pulau Bulang ke Singapura pada 1811 (J.T. Logan, 1836).
Sebagai Temenggung, ia bergelar Temenggung Abdurrahman. Perpindahannya ke Singapura, sekaligus mengakhiri era kekuasaan ketemenggungan dari pulau Bulang yang ditinggalkan dan kemudian menjadi sepi.
Sementara itu, usai berhasil kembali ke Riouw dan menjadi YamTuan Muda sesuai keinginan Raja Ali sejak lama, beberapa anaknya, termasuk Raja Issa tetap berada di muara Sungai Muar, Johor.
Surat dari Thomas Stanford Raffles kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia, Lord Minto, pada 1811 mempertegas fakta ini.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com


