INDONESIA telah mencoba berbagai cara untuk memberantas korupsi: operasi tangkap tangan, persidangan yang disiarkan secara luas, hingga hukuman sosial bagi pejabat yang terbukti bersalah.
NAMUN, Presiden Prabowo Subianto kini menawarkan gagasan baru: mengasingkan koruptor ke pulau terpencil dan membiarkan mereka bertahan hidup sendiri.
Dalam usulan yang terdengar seperti gabungan antara koloni penjara dan reality show bertahan hidup, Prabowo mengusulkan pembangunan penjara di sebuah pulau terpencil bagi pejabat yang terbukti korupsi.
“Saya nanti juga akan sisihkan dana untuk bikin penjara yang sangat kokoh, di tempat terpencil, supaya mereka nggak bisa keluar malam hari,” kata Prabowo pekan lalu. “Kita cari pulau jadi kalau mereka mau keluar biar ketemu hiu.”
Usulan ini semakin diperkuat oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak yang menyarankan agar para narapidana tidak diberi makanan. Sebagai gantinya, mereka hanya akan diberikan alat pertanian dan dipaksa menanam sendiri bahan pangan mereka—mengubah penjara menjadi eksperimen bertahan hidup ala Robinson Crusoe.
Namun, seberapa serius gagasan ini akan diterapkan?
Korupsi di Indonesia merupakan persoalan struktural yang mengakar sejak lama. Selama lebih dari tiga dekade, pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto secara resmi mengecam korupsi, tetapi secara de facto melanggengkannya.
Pada 1970, Soeharto membentuk Komisi Empat yang dipimpin mantan Perdana Menteri Wilopo untuk mengusut dugaan korupsi di kalangan pejabat. Namun, ketika investigasi mulai menyentuh lingkaran dalam kekuasaan, hasilnya diabaikan.
Upaya serupa dilakukan melalui Operasi Tertib dan Tim Pemberantasan Korupsi, tetapi tidak pernah menyentuh aktor-aktor utama. Transparency International bahkan menobatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana negara hingga US$35 miliar.
Reformasi 1998 mengubah peta politik dan hukum Indonesia. Presiden B.J. Habibie (1998-1999) memulai kebijakan transparansi dan desentralisasi sebagai langkah awal mengurangi korupsi yang terpusat di Jakarta. Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) berusaha memperkuat lembaga pengawas, tetapi kebijakannya terhenti akibat pemakzulan.
Baru pada era Presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004), Indonesia memiliki senjata utama pemberantasan korupsi: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini menjadi momok bagi pejabat korup, dengan kewenangan penuh untuk menyelidiki, menangkap, dan menuntut pelaku tanpa intervensi eksekutif.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) memperkuat KPK dengan mendorong operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi, pengusaha, hingga menteri kabinet. Ia juga mewajibkan pejabat negara melaporkan harta kekayaan mereka sebagai bentuk transparansi.
Di era Presiden Joko “Jokowi” Widodo (2014-2024), fokus pemberantasan korupsi beralih ke reformasi birokrasi dan digitalisasi layanan publik. Jokowi memperkenalkan sistem perizinan daring dan transaksi elektronik untuk menekan peluang pungutan liar.
Namun, revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang mengurangi independensi lembaga tersebut justru dianggap sebagai kemunduran dalam perang melawan korupsi.
Usul Prabowo soal pulau penjara bagi koruptor menuai beragam tanggapan. Sebagian masyarakat melihatnya sebagai bentuk ketegasan terhadap korupsi, sementara akademisi dan aktivis menilainya sebagai retorika politik.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rokhman mengatakan penjara khusus yang diusulkan Presiden Prabowo tidak cukup memberikan deterrent effect bagi para pelaku korupsi.
Menurut dia efek jera pidana korupsi di Indonesia tidak berjalan maksimal karena terhalang masalah asset recovery dan pemiskinan pelaku.
“Korupsi adalah kejahatan yang bermotif ekonomi, sehingga disinsentifnya tidak cukup hanya dengan pidana badan. Kejahatan ekonomi harus juga mendapat disinsentif ekonomi, yaitu merampas aset kejahatan untuk asset recovery dan pengenaan denda yang tinggi,” ujar dia kepada BenarNews.
Namun saat ini Indonesia punya keterbatasan hukum untuk melakukan asset recovery dan denda juga relatif rendah.
Karena itulah Indonesia sebenarnya membutuhkan revisi undang-undang pidana korupsi agar bisa untuk mengkriminalisasi kegiatan memperkaya diri secara tidak wajar dan reformasi penegak hukum agar lebih bersih.
“Itu yang dibutuhkan Indonesia, bukan justru presiden menyampaikan pidato bombastis tanpa tindak lanjut yang bisa diuji,” ujar dia.
Willy Aditya, Ketua Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan prinsip pemasyarakatan bagi warga binaan atau narapidana adalah perbaikan perilaku agar bisa kembali berintegrasi dalam masyarakat.
Penjara di pulau terpencil yang akan membatasi kebebasan fisik para terpidana kasus korupsi harus diimbangi dengan upaya mencegah kerentanan kemanusiaan.
Menurut dia jangan sampai menghukum dengan penjara di pulau terpencil menjadi bentuk hukuman tambahan di luar putusan pengadilan.
“Program-program pembinaan bagi narapidana, terlepas apapun kasusnya, sangat penting sehingga mereka siap kembali ke masyarakat saat hukumannya telah selesai dijalani,” ujar dia.
“Karena ini idenya berasal dari Pak Presiden, maka semestinya kementerian teknis juga, bisa segera bersiap dengan kajian komprehensifnya,” pungkasnya.
Usulan presiden ini menurut dia seharusnya dilihat bukan sekadar memberikan hukuman pada koruptor, tapi juga mengatasi masalah di lembaga pemasyarakatan yaitu kelebihan kapasitas dan tempat yang tidak layak.
Menurut dia dari 525 lokasi lembaga pemasyarakatan, semuanya mengalami kelebihan kapasitas di atas 100 persen.
Mengingat jumlah pulau di Indonesia, membangun lembaga pemasyarakatan di pulau-pulau tersebut cukup masuk akal.
“Di Aceh misalnya, bisa saja ditambah pembangunan lapas baru di antara 363 pulau-pulau kecil yang ada, di Sumut bisa dipilih dari 229 pulau. Untuk Jawa misalnya bisa dibangun di pulau-pulau di Lampung, atau NTB, dan lainnya,” ujar dia.
Selain dari sisi teknis, gagasan ini juga menimbulkan pertanyaan dari aspek hukum dan hak asasi manusia.
Indonesia sudah memiliki sistem pemidanaan bagi koruptor, termasuk vonis penjara seumur hidup dan denda miliaran rupiah.
Namun, aktivis anti-korupsi menilai hukuman bagi koruptor di Indonesia masih jauh dari kata menjerakan.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 mencatat rata-rata vonis pengadilan untuk kasus korupsi hanya tiga tahun empat bulan penjara.
Sanksi denda pun tak lebih tegas. Sepanjang 2023, total denda yang dijatuhkan hanya Rp149 miliar, merosot dari Rp202 miliar pada 2021.
Kabag Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan Rika Aprianti mengatakan pihaknya akan “mendukung dan melaksanakan perintah Presiden Prabowo selanjutnya.”