BADAN Pengusahaan (BP) Batam diharapkan untuk lebih transparan dalam meninjau rancangan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2007 mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Rencana perubahan ini mencakup perluasan wilayah BP Batam, yang saat ini terdiri dari delapan pulau, menjadi lebih banyak.
DALAM sosialisasi yang berlangsung pada Selasa (26/8/2025), Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Koordinator Perekonomian RI, Elen Setiadi, menyatakan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Batam mencapai 10%, di atas rata-rata nasional sebesar 2%. Untuk mendukung target ini, pemerintah pusat telah menerbitkan PP 25 dan PP 28 Tahun 2025, yang bertujuan meningkatkan peran Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) sebagai pusat logistik, manufaktur, dan perdagangan internasional.
Elen Setiadi menjelaskan bahwa perubahan dalam PP 46 Tahun 2007 akan menambah 14 pulau baru ke dalam area KPBPB Batam, yang sebelumnya hanya mencakup delapan pulau. Sebanyak 14 pulau itu antara lain Pulau Tanjung Sauh, Ngenang, dan Galang Kecil. Dengan demikian, jumlah pulau yang diusulkan untuk perluasan menjadi total 22. Namun, penting untuk dicatat bahwa draf tersebut menyebutkan 29 pulau sebagai bagian dari usulan perubahan.
Kepala Biro Umum BP Batam, Mohammad Taopan, belum dapat memberikan klarifikasi mengenai perbedaan antara jumlah pulau dalam draf perubahan tersebut. Ia menyatakan bahwa kajian aturan masih berlangsung dan belum ada keputusan final mengenai wilayah dan karakter pulau yang akan ditambahkan.
Desakan Transparansi
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mendesak BP Batam untuk membuka proses kajian ini kepada publik. Ia menekankan pentingnya transparansi, terutama terkait dengan kajian yang dilakukan. “Jika kajian aman, mengapa harus disembunyikan?” ungkap Susan.
Peneliti kelautan dari Yayasan Auriga Nusantara, Parid Ridwanuddin, juga menyoroti perlunya melibatkan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur pengelolaan wilayah tersebut, dan memperingatkan agar tidak terulang kasus Rempang, di mana masyarakat merasa tidak memiliki pilihan setelah aturan ditetapkan.
Parid menekankan bahwa perluasan kewenangan BP Batam ke pulau-pulau kecil akan memiliki dampak ekologis yang signifikan, terutama di tengah penerapan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mengabaikan aspek lingkungan. Ia juga mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menekankan pentingnya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil setelah penambangan nikel di Raja Ampat.
Auriga Nusantara juga mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi BP Batam, yang dinilai telah memperkuat praktik otoritarianisme di tingkat lokal. Parid mencontohkan kasus Rempang yang terkait dengan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City, di mana media internasional melaporkan pelanggaran hak asasi manusia atas nama transisi energi. “Alih-alih dievaluasi, pemerintah malah menggunakan cara lain seperti transmigrasi lokal,” tuturnya.
(ham/tempoco)